Bayang-bayang Masa Silam | Cerpen Apai Deraman
ilustrasi: Floren. |
Senjakala di ibukota.
Langit merasakan lara hati Ipung. Ia seorang seniman terpandang. Wajahnya menghiasi layar kaca. Namun di balik senyuman itu, ada serpihan jiwa merana. Namanya dikenal luas, tetapi hatinya sepi. Ketenaran yang dimilikinya tidak mengisi kekosongan dalam hidupnya.
Ipung menatap kosong ke arah jendela. Kenangan bersama Sang Ratu, Lura, melintas di benaknya. Wanita itu membawa cahaya ke dalam hidupnya. Saat pertama kali bertemu, ia merasa seolah menemukan bagian yang hilang. Mereka membangun istana kasih penuh harapan. Namun, yang tampak indah ternyata rapuh, seperti bunga yang cantik namun mudah layu.
Hari-hari berlalu, Ipung merasakan ketidakberesan. Keberadaan Laura berubah. Tatapan berpaling. Keterasingan mulai menjelma dalam hubungan mereka. Ada jeda yang semakin menganga di antara mereka, tak terisi kata-kata. Hatinya bergetar, merasakan jarum-jarum menusuk. Ketika kebenaran terkuak, dunia seolah runtuh.
Paula, yang dicintainya, ternyata berkhianat. Sang pengkhianat adalah teman baiknya. Seorang pria yang selalu di sampingnya, berbagi tawa dan duka. Hal itu seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ipung merasakan kepedihan tak terlukiskan. Dua orang terdekatnya menjadi penusuk jahat. Perasaannya hancur, seakan harapan yang dibangun lenyap dalam sekejap.
Suatu malam, aroma berbeda tercium dari Laura. Aroma itu terus mengikuti setiap detik, menandai kehadiran rasa curiga. Sebuah pesan masuk ke teleponnya—nama yang tidak asing, sahabat yang selalu ada. Hatinya tergetar, menyisakan rasa sakit. Ia ingin berteriak, namun suaranya terdiam. Kenyataan pahit menyelimutinya seperti kabut gelap.
Di hadapan media, Ipung tak kuasa. “Saya merasa dikhianati oleh dua orang terdekat,” ucapnya, dengan suara bergetar. Kata-katanya mencabik hati yang hancur. Kebanggaan yang dulu menyisakan kehampaan. Ia merasakan kehadiran banyak mata, tetapi hatinya kosong. Liputan media menjadi momen yang menyakitkan, seolah seluruh dunia menyaksikan kehancurannya.
Keputusan untuk bercerai menjadi pilihan pahit. Cinta masih membara, namun harga diri tak bisa ditawar. Istana kasih kini runtuh, menyisakan puing-puing yang berantakan. Ipung teringat saat-saat manis mereka bersama, tertawa dalam pelukan satu sama lain. Namun semua itu terasa seperti ilusi, lukisan yang retak di tengah badai.
Dalam pelukan kesedihan, Ipung merenung. Kenangan indah seperti belati menusuk. Setiap detik mengingatkan pengkhianatan. Ia ingin berlari, tetapi tahu pelarian bukan solusi. Ia merasa terjebak dalam labirin rasa sakit. Langkah-langkahnya terasa berat, setiap sudut rumah mengingatkan pada kenangan pahit.
Hari-hari berlalu lambat. Setiap sudut rumah terasa asing, seolah tempat itu bukan miliknya lagi. Kenangan bersama Laura menghantui setiap langkah, menanti di balik bayang-bayang. Aroma masakan yang dulu kini hanya bau busuk, menimbulkan rasa mual. Suara tawa mereka tenggelam dalam kesunyian, menggantikan kebahagiaan yang pernah ada.
Ipung mencari cara mengobati luka. Ia melukis, menciptakan karya dari duka. Setiap goresan kuas adalah ungkapan rasa yang terpendam. Dalam seni, ia menemukan ketenangan. Ia menghabiskan berjam-jam di studionya, menyendiri dengan cat dan kanvas. Namun, luka di hatinya masih dalam, seperti goresan yang tak kunjung sembuh.
Ia belajar bahwa cinta bisa menyakitkan. Cinta juga menyisakan luka mendalam, seperti jejak kaki di pasir yang terhapus gelombang. Namun, ada pelajaran berharga di dalamnya. Ia berusaha mengikhlaskan setiap rasa sakit. Namun, bayang-bayang Laura masih menghantui langkahnya, mengingatkan pada semua yang hilang.
Dengan hati terbuka, Ipung melangkah maju. Ia ingin percaya cinta masih mungkin ada, meski rasa takut menyelimuti. Setiap kali bertemu orang baru, hatinya bergetar. Apakah ini akan menjadi luka baru? Meski telah terenggut, semangat hidup harus ada. Ia mulai mencoba berinteraksi, meski ragu di dalam hati.
Dalam perjalanan hidupnya yang baru, Ipung menemukan bahwa meski cinta bisa menyakitkan, ia juga bisa menjadi pelajaran berharga. Ia mulai menulis, merangkai kata-kata dalam puisi. Setiap bait adalah ungkapan dari hatinya yang terluka. Dengan tulisannya, ia berusaha membebaskan diri dari belenggu kenangan.
Suatu malam, saat bintang bersinar di langit, Ipung menatap cermin. Ia melihat sosok penuh luka, namun ada cahaya harapan. Ia berjanji untuk bangkit, tidak lagi terpuruk dalam bayang-bayang pengkhianatan. Cinta mungkin menyakitkan, tetapi semangat untuk hidup, untuk mencintai lagi, harus terus ada.
Ia mulai menghadiri acara-acara seni, bertemu dengan orang-orang baru. Dengan berani, ia mengajak berbincang seorang seniman perempuan. Obrolan yang penuh tawa mengingatkannya pada saat-saat indah bersama Paula. Namun kali ini, ada rasa nyaman yang baru. Mereka berbagi mimpi dan harapan, menyalakan kembali api dalam jiwanya.
Ipung perlahan mulai membuka hati. Ia belajar bahwa cinta yang baru tidak harus sama. Setiap pengalaman mengajarkannya bahwa luka bisa menjadi kekuatan. Dengan semangat baru, ia siap menyambut cinta tulus. Ia tahu, perjalanan ini tidak mudah, tetapi ia bertekad untuk terus melangkah.
Kehidupan terus bergulir. Setiap hari adalah kesempatan baru. Meski bayang-bayang masa lalu masih ada, Ipung berusaha menjalani hidup dengan lebih cerah. Ia menyadari, cinta yang sejati tidak datang tanpa perjuangan. Dengan keikhlasan, ia menerima apa yang telah terjadi.
Dalam pelukan malam yang tenang, Ipung tersenyum. Ia menyadari bahwa luka membawa pelajaran. Ia kini lebih kuat, lebih bijaksana.
Cinta yang hilang mungkin tidak akan kembali. Namun, cinta yang baru menanti untuk ditemukan. Dan dengan hati yang terbuka, Ipung siap menjalani babak baru dalam hidupnya. ***