Langit di Atas Kandang Ayam | Cerpen Munaldus (Liu Ban Fo)

sumber gambar: https://petsfit.com/cdn/shop/fil


     “Kau jangan BODOH!”

      Itu bukan ucapan yang diinginkan Tangkun, walaupun ia tahu itu suara isterinya dari balik dinding papan.

Ketika turun dari empang’ong (tempat tidur kayak dipan tapi dari kayu bulat) pagi itu, Tangkun langsung menuju ruang tamu, mencari undangan yang tiba tadi malam, duduk di lantai papan dan bersandar di dinding. Ia membaca lagi undangan itu. Tadi malam sebenarnya ia sudah membacanyadijemput pukul sembilan, berpakaian rapi, acara pukul sepuluh, datang dengan isteri. “Tempat itu kan kandang ayam. Milik juragan ayam di Sekadau,” suaranya agak keras dan kedengaran isterinya.

“Apanya yang bodoh?” ia bertanya kepada isterinya. “Yang ku tahu tempat undangan ini kan kandang ayam? Aku tahu benar. Bolak balik ke Sekadau, ketika lewat situ aku selalu menutup hidung. Bau tai ayam ho ...”

Bangi, isterinya, tidak mendengar. Ia di dapur sedang menyiapkan makan pagi.

Kalau hanya ke kandang ayam, ngapa aku harus berpakaian rapi seperti dalam bunyi undangan ini, pikirnya.

“Pai … makanan sudah siap!” teriak isterinya dari dapur. Sang isteri memanggil suaminya Apai (pak/bapak).

Tangkun beranjak dari duduknya dan kemudian menuju dapur. Jalannya tebengkek-bengkek karena kakinya yang patah ditabrak orang mabuk tiga tahun lalu belum lagi pulih. Ketika itu ia pulang dari menoreh karet pakai sepeda. Seluruh air getah (lateks) yang ia bawa tumpah. Roda sepeda depan peot. Orang mabuk itu memang jahanam, ia mengumpat. Selama tiga tahun lebih ia sulit berjalan. Kakinya yang patah lama sekali pulih. Kemana-mana harus berjalan dengan tongkat ketiak. Baru enam bulan terakhir ia bisa lepas dari benda itu. 

Isterinya tidak ada di dapur. “Kemana umak nuk (nuk atau in’uk, panggilan kesayangan seorang anak perempuan dalam kalangan Dayak Iban De’sa)?” Ia bertanya kepada anak perempuannya yang sedang memberi babi makan.

“Umak mandi di sungai.” Mudah-mudahan ayahnya mendengar.

Di lantai beralasan tikar, ada nasi panas, telur ayam goreng, mie instan dicampur ikan kaleng sarden, dan secangkir kopi. Itu saja. Ceroboh, kalau ukui (anjing) naik ke dapur, habis ini makanan, pikir Tangkun. Di dapur itu banyak asap, maklum isterinya sedang menanak air di cerek dengan kayu api. Cerek itu hitam legam. Ia mengambil piring, menyendok nasi dan mie instan, dan mengambil satu potong telur ayam goreng. Atas nama bapa, Putera dan Roh Kudus … amin. Ia menandai dirinya dengan tanda kemenangan Kristus, lalu menyuap nasi bersama telur goreng. Menu terakhir adalah kopi panas. Di kepalanya masih terngiang-ngiang kandang ayam yang akan didatanginya sebentar lagi.

Sementara mengunyah nasi dan telur goreng, ia meneguk segelas air putih untuk melunakkan makanan. Ia memandang ke sepeda yang roda depannya sudah berbentuk huruf S masih dipajang di pojok dapur. Kurang ajar si pemabuk yang menabrakku. Membuat aku menderita. Jahanam itu pasti tidak tahu kalau sepeda itu aku beli berkat pinjaman dari Credit Union (CU). Bukan sebentar barang itu baru lunas. Dua tahun, tahu? Tangkun mengumpat hanya di dalam kepalanya.

Tangkun berdiri. “Sudah makan?” kata isterinya. Isterinya sedang naik tangga dapur, pulang mandi dari sungai Sikui. Membawa satu ember air dan satu ember lagi berisi sendok, piring, cawan, gelas, dan lain-lain yang sudah dicuci bersih di sungai. Ember plastik itu berwarna hitam dan tahan banting.

