Selamat Jalan Koperku | Cerpen: Liu Ban Fo

 

Ilustrasi: Dok. SanggauNews.

Mulate, pemuda setengah baya dan masih jumblo, sering kecewa dengan dirinya sendiri. Satu tabiat sering mencelakakannya. Tapi tabiat itu sulit ia buang, masih terus menempel pada dirinya – ia selalu tergesa-gesa.

Ketika mengakhiri pengabdiannya di CU sebagai CEO yang dijalaninya selama delapan tahun, ia minta cuti selama sebulan penuh kepada atasannya, Pengurus. Ia benar-benar merasa jenuh. Permintaan itu dikabulkan, bahkan Pengurus memberikan bonus untuk ongkos liburannya itu.

Delapan tahun sebagai CEO benar-benar melelahkan. Sekali-sekali aku memanjakan diri, pikirnya. Ia ingin berlibur ke provinsi Yunnan, Cina, yang menurut legenda  menjadi asal usul leluhurnya. Entah benar, entah tidak. Ia kenal seorang aktivis CU didikan kaum Yesuit yang hampir setiap tahun bertemu di ACCU Forum, Theresia. 

Theresia itu cantik. Kulit sawo matang, ramah, tinggi semampai. Theresialah yang akan menjemput Mulate di Bandara Kunming ketika sudah mendarat di sana. 

Apakah Mulate dan Theresia punya hubungan spesial sehingga Mulate benar-benar ingin ke Kunming? Tidak ada yang tahu. Urusan pasport dan visa ke Kunming sudak klar. Tinggal berangkat saja.

Mulate sudah tidak sabar menunggu hari keberangkatannya. Akhirnya, malam keberangkatannyapun tiba. Ia pamit kepada rekan-rekan dekatnya pada malam itu. 

Pesta kecil dilaksanakan: bakar ikan dan ayam. Lima botol bir dan sebongkah besar batu es menyertai menu itu. Tak banyak yang hadir, paling-paling sepuluh orang saja. Dua aktivis perempuan ikut hadir. Kedua staf perempuan itu sudah menduduki jabatan penting di CU. Ketika Mulate menjadi CEO, mereka berdua menjadi tim di lingkaran CEO.

“Apa yang dikerjakan selama sebulan di sana?” tanya salah seorang dari mereka.

“Aku akan mengisi baterai motivasiku. Kuharap setelah pulang nanti ada nuansa baru,” jawabnya.

“Selamat jalan kawan,” kata kawan-kawannya setelah mereka secara bersama-sama menyanyikan lagu Kemesraan diiringi petikkan gitar yang payah. Ternyata tak satupun dari mereka yang terampil bermain gitar. Suasana malam sudah semakin larut. Malam itu bukan saatnya cahaya bulan menyinari tempat mereka berada. Hanya kelap kelip bintang di langit yang akan menghantarkan kepergian Mulate ke negeri jauh itu.

Ketika tiba di rumah kontrakkannya, ia melihat sebuah koper yang cukup besar sudah dikemas rapi. Tak ada lagi barang yang bakal ketinggalan. Usai sikat gigi, ia langsung masuk kamar tidur, mematikan lampu, dan tidur.

Sekitar dua jam tidur, ia berteriak keras. Untung di rumah kontrakkan itu ia tinggal sendirian. Jadi, tak ada orang yang mendengar Mulate mengigau. 

Dalam mimpi itu ia masuk hutan belantara yang luas sendirian. Tiba-tiba seekor harimau mengejarnya. Harimau itu benar-benar kelaparan. Jadi, pastilah ia akan menjadi santapan renyah siang itu. Mulate berlari secepat-cepatnya agar terhindar dari terkamanan harimau. Namun, apa daya Mulate kemudian kelelahan. Ia menyerah.

Mulate lalu duduk bersila menghadap mata hari terbit, memejamkan mata, sambil berdoa. Detik-detik menunggu harimau itu mengoyak-ngoyakkan dirinya. Ia pasrah. Namun, anehnya si harimau belum juga bereaksi. Ia ingin tahu apa gerangan mengapa si harimau belum juga menerkam dirinya. 

Ia membuka mata. Menoleh ke sebelah kanan. Tidak ada apa-apa. Tak ada harimau di situ. Lalu ia pelan-pelan mengerakkan lehernya ke sebelah kiri, ternyata harimau itu duduk di sampingnya. “Mengapa kau duduk di dekatku,” tanya Mulate kepada harimau itu.

“Iya bang... aku benar-benar kelaparan. Sudah dua hari tidak makan. Sebelum makan saya berdoa dulu,” jawab harimau itu. Mulate melompat dari tempat duduknya dan berteriak sekeras-kerasnya. Ia terbangun dari tidurnya, dan ternyata itu hanya mimpi. Setelah agak tenang, ia merenung apakah mimpi itu menandakan sesuatu yang akan terjadi pada dirinya? Ia mengabaikan perasaan itu dan tidurnya pun dilanjutkan.

