Novel Bermutu tidak Mesti Tebal
Novel bermutu, bukan mesti tebal. Karya Gibran contohnya. Dok. Sanggau News. |
SanggauNews: Beberapa kali turut mengantar novel menang dalam sayembara di aras nasional maupun dinternasional (Dari sayembara mengarang roman DKJ hingga Hadiah Mastera - Majlis Sastra Asia Tenggara), saya tiba pada simpukan seperti judul narasi.
Ya, gak mesti tebal! --seperti sebuah iklas pembalut wanita. Novel bermutu, tidak mesti tebal. Yang penting mengandung unsur-unsur sastra. Dan dengan tuntas serta tajam menggambarkan karakter, penciri utama lelakon, yang menjadi tokoh sentral novel.
Novel-novel Gibran misalnya, jarang ada yang tebal. Rerata di bawah 100 halaman.
Bukan sekadar tebalnya
Sebuah novel yang berhasil dan monumental bukanlah sekadar tentang ketebalan halaman yang mencapai ribuan. Banyak contoh karya sastra yang membuktikan hal ini, seperti The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald yang hanya 200 halaman, Saman karya Ayu Utami dengan 197 halaman, dan Dari Lembah ke Coolibah karya Titis Basino yang panjangnya 150 halaman.
Meskipun relatif singkat, karya-karya ini mampu menggambarkan kompleksitas manusia dan menyentuh isu-isu mendalam dalam masyarakat.
Sebuah cerita yang memukau tidak selalu tergantung pada panjangnya, melainkan pada kekuatan kualitas dan kandungannya. Teknik storytelling yang efektif adalah kunci utama untuk menarik perhatian dan memikat pembaca.
Bayangkan sebuah cerita dimulai dengan pengenalan yang kuat: sebuah adegan pembuka yang langsung membangkitkan rasa ingin tahu. Karakter utama, seorang petualang muda yang penuh semangat, tertarik untuk menjelajahi hutan terlarang yang dipenuhi dengan misteri. Desiran angin dan suara hutan yang sunyi menciptakan suasana yang tegang dan misterius.
Dalam perjalanan petualangannya, karakter ini bertemu dengan berbagai tantangan dan karakter lain yang memperkaya cerita. Setiap dialog dan interaksi dibangun dengan hati-hati untuk mengungkapkan lebih dalam tentang dunia cerita dan memperkuat hubungan antar karakter.
Konflik yang tumbuh di sepanjang cerita menguji tekad sang petualang dan menghasilkan momen-momen dramatis yang memegang perhatian pembaca. Klimaks cerita mencapai puncaknya ketika karakter utama menghadapi pilihan sulit yang mengubah nasibnya secara mendalam.
Namun, di balik tegangnya cerita, ada juga sentuhan humor yang diselipkan dengan baik untuk menghibur pembaca. Karakter-karakter pendukung yang menggemaskan atau kejadian lucu yang terjadi di sepanjang petualangan memberikan hiburan tambahan.
Dengan penggunaan bahasa yang tepat dan deskripsi yang hidup, penulis berhasil menghidupkan setiap adegan. Pembaca tidak hanya terlibat secara emosional, tetapi juga terhanyut dalam imajinasi yang ditawarkan oleh cerita ini.
Akhir cerita memberikan penyelesaian yang memuaskan, di mana semua benang merah cerita terikat dengan baik dan memberikan kesan yang mendalam kepada pembaca. Cerita ini bukan hanya tentang petualangan, tetapi juga tentang pertumbuhan karakter dan makna yang tersirat di balik setiap kejadian.
Karakter kuat saja tidak cukup
Sebuah cerita yang berhasil tidak hanya memikat dengan jalan ceritanya, tetapi juga mampu menghibur dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi pembaca.
Bahkan karya-karya yang lebih tipis seperti The Prophet karya Kahlil Gibran dengan 96 halaman atau The Madman dengan 71 halaman mampu menciptakan dampak emosional dan spiritual yang mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan sebuah novel terletak pada keutuhan cerita, kedalaman karakter, dan kejelasan tema yang dieksplorasi, bukan pada jumlah halaman yang digunakan untuk mengisahkan cerita tersebut.
Dengan kata lain, sebuah novel yang berhasil adalah yang mampu menyampaikan pesan-pesan universal dan mendalam dalam ruang yang relatif singkat. Sekaligus menampilkan kemampuan pengarang untuk menghidupkan dunia imajinatifnya dengan cara yang menarik dan mempengaruhi pembaca secara emosional dan intelektual.
-- Masri Sareb Putra