“Sudah. Tadi makanan diletakkan di atas tikar saja, pintu dapur tidak ditutup. Untung ukui tidak masuk,” Tangkun mengeluh.

“Aman! Tadi ukui ikut aku ke sungai,” jawab sang isteri.

Dasar perempuan. Pandai cari pembenaran. “Ya lah. Nasib baik.”

“Kau saja yang nasibnya kurang baik, ditabrak orang mabuk,” isterinya bercanda. “Sana mandi cepat. Jam sembilan jemputan datang. Jangan sampai kita belum siap.”

“Ya… mak janda!” Tangkun balas bercanda. Tangkun masuk kamar, mengambil handuk. Ia bergegas mandi ke sungai Sikui di belakang rumah mereka. Di perjalanan, ia sempat ngintip tempat pemandian di lepung kumpai. Kalau airnya jernih, ia mau mandi di situ saja. Kaki kanannya yang patah masih sulit berjalan jauh, masih terasa nyeri. Ternyata, air di lepung kumpai kotor. Anak-anak gemar sekali mandi di situ sampai airnya seperti pelangkan (tempat mandi) babi. Mana tahan, pikirnya.

Tangkun dan isterinya, Bangi, sedang menunggu jemputan datang. Mereka berdua di ruang tamu, masing-masing duduk di kursi rotan reot.

“Kalau ukui menggonggong pasti itu jemputan datang,” kata Tangkun.

“Ah… belum tentu. Kalau ukui ketemu ular ripung, dia juga menggonggong,” jawab isterinya setengah asal-asalan.

“Kau ini,” jawab Tangkun. “Asal jawab. Salak (gonggongan) ukui kepada orang dan kepada ular beda. Aku ini sudah tua, sudah hidup lebih dari 50 tahun. Tahu bedanya.”

Deru suara Toyota Innova Reborn yang akan menjemput belum kedengaran. Ukui juga masih tidur-tiduran di halaman.    

“Kau bawa hp?” tanya isterinya.

“Kau bawa tidak?” Tanya Tangkun.

“Bawa. Ini!” sang isteri menunjukkan hp nya.

“Aku juga,” kata Tangkun.

Mereka berdua sama-sama membawa hp Nokia Black center. Hanya untuk telpon dan sms saja. Hp android tidak punya. Anak-anak mereka sudah melupakan hp seperti itu.

“Baterainya harus penuh. Kalau baterai habis, tak ada gunanya hp itu,” kata isterinya.

“Kalau kau hilang di tempat ramai nanti, aku bisa pinjam hp kawan?” kata Tangkun.

“Kau hafal nomor hp ku?”

“Ini sudah aku tulis di undangan yang ku bawa,” jawab Tangkun.

Bangi tersenyum sambil memandang ke halaman, ke arah ukui yang sedang tidur-tiduran.

 

“Ugat itu anak yang sangat berguna bagi kampung kita. Ia orang pertama yang sekolah tinggi sampai Pontianak. Kita tidak tahu ia sekolah apa. Tapi ketika tamat, namanya bertambah,” isterinya seperti bercerita kepada anak-anak PAUD.

“Apa nama barunya?” tanya Tangkun.

“Kata mereka nama Ugat menjadi doktorandus Ugat.” Tangkun juga pernah dengar itu.

“Kau masih ingat, akhir maret, 31 tahun lalu, ia mengumpulkan warga dua kampung kita ini. Ada 60 orang lebih hadir. Ugat mengajak kita masuk CU. Malam itu juga CU di kampung kita berdiri. Katanya CU ibarat mobil. Bisa membawa kita ke suatu tujuan. Kata Ugat, CU akan membawa kita ke tanah terjanji. Tempat itu membuat kita bahagia dan sejahtera. Tapi, yang utama semua anak-anak dari kampung kita ini bisa sekolah tinggi sampai sarjana,” Tangkun bicara panjang sampai deru mobil jemputan tidak terpikirkan olehnya.

“Kita bersama-sama hadir malam itu kan?” kata Bangi.

“Aku percaya dengan kata-kata Ugat, karena ia orang sekolahan. Bagaimana dengan umak?” Tangkun panggil isterinya dengan kata Umak (mama) lagi.