Pukul 10:00 pagi adalah jadwal penerbangannya menuju negeri jauh itu, kota Kunming, provinsi Yunnan. Pukul 09:00 urusan check in dan imigrasi sudah selesai. Ia masuk ruang tunggu. Penumpang berjubel, ramai sekali.

Mulate duduk di kursi tunggu di depan Gate keberangkatan. Karena tadi malam tidur larut malam, ia lalu tertidur. Begitu mendengar suara panggilan boarding, ia kontan saja beranjak dari tempat duduknya dengan membawa barang bawaan kabin: laptop, hp, kamera, dan tas kecil. 

Ia melihat beberapa penumpang terakhir tergesa-gesa menuju pesawat yang akan menerbangkan mereka. Ia sangat yakin itulah pesawat yang akan mengantarkannya ke negeri antar berantah itu. Iapun boarding dengan headset masih menempel di telinga dan musik mengalun merdu. Jadi, ia tidak mendengar apapun suara yang datang dari luar.

Ternyata kursi di pesawat A330 itu hanya terisi kurang dari separuh. Mulate duduk di kursi seperti yang tertulis dalam boarding pass, tapi ia tidak lagi memeriksa boarding pass itu. Pokoknya ia ingat kursinya 34A, duduk dekat jendela. Dua tempat duduk di dekatnya 34 B dan C ternyata kosong. Pukul 09:45, pesawat A330 itu take off dengan mulus. Mulate merasa senang, saatnya nanti akan mendarat di bandara internasional di Kunming, Yunnan. Negeri leluhurnya. Theresia juga mungkin tidak sabar menunggu kedatangannya.

Tiga puluh menit kemudian, ia merasakan sesuatu yang aneh. Setelah dicek-cek, ternyata ia salah naik pesawat. Pesawat yang ditumpanginya itu akan menuju Bandara Colombo, Sri Lanka. Pikirannya kacau balau. Pasti koperku tiba di Kunming dan akunya sampai Colombo, pikirnya. 

Aneh! 

Banyak pertanyaan muncul: bagaimana dengan visa masuk Sri Lanka, bagaimana dengan pakaian di dalam kopernya, dan lain sebagainya. Awalnya ia begitu panik, tapi akhirnya ia pasrah dan mencari solusi. Untungnya ia membawa kartu ATM. Mungkin cukup, pikirnya. Ia menyalahkan dirinya sendiri dengan tabiatnya itu, suka tergesa-gesa.

Seorang pramugari lewat. “Jam berapa kita akan tiba di Colombo?” tanyanya dalam bahasa Inggris berpura-pura tidak tahu.

“Sekitar pukul 11;30 waktu Colombo,” kata pramugari yang tinggi semampai, kulit agak hitam, dengan pakaian khas wanita Sri Lanka, sari. Sebenarnya ia hanya mengecek kebenaran apakah ia benar-benar menumpang pesawat yang salah atau tidak. Benar-benar sial, pikirnya. Nasi sudah menjadi bubur. Pikiran kacaunya berubah mencari solusi terbaik.

Ia memandang layar monitor di depannya. Tawaran koneksi internet. Lima belas menit $2. 25 menit $15. Nah, ini mungkin solusi, pikirnya. Ia menekan tombol bantuan di atas kepalanya. Tak berapa lama, seorang pramugari datang: “Apa yang dapat saya bantu,” kata si pramugari.

“Sambungkan internet buatku.” Ia menyerahkan uang $15.

“Hanya 25 menit,” kata pramugari itu.

Mulate menghidupkan laptop dan dalam beberapa saat laptopnya telah terhubung ke jaringan internet. Ia mengurus visa secara online ke Kedutaan Sri Lanka di negaranya. Dalam waktu sepuluh menit, semua baik-baik. Ia kemudian mentransfer $200 untuk mendapatkan visa secara online. Visanya pun kemudian didapat. Untung, satu masalah terselesaikan, pikirnya.

Masih ada satu masalah lagi. Pakaian dan perlengkapannya di dalam koper ada di Kunming. Tak ada yang bisa diharapkan dengan koper itu, pikirnya. Aku harus membeli pakaian ketika tiba di Colombo. Ia belum pernah pergi ke Colombo, sehingga seperti apa gambaran kota itu, tak ada sama sekali muncul di benaknya.

Pukul 13:30, Mulate sudah tiba di lobi sebuah hotel di pusat kota Colombo diantar seorang sopir taksi. Hp, Laptop, dan kartu ATM yang berisi uang adalah aset Mulate yang paling berharga. Ia benar-benar gelisah dengan dirinya. Entah kenapa perjalanan yang sudah dirancang sedemikian lama tiba-tiba berantakkan. Kelalaian kecil berakibat fatal. Ia terpaksa melupakan soal liburan di Kunming dan pergi ke pedalaman provinsi Yunnan, bersama Theresia.

