Mgr. Hieronimus Herculanus Bumbun, Uskup Pejuang Tangguh dari Kampung

Bumbun demikian nama kampung Uskup (Em) Heironimus Herculanus Bumbun, dilahirkan di Desa Menawai Tekam, Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat 5 Agustus 1937 sebagai anak ke-7 dari 17 bersaudara.
Dilahirkan dalam keluarga besar dengan belasan anak bukan sebuah kondisi ideal bagi tumbuh kembang seorang anak. Menempuh Pendidikan SD (Sekolah Rakyat) di Semadu yang jaraknya belasan kilometer dari kampung. Saat menempuh Pendidikan Dasar kelas satu hingga kelas tiga di Semadu, Bumbun cilik terserang penyakit koreng, sehingga seringkali diejek dan dijauhi teman. Jika rombongan bocah-bocah pelajar yang berjalan menuju Semadu, Bumbun kecil berjalan paling belakang karena malu dan dijauhi teman. Seorang Sepupunya yang bernama Los (Paulus) seringkali menghibur “Jangan kau patah semangat karena diejek.” Pada masa itu anak-anak kampung membangun (dibuatkan oleh orang tua) pondok masing-masing untuk tempat tinggal selama sekolah di Semadu. Teman-teman Bumbun menjauhi dan membuat Bumbun kecil harus tinggal sendirian di Pondok yang dia tempati. Pada masa itu banyak pondok yang ditinggalkan oleh kakak kelas yang sudah tamat atau tidak sekolah lagi, bisa mereka tempati. Para siswa sedapat mungkin mencukupi kebutuhan makan dengan menanam sayur disekitar pondok, sedangkan beras umumnya mereka bawa dari kampung. Saat anak lain bersama-sama membuka ladang untuk membuat bedeng-bedeng untuk menanam sayur, Bumbun kecil harus sendirian mengerjakan semuanya. Saya bisa membayangkan jika teman-temanya sambil bercanda menanam sayur Bumbun tetap sibuk mengerjakan ladangnya sendirian. Perlu kita ketahui siswa SD pada era itu adalah pra remaja atau remaja yang sudah mampu kerja diladang. Selain membawa beras dari kampung para, pelajar Sekolah Rakyat bisa juga mendapatkan beras dengan bekerja dengan penduduk sekitar. Di era tersebut uang tunai adalah sesuatu yang sulit didapatkan. Ada seorang Bibi beliau yang menikah dengan orang Semadu berpesan kepada beliau karena melihat kondisi beliau yang sulit “Jika kalian tidak punya beras, bisa datang ke rumah ambil beras.” Meski demikian hal itu tidak pernah dilakukan. Setelah tamat sekolah dasar kelas tiga, Dia ikut dengan seorang pastur untuk melanjutkan pendidikan ke Nyarumkop untuk melanjutkan sekolah kelas 4,5, dan 6. Bumbun kecil dititipkan pada keluarga kepala sekolah SD yang bernama Yakobus. Sebagai pemuda menunjukkan jati dirinya sebagai anak kampung yang cerdas, mandiri, pekerja keras. Sehingga Dia bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga di kerluarga tersebut. Disinilah pula dia menerima baptisan Katolik sehingga nama menjadi Hieronimus Herculanus Bumbun. Saat beliau menyatakan diri untuk menjadi imam, maka sang pastur pembina di Nyarumkop setuju dan membukakan jalan beliau memenuhi panggilan imamatnya. Tempaan perjuangan hidup yang keras yang dialami sejak kecil membuat Bumbun menjadi manusia tangguh yang tidak mudah menyerah sehingga beliau mempunyai prinsip “Amor non Amatur” yang berarti “kasih yang tak dikasihi”, mengikuti teladan Fransiskus Asisi yang mengasihi semua orang termasuk yang pernah menyakiti.
Pertemuan pertama saya dengan beliau pada awal tahun 2014 menjelang beliau emiritus. Bapak Uskup bercerita banyak hal, selain surat pengunduran dirinya yang sudah disetujui Vatikan. Menurut beliau di masa awal pentahbisan menjadi uskup dia memiliki kerja besar untuk orang Dayak. Melihat orang Dayak pada era 1970an yang kondisinya banyak tertinggal membuat sang Uskup tidak tinggal diam. Dia berusaha memajukan pendidikan dayak dengan membuka sekolah di kampung-kampung dan melahirkan katekis lokal. Demikian juga pemuda Dayak mulai disekolahkan ke Jawa untuk menempuh pendidikan lanjutan. Selain mengurusi masalah rohani beliau menjadi pengamat politik yang briliant. Dengan kemampuannya itu Dia selalu mendorong orang Dayak ikut serta dalam Pembangunan Kalimantan. Dalam kesempatan pertemuannya dengan para perwira ABRI (TNI-Polri kini), terutama yang Katolik, beliau selalu menitipkan pesan “Masukan pemuda Dayak jadi tentara.” Satu hal yang saya ingat saat beliau bercerita, tentang keresahan katekis Dayak yang tidak mendapatkan tempat yang semestinya didalam gereja, sekolah, atau institusi pemerintah. Uskup Bumbun turun tangan untuk mengatasi semua ini. Dengan segala kemampuannya yang dia miliki Mgr. Bumbun bisa memperbaiki kondisi ini.
Dalam bidang Karya kerasulan, Mgr Bumbun banyak membuka gereja yang berada jauh di Pedalaman yang mana tidak ada Katolik sama sekali. Dia tidak segan berjalan kaki berhari-hari untuk memberika pelayani rasuli dan membuka gereja di tempat terpencil. Mgr. Hieronimus Bumbun sudah melewati berbagai perjuangan untuk membangun Kalimantan, terutama orang Dayak yang hasilnya bisa kita lihat dan nikmati kini. Orang Dayak sudah bisa berkarya dalam berbagai bidang yang dahulunya dirasa mustahil. “Baptisan Api” benar-benar memenuhi hidupnya. Kini Beliau sudah tenang bersama Bapa di Surga sambil melihat karyanya di bumi yang sudah berbuah dan berkembang menjadi persembahan yang harum bagi bangsa, negara dan gereja. RIP Paman dan Uskup bagi semua orang.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url