“Orang yang tambah nama dokterandus seperti Ugat, itu lah yang namanya orang sudah sarjana. Aku percaya saja pada penilaianmu. Tapi, banyak juga orang yang hadir malam itu tidak percaya. Ugat pasti berbohong. Kalau kita sudah mengumpulkan uang, ia akan bawa uang kita ke Pontianak. Dikorupsi,” jawab Bangi. “Itu saya dengar kawan-kawan di sebelahku berbisik-bisik.”

“Ya … wajar kalau orang ragu sih… Kan banyak orang berpandangan Melihat Dulu Baru Percaya.” Jawab Tangkun. “Itu sebabnya pada bulan Maret, hanya 26 orang saja yang masuk CU kita.”

“Ugat bilang bahwa CU dapat berdiri kalau ada anggota paling kurang 20 orang. Sampai akhir Maret, tahun itu, ada 26 orang yang percaya kepada CU yang kita dirikan. Dan kata Ugat lagi, 26 orang itu adalah anggota pendiri. Untung kita berdua langsung masuk CU malam itu. Sekarang kita tahu, kita telah membuat sejarah. Itulah jejak tapak kaki kita,” kata Bangi. “Kalau kita sudah mati, mungkin nama kita berdua sering disebut-sebut.”

“Bahkan foto pendiri, termasuk kita berdua mungkin akan mereka pajang di kantor-kantor CU. Sepertinya kita pelaku sejarah,” Tangkun bicara agak tegas.

“Sekarang kau tahu, banyak yang hadir malam itu menyesal, mengapa tidak masuk menjadi anggota pendiri. Kadang-kadang keraguan bisa membuat kita menyesal bahkan celaka. Bahkan para anak cucu bisa juga menyesal,” kata Bangi. “Mengapa orang tua mereka tidak menggunakan kesempatan ketika kesempatan itu tiba.”

“Kau hebat, bisa membuat kalimat seperti itu. Benar, sejarah tidak dibangun oleh orang yang ragu.”

“Sekarang seluruh warga kampung kita terbuka matanya. CU yang kita dirikan telah maju dan ada dimana-mana,” kata Bangi. “Bangga sekali rasanya.”

“Gedung Rektorat ITKK, kampus tempat anak-anak kita bisa kuliah dan menjadi sarjana, yang akan diresmikan nanti bukti bahwa CU semakin dicintai masyarakat,” kata Tangkun.

Lima orang penumpang di dalam mobil jemputan itu adalah pendiri CU. Mereka wajib hadir dalam acara besar itu. Karya panjang CU selama 31, hampir 32 tahun. Mobil itu berhenti di halaman gedung megah yang akan diresmikan pukul 10. Karya orang-orang, seperti doktorandus Ugat, yang tidak pernah lelah berpikir besar untuk kemajuan kaumnya. Tangkun dan kawan-kawan keluar dari mobil itu.

Bangi menepuk bahu suaminya. “Sekarang kau lihat ya, apakah tempat ini masih kandang ayam seperti yang kau yakini?”

Tangkun mengusap kedua matanya lalu melihat ke sekeliling. Ia ingin memastikan bahwa dulunya tempat itu adalah kandang ayam. “Sekarang aku percaya, bagaimana ceritanya bisa seperti ini ya?” Tangkun sungguh-sungguh kagum.

“Bapak ibu nanti duduk di tempat duduk yang telah kami sediakan. Para pendiri CU duduk di sebelah sana,” penerima tamu itu menunjuk ke arah tenda warna merah dan putih. “Tapi acara lima belas menit lagi baru mulai. Bapak ibu ke Lupung Coffee di sana dulu ya. Ngopi dulu. Para pendiri yang lain sudah di sana,” kata cewek cantik dengan busana adat Iban dengan ramah.

“Bapak pesan apa?” tanya pelayan cafĂ©.

“Kopi,” jawab Tangkun. Ia melihat ke sekeliling dan lagi-lagi terkagum-kagum terhadap apa yang sudah dikerjakan oleh CU yang ia sendiri sebagai pendirinya. Hebat sekali anak-anak muda penerus CU ini. Kalau mereka bukan anak sekolahan, mungkin tidak akan seperti ini kemajuannya, pikiran Tangkun berkelebat.