Ia duduk di kursi tamu di depan front desk hotel. Seorang tamu hotel duduk di dekatnya. 

Orang itu berperawakkan tinggi besar, memakai jas dan berdasi. 

Mulate menarik dompet di saku celananya dan membuka lipatan dompet itu. Kartu nama dengan Logo CU, dua tangan yang mengangkat bola dunia, nampak jelas. Orang yang duduk di dekat Mulate tiba-tiba menyapanya. “Kau orang Credit Union?”

“Ya sir...” jawabnya. “Aku baru saja menyelesaikan tugasku sebagai CEO CU di negeriku.”

“Aku ketua Federasi CU di negeri kami,” kata orang itu. Ia menyorongkan tangan. “Namaku Kiri,” kata orang itu. Selembar kartu nama diserahkan.

“Oh Tuhan. Aku tak menyangka kita bisa bertemu. Namaku Mulate,” katanya sambil menyerahkan kartu nama berlogo CU itu. “Kau kenal aktivis CU paling terkenal di negeri kami, pak Robby.”

“Maksudmu Robby Tulus?” tanyanya lagi.

“Iya..iya...benar.” Mulate membuka hp Samsungnya dan menunjukkan fotonya bersama pak Robby di suatu pertemuan.

Pak Kiri memandang foto di camera hp Mulate. “Itu temanku. Kami berjuang membesarkan CU di negeriku sejak 1970. Jadi, apa misimu datang ke Colombo ini?” tanya pak Kiri dengan rasa ingin tahu.

Mulate terdiam. Beberapa saat kemudian ia menjelaskan asal muasal ceritanya. Ia salah naik pesawat. Seharusnya, ia naik pesawat ke Kunming, Cina dan hendak berlibur sebulan penuh. Tapi hanya kopernya saja yang terbang ke kota itu. Ampun.... teriak nya dalam hati. Ia lalu teringat betapa kecewanya Theresia yang sudah menantikan kedatanganya.

“Kau bersamaku. Kau tak perlu kawatir. Kamu boleh tinggal di Sri Lanka berapa lama yang kau mau. Mungkin kau perlu belajar atau setidaknya melihat apa yang sudah kami kerjakan sejak 1970,” kata pak Kiri. “Hari ini kau menginap di hotel ini. Besok pagi aku akan jemputmu. Kita menuju Sanasa Campus, 80 km dari tempat ini.”

Pukul 15:00, pak Kiri mengantar Mulate pergi ke toko pakaian di pusat perbelanjaan berlantai lima dengan menumpang Toyota Land Cruiser milik pak Kiri. Seorang sopir memakai baju kaos biru. Di depan sebelah kiri tertulis SANASA. Sedangkan di bagian belakang baju itu tertulis SANASA INSURANCE.

Pak Kiri mengantarkan Mulate belanja ke sebuah Mall berlantai lima. Gedungnya megah.

“Ini Mall milik SANASA juga,” kata Pak Kiri menjelaskan. 

Mereka bercakap panjang lebar. Pak Kiri menjelaskan Grup SANASA yang sudah dibangunnya. 

“Dua tahun lalu kami membangun sebuah gedung megah berlantai lima. Gedung itu kami sumbangkan ke perintah. Sekarang digunakan untuk rumah sakit. Besok aku akan menunjukkan gedung itu kepadamu.” Mulate terkagum-kagum, seolah-olah telah lama melupakan kopor dan Theresia di Kunming.

Esok pagi sekitar pukul 07:30, mobil pak Kiri sudah menunggu di parkiran Hotel. Pak Kiri langsung menuju lobi Hotel dan Mulate sudah menunggu sekitar sepuluh menit. Pukul 07:45 Mulate check-out dari Hotel itu dan mereka berangkat menuju SANASA CAMPUS, 80 km jaraknya dari kota Colombo. Sepanjang perjalanan Mulate dan Pak Kiri bicara tentang gerakan CU yang bermetamorfosa menjadi Grup.

“Di negeri kami, gerakan CU belum sampai membangun grup pak,” kata Mulate.

“Kebutuhan anggota bukan hanya uang bukan?” tegas pak Kiri. SANASA GRUP sudah memiliki Bank, Asuransi, Properti/Developer, Universitas, Media, Travel, dan lain-lain. “Tapi..., jangan sekali mengeluarkan ide diawali dengan uang. People first. Kita membangun manusia, bukan money making money,” tegasnya.

“Terima kasih pak. Aku sesungguhnya tidak tersesat, tetapi alam semesta mengarahkanku ke tempat anda. Jika Anda tidak keberatan, aku akan mempelajari semua ini selama sebulan di sini. Ketika aku pulang nanti, rahasia membangun Grup Koperasi sudah di tanganku.”

Selamat jalan koperku.

 

[Selesai]

  

Post scrptum: 

Cerpen ini didedikasikan buat Pionir Gerakan CU Indonesia, Bapak Robby Tulus, dan Bapak Kiri, di Sanasa, Sri Lanka.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url