Cerpen Munaldus | Gol ... Gol! “Belubah Pastor!”
ilustrasi: Ist.
Gol ... Gol! “Belubah1 Pastor!”
Aku tak mengira ada ungkapan seperti itu. Kurasa itu setengah memuji. On time itu memang penting dalam hidup ini.
Aku masih berdiri di depan pintu Pastoran
di Rawak. Pastor Petrus, CP, begitu umat memanggilnya, juga masih berdiri di
depan pintu, belum mempersilahkan kami masuk. Dari raut wajahnya yang ceria dan
sapaan hangatnya aku tahu ia welcome sekali melihat kami datang. Lagi
pula sudah ada janji sih datang pukul 14:00.
Aku
ditemani pak Heri dan Niko, driver kami di CU Keling Kumang yang paling
dipercaya Pastor Petrus. Kelak kalau ia ingin ke Kuching untuk berobat, ia akan
menelpon Niko. Niko dengan senang hati mengantarnya ke Kuching dan CU Keling
Kumang pasti mengijinkan dengan fasilitas mobil CU Keling Kumang.
“Silahkan masuk,” katanya.
Aku melihat ruang tamu Pastoran tidak terlalu besar. Ada meja
panjang yang di atasnya ada termos berisi air panas, kopi, teh celup dan gula. Aku
langsung duduk santai. “Mau minum apa? Kopi, teh, itu yang ada. Buat sendiri.
Semua tersedia di atas meja,” kata beliau.
Aku
memilih minum teh. Sebab lewat pukul 14:00 aku tidak dapat lagi minum kopi.
Kopi membuat aku sulit tidur malam. Pastor
Petrus ditemani oleh seorang Pastor lagi untuk menggembalakan umat di wilayah
kerja Paroki Rawak, Sekadau. Kali ini Pastor itu tidak di tempat. Mungkin
sedang pelayanan ke kampung.
“Besar
sekali layar tv itu pastor?” kata Niko.
“Ya,
untuk nonton bola,” jawabnya. Pastor Petrus seorang pemain bola dan penggemar
salah satu klub bola Italia.
“Kalian
mau minum anggur? Anggur yang biasa dipakai waktu misa. Boleh kita minum masih
ada stock. Anggur ini belum diberkati. Jadi, boleh kita minum. Tapi tidak
banyak. Satu gelas seorang masih bisa,” katanya. Ia memegang gelas kecil,
menuangkan anggur dari botol warna hijau gelap ke gelas. “Ini untuk pak
Munaldus.”
Aku
menerimanya. Ia menuangkan ke tiga gelas yang lain. Satu untuknya, satu untuk
pak Heri, dan satu untuk Niko.
“Ayo
bersulang,” katanya. Dua dua gelas bergiliran bersulang.
Aku
meneguk. Enak sekali. Seumur-umur aku belum pernah minum anggur sebanyak itu.
Karena kalau diberi kesempatan minum anggur itu ketika misa, hanya satu teguk
kecil saja. Kali ini istimewa.
Apakah
aku, pak Heri dan Niko tamu VIP baginya. Tapi CUKK sering meminta pelayanan
dari beliau. Sampai aku lupa selain untuk misa pembukaan dalam berbagai acara.
“Kalian
di sini saja ya. Saya mau melihat genset dulu. Ada seorang anak yang saya minta
mengurusnya. Tapi, seringkali dia lalai mencatat berapa jam genset menyala.
Kalau lupa catat nanti saat harus ganti oli kita tidak ganti oli. Cara kerja
seperti itu membuat susah. Mesin cepat rusak. Ia menggelengkan kepala dan
mengepakkan tangan, tanda kesal. Cara orang Italia berkomunikasi seperti itulah,
selain ngomong bahasa tubuh juga jalan.
Ketika
Pastor Petrus keluar. “Ada cerita lucu yang saya dengar. Suatu malam, anak-anak
Mudika datang nonton bola di sini. Pertandingan tengah malam. Ramai. Tahu-tahu
baru setengah permainan, klub bola favorit Pastor Petrus kalah. Ia maju
mendekati tv, lalu mematikan tv itu saking kesal. Anak-anak yang masih mau
menonton lalu kecele dan mereka diminta pulang. Lucu Pastor ini,” kata Niko.
“Di
samping komplek Pastoran di Rawak ada lapangan sepak bola bagus. Dimana-mana
dia bertugas selalu ada lapangan sepak bola,” kata pak Heri. “Itu ciri khas
beliau.”
“Dulu
waktu aku di SMP Santo Gabriel Sekadau tahun 1977-1980, aku tinggal di asrama,
hampir setiap sore pastor-pastor Italia itu main sepak bola di lapangan sepak
bola samping asrama. Waktu itu mereka masih muda-muda.
Sosok tinggi, tegap dan berambut panjang
itu muncul lagi. “Bagaimana rasanya anggur ini?” ia langsung duduk lagi.
“Enak
sekali pastor. Tapi kalau sampai minum dua gelas bakal pusing juga,” kataku.
“Ah …
tidak. Dua gelas belum apa-apa,” jawabnya. Ia meneguk lagi anggur itu. “Mau
tambah lagi? Masih ada ini,” katanya. Ku lihat anggur di dalam botol itu sudah
jauh berkurang.
