Diaspora

 Cerpen: Liu Ban Fo (Munaldus)

Ilustrasi: doc. Sanggau News.

PAGI itu subuh baru saja jatuh. 

Bilin bergegas menuju bandara. Sudah lebih dari 35 tahun ia tinggal di sebuah apartemen dekat kampusnya di negeri paman Sam. 

Selama itu pula ia tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki kembali di kampung halaman. Seolah-olah ia telah melupakan tempat kelahirannya itu. Ia juga tidak pernah berkomunikasi dengan orang tua atau sanak famili. Pun juga dengan orang-orang dari kampungnya yang sesama diaspora (perantau).

Bilin, perempuan berusia 44 tahun, seorang ahli biologi molekuler di sebuah universitas terkenal. Dua tahun berturut-turut ia menjadi kandidat penerima hadiah Nobel. Seorang penemu virus primata yang menular dan mematikan yang sempat menghebohkan dunia, Kang Kang Kok Virus, begitu judul sebuah tulisan di media online berbahasa Inggris. 

Kata-kata itu menarik perhatiannya. 

Ia terkejut bukan main. Itulah nama kampung kelahirannya, Kang Kang Kok. Kampungnya terserang virus. Karena sulit mengenal virus ini, orang-orang menamainya virus kang kang kok, sesuai nama kampung asal virus. 

Korban berjatuhan begitu isi berita itu. Pejabat kesehatan tak mampu mengatasinya. Kampung ini diisolasi dan terancam seluruh warganya dibiarkan meninggal agar kemudian virus tidak menyebar ke wilayah lain.

Setelah melewati penerbangan transatlantik selama 14 jam, menunggu beberapa jam di ruang transit, lalu perjalanan darat seharian, akhirnya Bilin sampai di kampungnya. Sebagai ahli virus, ia tahu bagaimana melindungi diri dari virus ganas itu. 

Ayah, ibu, dan dua adiknya sudah meninggal. Hanya satu adiknya yang masih hidup dan masih tergolong sehat. Sang adiklah yang masih mengenal kakaknya. Mereka melepas rindu dengan kesedihan yang luar biasa. Ia tinggal di rumah sang adik, dan meminta merahasiakan kehadirannya di kampung. Pun orang-orang di kampungnya tidak tahu kalau Bilin seorang ahli virus yang tinggal di benua jauh. Para tetua yang rentan hampir sudah meninggal semua. Virus yang tidak kenal ampun.

***

BILIN mulai bereaksi mencari solusi. 

Ia dengan teliti mengamati perilaku sehari-hari warga kampungnya. Ia juga mengamati tanaman apa saja yang ditanam warga. Ketika musim buah, ia mencari tahu pohon buah-buahan apa yang berbuah dalam lima tahun terakhir. Menu makanan warga sehari-hari juga ditelitinya. Ia mencari tahu mengapa ada warga kampung yang masih sehat dan beraktivitas secara normal dan mengapa yang lain rentan, terserang virus, lalu meninggal. Ia juga mengamati hal yang sama di kampung lain, kampung asal Liu, sebagai kelompok pembanding.

Pendek cerita, sudah dua bulan Bilin mengumpulkan data dan fakta. Belum ada kemajuan. Korban masih berjatuhan. Ia terus bertekun. 

Pada awal bulan ketiga, ia memiliki ide. Sembilan hari berturut-turut berdoa novena di kuburan ayah, ibu, dan adik-adiknya. Minta petunjuk, begitu pikirnya. Ia dan sang adik melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pada hari kelima sampai ke sembilan hal aneh dia rasakan. Sesekali melintas aroma durian. Padahal di sekitar kuburan tidak ada pohon durian, apalagi buah durian. Ia penasaran dan itu agak mengganggu pikirannya. Doa novena pun tuntas.

Sekejap ia melupakan virus ganas itu. Dari cerita sang adik dan beberapa warga yang masih sehat, Bilin menemukan sesuatu. Ternyata, anak-anak dari kampung Kang Kang Kok banyak sekali yang bersekolah tinggi. Mereka menjadi orang hebat. 

Tinggal di kota, bahkan di negara lain. Sama hal dengan dirinya, mereka tidak pernah pulang kampung. Seolah-olah sekolah adalah biang keladi yang mengusir mereka dari kampung halaman. Anehnya, para diaspora ini tidak tertarik kembali dan memberikan kontribusi untuk kemajuan kampung halamannya. Yang tinggal di kampung adalah warga yang tidak bersekolah dan hidup merana. Lahan-lahan warga banyak yang terlantar dan tidak produktif. Sistem pertanian sangat tradisional. Kang Kang Kok tertinggal jauh.

Lain halnya kampung asal Liu, kontras, begitu catatan di buku harian Bilin. Kampung ini tidak sedikit yang sukses dan menjadi orang hebat. Mereka tinggal di berbagai kota bahkan banyak yang menjadi orang sukses di negara lain. Tapi, para diaspora ini berkontribusi bagi kemajuan kampung kelahirannya. 

Kampung asal Liu menjadi kampung mandiri, tanpa korupsi. Mereka berinvestasi di kampung, membuat lahan-lahan warisan orang tua mereka menjadi super produktif. Tidak ditemukan lagi lahan-lahan yang terlantar. Kebun serba ada yang terbentang luas milik kaum diaspora yang dikelola sanak keluarga telah mendatangkan banyak turis. Yang terkenal dari kampung ini adalah buah durian.

Suatu hari Bilin dan sang adik mengunjungi kampung asal Liu ini. Kebetulan sedang musim durian. 

Durian lagi murah dan mereka berdua memborong lebih dari seratus buah durian musang king dari kebun Liu yang luas. Isinya kuning tembaga. Ketika sampai di kampung, durian itu dibagikan ke setiap rumah sebagai oleh-oleh. Betapa senangnya mereka. Sekejab perasaan tersiksa karena virus terobati.

Beberapa hari kemudian sesuatu terjadi....

Warga yang sakit dan sekarat terkena virus Kang Kang Kok sembuh semua. Sang ahli virus itu kemudian berkesimpulan, obat penyembuh virus kang kang kok adalah makan durian musang king dari kebun Liu.


Ketapang, 8/4/2021
Liu Ban Fo
Selamat RAT Puskhat ke-11

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url