Monumen Enggang di Singkawang yang Diguncang
sumber gambar: FB YNN |
Enggang, ruai, kenyalang—bukan hanya sekadar nama-nama burung bagi masyarakat Dayak, melainkan simbol-simbol yang teramat dalam mengakar dalam identitas budaya mereka.
Dengan populasi global sekitar 8,5 juta jiwa, kelompok etnis Dayak meliputi 7 klaster utama (stammenras) dan 405 subkelompok. Di antara komunitas-komunitas yang beragam ini, burung enggang memiliki tempat istimewa sebagai simbol persatuan dan kekuatan.
Sellato, dalam karyanya, menyebut burung enggang sebagai "hornbill" yang menegaskan arti pentingnya di berbagai bahasa dan budaya.
Terkecuali kelompok Lundayeh dan Lun Bawang, masyarakat Dayak secara bulat menganggap burung enggang sebagai makhluk yang bersih, cerdas, lincah, kuat, memiliki naluri tajam, mampu terbang tinggi, dan memiliki kebijaksanaan yang luas. Burung ini mencerminkan kualitas-kualitas yang mereka usahakan miliki dan hargai.
Penghormatan terhadap burung enggang ini tercermin dalam monumen-monumen dan patung-patung yang didedikasikan untuknya di seluruh Borneo.
Di Pontianak misalnya, penghargaan semacam ini dapat ditemukan di rumah-rumah adat Dayak dan bahkan di katedral, menyoroti arti spiritual dan budayanya. Begitu juga, Singkawang juga memiliki monumen untuk burung enggang.
Namun, kontroversi muncul di Singkawang seputar monumen burung enggang. Beberapa pihak berpendapat bahwa monumen tersebut menyimpang dari nilai-nilai agama, memicu kritik dan kecaman.
Namun, di tengah perselisihan tersebut, terdapat pertanyaan yang lebih dalam: apa sebenarnya makna burung enggang bagi masyarakat Dayak? Ini merupakan permainan kompleks antara simbolisme budaya, keyakinan spiritual, dan interpretasi individual.
Burung enggang bukan sekadar seekor burung; itu adalah representasi dari identitas, tradisi, dan dialog yang berkelanjutan antara masa lalu dan masa kini. (X-5)