Hijau Kalimantan Adalah Hunian Orang Dayak: Tambang Merusak Alam daripada Ladang
umber: https://www.researchgate.net |
SANGGAU NEWS : Perhatikan saksama peta Kalimantan pada ilustrasi!
Bagian hijau di Kalimantan menandakan wilayah pemukiman orang Dayak yang masih mempertahankan keasrian alam. Manusia Dayak hidup seiring dengan alam, menjadi penjaga yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Meskipun demikian, banyak interpretasi muncul tentang makna perubahan tersebut, memunculkan pertanyaan tentang implikasinya.
Apa artinya? Artinya, ladang merupakan bagian dari kearifan lokal. Siklus alam akan kembali lagi semula, dalam waktu tak-lama. Hijau segera kembali, manakala lahan ladang yang dibakar untuk mendatangkan abu dan arang yang menyuburkan tanah, turun hujan. Kemudian ladang hijau ditumbuhi aneka sayuran, padi, jagung, dan palawija.
Tambah jauh bahaya daripada ladang: mengapa dibiarkan malah dianjurkan?
Namun, tambang?
Area pertambangan akan merusak lokasi. Bisa antara 50, bahkan 100 tahun baru bisa pulih. Malah, di banyak tempat, menjadi kolam yang mencemarkan lingkungan, dan merusak alam, dengan merkuri yang ditinggalkannya.
Mercury (merkuri) adalah salah satu logam yang sering digunakan dalam proses pertambangan, terutama pada pertambangan emas dan tambang bijih logam lainnya.
Dalam konteks tersebut, merkuri bisa muncul di areal tanah yang ditambang karena digunakan dalam proses pemisahan emas dari bijih logamnya. Proses tersebut dikenal sebagai amalgamasi, di mana merkuri dicampurkan dengan bijih emas untuk membentuk amalgam yang kemudian dipisahkan melalui pemanasan.
Penggunaan merkuri dalam pertambangan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius. Ketika merkuri dilepaskan ke lingkungan, baik melalui udara, air, atau tanah, ia dapat menjadi racun bagi organisme hidup dan berpotensi mencemari sumber air dan tanah yang digunakan untuk pertanian atau konsumsi manusia dan hewan.
Oleh karena itu, pengelolaan dan pemantauan yang ketat diperlukan dalam industri pertambangan untuk mengurangi risiko pencemaran merkuri dan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Ladang = bagian dari tata-alam orang Dayak
Dalam upaya menjaga kelestarian alam dan budaya Borneo, hanya sedikit yang benar-benar peduli. Suku bangsa pewaris dan individu yang mencintai alam adalah yang terpenting. Namun, perkembangan peta dari 1950 hingga 2020 menunjukkan bahwa hutan Borneo semakin menyusut karena deforestasi yang meningkat.
Bagian hijau di Kalimantan menandakan wilayah pemukiman orang Dayak yang masih mempertahankan keasrian alam. Manusia Dayak hidup seiring dengan alam, menjadi penjaga yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Meskipun demikian, banyak interpretasi muncul tentang makna perubahan tersebut, memunculkan pertanyaan tentang implikasinya.
Sejak dulu hingga kini, bagian hijau di Kalimantan merupakan tanah adat orang Dayak, terutama di Dataran Tinggi Borneo. Wilayah pemukiman mereka masih dihiasi oleh hijau alami, sementara wilayah putih atau merah di peta menunjukkan area yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan, pertambangan, dan industri.
Deforestasi Kalimantan karena HPH, tambang, dan perkebunan besar
Tuduhan deforestasi seringkali menimpa penduduk asli Borneo, padahal mereka telah hidup berdampingan dengan alam secara bijaksana sejak zaman dahulu. Tuduhan bahwa praktik peladangan orang Dayak merusak lingkungan adalah informasi palsu yang perlu dilawan dengan fakta sejarah.
Sistem peladangan orang Dayak untuk menegaskan kebenaran tentang praktik mereka. Ketika membicarakan "suku bangsa" Dayak, kita mengacu pada komunitas yang tersebar di beberapa negara, tetapi memiliki identitas etnis yang sama.
Sistem peladangan: sejak 10.000 tahun sebelum Masehi
Sejak kapan orang Dayak mengenal sistem peladangan? Sejak mereka ada dan bermukim di Bumi Borneo. Bukti sejarah menunjukkan keberadaan manusia Dayak di Gua Niah, Miri, Malaysia, sejak 46.000 tahun yang lalu, dan sejak saat itu, praktik peladangan telah dikenal oleh mereka.
Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1989: 9) antara lain menulis, "sampai hari ini di negeri kita masih ada dua juta rakyat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lain yang mencari nafkah mereka dengan teknnologi bercocok tanam yang sudah dimulai sejak 10.000 tahun sebelum Nabi Isa."
Jadi, praktik peladangan terbukti tidak merusak alam secara masif.
Dengan demikian, praktik peladangan bukanlah sumber masalah lingkungan, tetapi merupakan bagian integral dari kehidupan dan keberlanjutan masyarakat Dayak. Penting untuk memahami dan menghormati warisan budaya serta pengetahuan lokal dalam upaya melestarikan alam Borneo.
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara manusia Dayak dan alam, kita dapat menemukan solusi yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan warisan budaya mereka di Borneo.
-- Rangkaya Bada