SOMOMANG

 

SOMOMANG

Pada zaman dahulu, di sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang lelaki bernama Somomang. Dia hidup seorang diri, belum memiliki anak istri meski usianya sudah tak muda lagi. Somomang adalah orang yang pemalas, namun kecerdikannya selalu menutupi kelemahan itu. Dia pandai mencari jalan pintas untuk mencapai tujuannya tanpa harus bekerja keras.

“Sekarang musim cempedak, ingin sekali makan, tapi malas manjat,” gumam Somomang dalam hati.

Namun, Somomang selalu punya akal untuk mengatasi rasa malasnya. Suatu hari, dia pergi ke pinggir sungai di mana terdapat pohon cempedak besar. Di atas pohon itu banyak kera yang bergelayut, memakan buah cempedak yang sudah matang. Somomang yang malas untuk memanjat pohon hanya duduk di bawahnya, mengamati gerombolan kera.

Tanpa suara, Somomang bergerak mendekat, dan begitu seekor kera memetik buah cempedak yang ranum, dia pun berteriak.

“Hei, yang masih mentah juga boleh dijatuhkan untuk saya!” teriak Somomang dengan keras.

Kera itu terkejut dan segera menjatuhkan buah yang sedang dipegangnya, kemudian lari terbirit-birit bersama teman-temannya. Buah cempedak pun jatuh ke tanah, dan dengan malas, Somomang memungutnya. Dia tidak perlu repot memanjat, hanya perlu sedikit kecerdikan.

Selain cerdik, Somomang juga dikenal dengan sifat jahilnya. Suatu hari, di musim rambutan, ia pergi memanjat pohon rambutan bersama beberapa temannya. Pohon rambutan itu milik seorang janda cantik yang tinggal di kampung mereka. Mereka makan rambutan sebanyak-banyaknya, sementara Somomang tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda janda itu.

Dengan sengaja, ia melemparkan kulit rambutan yang sudah dimakannya ke arah janda itu.

“Siapa yang melempar aku?” tanya janda itu, terkejut.

Janda itu menatap curiga ke arah Somomang. Namun, dengan licik, Somomang menunjuk temannya yang sudah beristri, memberi kode bahwa temannya itu yang melempar kulit rambutan.

“Lihat itu, dia yang melempar!” bisik Somomang dengan wajah tak berdosa.

Temannya, yang merasa curiga, kemudian menoleh ke arah janda. Keduanya mulai melempar kulit rambutan satu sama lain. Melihat kejadian itu, lelaki itu merasa penasaran dan mendekati janda.

“Jika ibumu setuju, maukah kau hidup denganku?” tanya lelaki itu, dengan malu-malu.

“Mmh... mau lah,” jawab si janda dengan pipi memerah. Begitulah cara Somomang menggoda orang lain. Untung saja kejadian itu hanya berakhir di sana dan tidak berlanjut ke rumah masing-masing.

Kabar tentang kecerdikan Somomang akhirnya sampai ke telinga Raja di negeri Antah Berantah. Raja ingin menguji kejelian Somomang. Suatu hari, ia memanggil Somomang ke istana.

“Ampun, Tuanku Raja, ada keperluan apa yang memanggil saya ke istana?” tanya Somomang, merendahkan diri di hadapan Raja.

“Tidak ada hal yang luar biasa, Somomang. Saya ingin kamu ikut serta dalam sebuah perlombaan. Kita akan berladang!” jawab Raja.

“Berladang, Tuanku? Apakah hanya kita berdua saja?” tanya Somomang, merasa penasaran.

“Tidak, saya akan dibantu oleh orang-orang suruhan saya, dan kamu boleh mengajak tetanggamu,” jawab Raja.

“Bagaimana dengan taruhannya, Tuanku? Apa yang akan saya dapatkan jika menang? Dan apa yang akan terjadi jika saya kalah?” tanya Somomang lagi, ingin mengetahui lebih lanjut.

“Jika saya yang menang, kamu akan menjadi budak di kerajaan. Tapi, jika kamu yang menang, saya akan memberikan hadiah besar—kamu bisa menikahi puteri kerajaan dan menjadi bangsawan!” jawab Raja, yakin bahwa dialah yang akan menang.

Ladang yang mereka buka akan dinilai dari hasil panen, bukan dari seberapa luas lahan yang dibuka. Raja memilih tanah subur di hilir sungai, sementara Somomang memilih tanah gersang di hulu.

Raja mengerahkan banyak orang untuk membantunya membuka ladang di hilir, sementara Somomang bekerja sendirian di ladangnya yang sudah lama tidak subur. Namun, setiap hari, Somomang menyusup ke pondok tempat Raja dan pengawalnya beristirahat. Dia dengan licik membuka tutup periuk yang digunakan untuk memasak nasi, lalu kentut di dalam periuk itu sebelum menutupnya rapat kembali.

Hari demi hari, Raja merasa ada yang aneh dengan nasi yang mereka makan.

“Hmm... bau sekali nasi ini. Padahal beras pandan wangi, tapi kenapa baunya busuk begini?” komentar Raja.

Namun, meskipun baunya aneh, mereka tetap memakannya karena perut mereka sangat lapar.

Setiap hari, hal itu terus terjadi. Somomang selalu menyelinap ke pondok Raja dan kentut di periuk nasi mereka. Raja pun semakin curiga. Suatu saat, ia akhirnya bertanya kepada Somomang.

“Somomang, tahukah kamu mengapa nasi yang saya makan selalu berbau tak sedap?” tanya Raja dengan serius.

“Oh, begini, Tuanku. Ladang Tuanku kan di hilir, jadi air sungai yang digunakan untuk memasak nasi sudah tercemar oleh jamban-jamban warga yang ada di hulu sungai,” jawab Somomang dengan penuh keyakinan.

“Ah, benar juga. Bagaimana jika kita tukar tempat ladang? Kamu ke hilir, saya ke hulu,” bujuk Somomang.

“Baik, saya setuju. Itu ide yang bagus!” jawab Raja yang akhirnya terbujuk oleh kecerdikan Somomang.

Mereka pun sepakat untuk menukar lokasi ladang. Somomang pergi ke ladang Raja yang subur di hilir, sementara Raja pindah ke ladang Somomang yang sudah lama tidak subur di hulu.

Setahun kemudian, musim panen tiba. Padi yang tumbuh di ladang Somomang begitu subur, sementara padi di ladang Raja hampir tidak tumbuh. Setelah panen selesai, Somomang berhasil mengumpulkan tujuh lumbung padi. Sementara itu, Raja hanya mendapatkan setengah dari hasil yang diperoleh Somomang.

“Somomang, sesuai janji saya, kamu memang cerdik. Kamu menang,” kata Raja mengakui kekalahannya.

Sebagai hadiah, Raja memberi Somomang puteri kerajaan sebagai istri dan mengangkatnya menjadi Patih Agung kerajaan. Sejak saat itu, hidup Somomang berubah. Ia menjadi orang penting di kerajaan dan menikmati kehidupan yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url