“Sudah
cukup pastor. Terima kasih.”
Kami
sudah ngobrol hampir dua jam. “Pastor, kami mau pamit dulu,” kataku.
“Oke
lah,” katanya. “Kalian pakai apa?”
“Mobil
putih itu,” aku menunjuk.
“Ok bagus. Kapan-kapan ke sini lagi.” Pastor Petrus ikut kami menuju mobil putih itu. Kami sampai di tebing jalan di depan Gereja Rawak.
“Oh… itu tulisan bagus INVICTUS,” ia menunjuk ke arah tulisan di kaca mobil.
“Kalian tahu arti kata
itu? Itu dari bahasa Latin. Tak terkalahkan itu artinya.”
“Ya pastor. Benar itu. Maka kami gunakan kata itu sebagai moto kerja kami di CU Keling Kumang,” jawabku. Pak Heri dan Niko menganggukkan. Mesin mobil dihidupkan.
Aku menyalaminya sekali lagi lalu berjalan menuju mobil. Mobil
berjalan, kulihat Pastor Petrus masih berdiri di tebing jalan melambaikan
tangan. Setelah mobil menjauh, aku menoleh ke tebing itu lagi, beliau sudah
tidak ada di situ.
Pastor Petrus menginap di kamar VIP di
Hotel Palapa Beach, di Pasir Panjang, Singkawang. Malam itu Ia memfasilitasi
retret para aktivis CU. Keling Kumang yang berjumlah ratusan orang.
Sekarang sesi beliau memberikan retret dan
penguatan. Mulai pukul 07:00 malam. Angin laut menerpa ruangan pertemuan.
Kadang-kadang kencang kadang-kadang lembut. Suara gemuruh malam dari ombak
pantai terdengar jelas. Nyanyian laut. Aula Hotel Palapa Beach tenang. Pastor
Petrus mulai dengan bercerita.
“Aku sebenarnya tidak ada jatah untuk lahir ke dunia. Tujuh kakak-kakakku sudah lahir. Ayah dan ibuku sudah bersepakat, setelah itu tidak ada lagi. Cukup tujuh orang anak saja. Tapi sesuatu terjadi dengan keluarga kami. Salah seorang kakakku meninggal dunia. Akhirnya ibu memutuskan membatalkan kesepakatan dengan ayahku. Akupun lahir.
Aku lahir di kampung yang bernama Padula, letaknya di pegunungan Italia Tengah, dari Roma sekitar 150 kilometer. Usai sekolah aku bersama ayah menggembalakan domba. Jadi aku adalah penggembala domba.” Ia diam sejenak.
Ia pindah ke topik selingan.
“Ngomong-ngomong kalian tahu kan hari arwah tanggal dua November? Pada hari
arwah kota Roma sepi. Warga Roma pergi mengunjungi kubur orang tua dan
keluarganya di luar kota atau di kampung-kampung. Yang tinggal di rumah hanya
para pembantu dan penjaga rumah. Mereka pergi ke kubur dan meletakkan bunga di
atas kubur lalu berdoa. Habis itu kembali ke Roma lagi.”
“Setelah menamatkan sekolah menengah, aku
masuk seminari. Kemudian aku ditabiskan menjadi seorang Pastor dan tinggal di
Biara. Suatu malam para pastor senior rapat mencari pastor yang bersedia
bertugas di Sekadau. Mereka bingung dan rapat berjalan alot. Aku berdiri di
balik pintu ruangan rapat. Di balik pintu itu, aku mendengar mereka berdebat
mencari Pastor yang bersedia bertugas di tanah misi, Sekadau. Aku lalu membuka
pintu dan mengatakan kepada peserta rapat dalam ruangan itu: “Aku mau ke tanah
misi. Tugaskan aku tuan-tuan. Jadi aku berangkat dan pertama bertugas di Pakit,
Belitang.”
Ia diam merenung sebentar mengingat
pengalaman yang tak pernah ia lupakan barang kali. Lalu Ia bicara lagi. “Aku
mendekatkan diri dengan umat dan kaum muda dengan mengajak mereka bermain bola.
Suatu kali, kami bermain bola. Di depan gawang aku oper bola kepada seorang
anak muda yang siap membuat gol menurut saya. Aku berteriak, gol … gol! maksud
saya tendang dan buat gol. Anak muda itu malah melihat ke saya yang berteriak
gol dan berteriak juga: Belubah Pastor!
Ruang
aula itu bergemuruh dengan gelak tawa. Wajah Pastor meringgis kesal.
“Benar-benar kacau. Kalau seperti itu orang Dayak tidak akan pernah menjadi
pemain bola terkenal.” ***
Selamat
jalan menuju alam keabadian Pastor Petrus Di Vinsenzo, CP, pada 10 Juli 2024
dan akan dimakamkan di Sekadau pada 12 Juli 2024.
11/07/2024
Munaldus/Liu
Ban Fo
Sastrawan
Dayak, tinggal di Pontianak.
____
1Belubah
dalam bahasa rumpun Iban (Mualang, De’sa, Seberuang, Sejiram, Kantuk, Ketungau)
berarti pelan-pelan, jangan tergesa-gesa.