Lupung Coffee itu pas di atas bekas kandang ayam. Ketika pikiran Tangkun mengingat tempat ini, seolah-olah ada bau tai ayam datang. Tapi itu benar-benar fatamorgana. Sekarang kopi di cangkir baru setengah diseruput.

 

Pukul 06:00 lewat, hampir pukul 07:00 pagi, semua kelengkapan ritual adat untuk menerawang apakah gedung rektorat ITKK itu akan dibangun atau tidak sudah rampung. “Sudah siap semua?” kata Apai Janggut.

“Sudah,” kata seorang ibu tetua rumah betang Sungai Utik. Para pembantu itu sangat tahu dengan tata cara ritual adat Iban itu.

Apai Janggut memulai ritual “U ha, u ha, u ha …,” Ia bersempata. Berbicara kepada para penguasa alam semesta di tempat, meminta petunjuk. Kalau mendapat restu, akan dibangun kantor rektorat ITKK yang megah di lahan bekas kandang ayam itu. Karena biaya pembangunan mahal, maka menurut adat, kebiasaan, dan tradisi, para pemikir itu harus terlebih dahulu bertanya kepada leluhur. Bertanya melalui sebuah ritual adat.

Apai menusuk  babi itu ke arah hatinya dengan lung’ak (pisau yang biasa untuk meraut rotan). Babi itu benar-benar kesakitan dan akhirnya pasrah. Siapa saja yang mencintai binatang tak sampai hati menatap peristiwa itu. Dan tak lama hati babi itu berhasil dikeluarkan.

“Pak Ugat ke sini,” pinta Apai. Ugat mendekat. “Ini, dari tanda hati babi kita dikasi tahu para leluhur bahwa kita pemenangnya. Empedunya penuh dan berisi. Pak lihat ini, hati babi sebelah atas kita punya, yang sebelah bawah ini pihak lain yang akan menghalangi kita membangun gedung di sini. Hati sebelah bawah nampak layu, pucat, tak berdaya. Inilah tandanya. Sudah ratusan kali aku melaksanakan ritual seperti ini dan jarang meleset. Penerawangan selalu benar. Jangan ragu-ragu untuk membangun gedung kuliah di sini. Nanti bapak lihat, anak-anak dari berbagai penjuru kuliah di sini.”

Ugat tersenyum dengan hati yang gembira. Banyak aktivis Keling Kumang mendengarkan arti hati babi itu. Semua merasa lega. Berarti gedung rektorat akan segera dibangun.

Ugat kembali duduk ke tempatnya semula. Duduk di atas tikar di dekat pegelak (atribut ritual). Di kepala Ugat muncul lagi kisah pembelian lahan di atas kandang ayam itu.

Suatu hari rekannya, Bagong, menelpon. “Pak, ada tanah 4,7 ha mau dijual, bapak berminat?”

“Dimana itu?”

“Di jalan Sintang, pal 4, sebelah kiri. Sekarang tanah itu kosong dan sudah semak belukar,” kata Bagong.

“Itu kan dulu kandang ayam?”

“Ya, sekarang sudah pindah, berhubung ada protes dari masyarakat sekitar. Bau tai ayam menyebar ke pemukiman. Pemerintah yang meminta pemilik menutupnya.” 

“Oh begitu,” jawab Ugat. “Dijual berapa?”

“175ribu per meter,” jawab Bagong.

Ugat berpikir sejenak. “Kalau 170rb per meter, kami beli,” jawaban spekulasi bermain insting saja. Ya, pemikiran Ugat sering masih didengarkan oleh para penerusnya.

“Saya akan tanya bos pemilik tanah pak,” jawab Bagong. Pembicaraan selesai.

Ugat menghubungi rekan-rekannya perkara membeli tanah itu. “Untuk apa tanah itu?” tanya seorang petinggi gerakan Keling Kumang.

“Saya juga tidak tahu. Kita simpan saja dulu. Kita beli ya, kalau bisa 170rb per meter!” tegas Ugat.

Singkat cerita, tanah itupun dibeli. Beberapa tahun, lahan itu tetap nampak bekas kandang ayam. Gardu listrik berkarat masih tetap di situ. Kabel listriknya juga masih tertaut ke kandang yang sudah porak poranda seperti terkena mortir.

 

“Tamu undangan dipersilahkan menuju tenda,” bunyi pengumuman dari pengeras suara.

