Faisal Basri "Indonesia tidak Sedang Baik-baik Saja!" - Selamat Jalan!
Faisal Basri (kiri) dan penulis di bandara Supadio, Pontianak. Sahabat lama yang cukup dekat. |
SanggauNews - JAKARTA: Faisal Basri telah berpulang pagi ini, 5 September 2024. Sebagai sahabat dekat, saya merasa kehilangan yang mendalam.
Berita dukacira ini datang seperti petir di siang bolong, mengejutkan saya hingga ke dasar hati. Perasaan saya campur aduk, terutama karena pada saat bersamaan, saya juga mengikuti berita kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia (3-6 September 2024).
Namun, meski dalam suasana hati yang berlarut-larut ini, saya merasa penting untuk menyampaikan sebuah narasi tentang sahabat saya, Faisal Basri, yang sering mengingatkan kita bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Faisal Basri: Indonesia tidak sedang baik-baik saja!
Faisal Basri, seorang ekonom yang sangat saya hormati, sering mengungkapkan kekhawatirannya tentang kondisi ekonomi Indonesia. Ia selalu menegaskan bahwa situasi ekonomi kita jauh dari memuaskan.
Menurutnya, Indonesia sedang menghadapi krisis yang lebih mendalam dari sekadar masalah energi atau ketidakstabilan pasar. "Indonesia tidak sedang baik-baik saja!" adalah seruan yang sering ia lontarkan.
Kekhawatiran Faisal sangat beralasan, terutama ketika kita melihat bagaimana kekuasaan ekonomi di Indonesia semakin terpusat pada segelintir orang.
Dalam pandangan Faisal, struktur ekonomi Indonesia kini dikuasai oleh oligopoli dan monopoli yang memperparah ketidakadilan sosial. Sebagian besar kekayaan negara dan sumber daya ekonomi terkonsentrasi pada tangan segelintir orang yang memiliki kuasa. Ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara yang kaya dan miskin, dan membuat sistem ekonomi semakin tidak adil.
Faisal seringkali menggarisbawahi betapa berbahayanya kombinasi antara kuasa uang dan kuasa politik di negara ini. Ia percaya bahwa hubungan simbiosis antara para pemilik modal besar dengan elit politik membuat situasi semakin parah. "Kuasa uang bersekutu dengan kuasa politik—ini parah!" kata Faisal dengan penuh penekanan.
Kepincangan ekonomi yang akut
Ia menilai bahwa politik dan ekonomi di Indonesia tidak terpisahkan, dan seringkali keduanya saling menguntungkan dalam cara yang tidak adil.
Para pemegang kendali sentral-kekuasaan politik sering kali menjadi sekutu bagi konglomerat. Mereka kawin-mawin. Bersama-sama mengendalikan sebagian besar ekonomi. Akibatnya, kebijakan publik lebih sering berpihak pada kepentingan elit ekonomi daripada pada kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam pandangan Faisal, situasi ini menciptakan siklus yang sulit dipecahkan: kekayaan dan kekuasaan berpusat pada kelompok kecil, yang kemudian mempengaruhi keputusan politik untuk memperkuat posisi mereka. Ini mengakibatkan kebijakan yang tidak efektif dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, serta menghambat perkembangan ekonomi yang adil.
Batubara di Kalimantan: Krisis energi di sumber energi
Faisal juga mencatat bahwa ketergantungan pada sektor-sektor tertentu, seperti energi dan tambang, yang sering kali dieksploitasi oleh oligarki, memperburuk keadaan.
Ekonom kritis itu mengingatkan bahwa meskipun Indonesia kaya akan sumber daya alam, pengelolaan dan distribusinya yang tidak adil menambah penderitaan masyarakat.
Batubara dan minyak yang melimpah dari Kalimantan, misalnya, sering kali hanya memberikan manfaat bagi para pelaku industri besar dan menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional, sementara masyarakat lokal dan negara secara keseluruhan tidak merasakan dampak positif yang signifikan.
Faisal Basri terus menegaskan pentingnya reformasi struktural untuk memastikan bahwa ekonomi Indonesia dapat melayani semua lapisan masyarakat secara adil. Ia mengajak kita untuk tidak hanya melihat sekadar angka-angka makroekonomi, tetapi juga untuk memahami bagaimana struktur kekuasaan ekonomi dan politik mempengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.
Dalam mengenang Faisal, marilah kita refleksikan kembali pesan-pesannya dan berkomitmen untuk memperjuangkan perubahan yang lebih adil dan merata.
Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja. Dan tantangan besar di depan kita adalah bagaimana kita bisa merombak sistem yang tidak adil ini dan mewujudkan negara yang benar-benar berkeadilan untuk semua. Terutama untuk akar rumput dan komunitas yang sejak ribuan tahun lampau hidup di bumi, tanah ulayat warisan nenek moyangnya.
-- Masri Sareb Putra