 

Cewek penerima tamu datang lagi ke Lupung Coffee. “Bapak, ibu, pendiri silahkan menuju tenda. Acara akan segera dimulai. Duduk di tempat yang ada tulisan PENDIRI ya bapak ibu?”

Orang-orang itu beranjak menuju tempat duduk istimewa untuk para pendiri. Separuh dari mereka sudah di alam keabadian.

Ketika acara puncak, pembawa acara meminta Tangkun dan Bangi maju ke depan. Di tengah arena ada balon raksasa yang akan diterbangkan. Di balon itu tertulis: INILAH KAMPUS MASYARAKAT ADAT. TEMPAT MENCETAK SATU KELUARGA SETIDAKNYA ADA SATU SARJANA.”

Balon sudah menggantung diudara dengan seutas tali. Angin menggerakkan balon itu tak teratur. Tulisan di balon itu sangat jelas terbaca. Tangkun dan Bangi, sang pendiri sudah di dekat tali itu. Mereka berdua mendapatkan kehormatan untuk menggunting tali dan menerbangkan balon itu sebentar lagi. Entah kemana balon itu kemudian, keduanya tidak mampu mengira. Dan yang terbaik, biarkan balon itu terbang sesuka hati.

Sudah ada satu sarjana di keluarga Tangkun dan Bangi. Sarjana pertanian, lulusan Untan. Jadi, itu mungkin salah satu sebab mengapa panitia meminta mereka berdua yang menggunting tali balon itu. Selain mereka berdua adalah pendiri. 

Kata pembawa acara: “Para hadirin sekalian. Dua orang pendiri CU, suami dan isteri, juga sudah ada satu sarjana di keluarga ini, kita beri kehormatan untuk menerbangkan balon ini. Bapak ibu setuju?”

“Setuju….! Kata para hadiran dengan tepuk tangan membahana.

Tangkun dan isterinya Bangi maju mendekat ke tali balon. Bujang Keling dan Dara Kumang membawa nampan, di atasnya ada sebuah gunting. “Bapak ibu semua kita saksikan pelepasan balon. “Pak Tangkun silahkan membaca keras-keras tulisan di balon itu,” pinta pembawa acara. Tangan mengambil gunting di atas talam.

“Atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus,” Tangkun berbicara kepada Tuhannya beberapa saat. Tak ada hadirin yang tahu apa doanya karena suara tidak kedengaran hadirian. Katanya dengan suara keras: INILAH KAMPUS PERGURUAN TINGGI MASYARAKAT ADAT. TEMPAT MENCETAK SATU KELUARGA SETIDAKNYA ADA SATU SARJANA, suara Tangkun menggelegar penuh keyakinan. Ia menggunting tali balon itu. Cahaya matahari di atas gedung tertutup awan. Langit begitu bersahabat. Bak perjalanan orang Israel menuju tanah terjanji: Pada waktu malam ada tiang api dan pada waktu siang ada tiang awan.

Angin menerbangkan balon itu ke angkasa. Pertama-tama, balon itu terbang berputar-putar dibawa angin pas di atas gedung rektorat ITKK yang mengambil semangat Harvard University, 7 Prinsip Koperasi dan angka keramat masyarakat adat, khususnya Dayak.

Para hadirin tepuk tangan dan menyaksikan balon itu berputar-putar di atas atap gedung, kemudian terbang tinggi dan berbelok ke arah barat. “Mungkin memang benar, para leluhur dan Tuhan alam semesta merestui tempat ini sebagai kampus perguruan tinggi masyarakat adat,” kata pembawa acara membenarkan apa yang ada di pikiran kebanyakan hadirin.

Pukul 3:00 sore, Tangkun dan Bangi sudah tiba di rumah. “Bagaimana perasaanmu ketika tanpa pemberitahuan terlebih dahulu didaulat menerbangkan balon raksasa itu?” tanya Bangi.

“Senang sekali. Ternyata kita yang kehidupan ekonomi masih payah ini ada juga yang mengenang jasa kita sebagai pendiri,” jawab Tangkun.

“Kau yakin bahwa umurmu masih panjang dan dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa besar selanjutnya yang dilakukan oleh Keling Kumang?” Tangkun tak menduga isterinya bertanya seperti itu.

“Aku yakin, besok aku belum mati.”***

 

Sekadau, 5 Agustus 2024

Munaldus

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url