Lelaki Tua dan Pondoknya : Bildung Roman, Biografi Fiksi Pengarangnya
Munaldus alias Liu Ban Fo. |
SANGGAU NEWS : Judul karya sastra kerap mengandung makna yang mendalam dan pemilihan kata yang sangat sengaja.
Dalam konteks judul roman Lelaki Tua dan Pondok Tua dan Pondoknya karya Munaldus atau yang lebih dikenal dengan nama pena Liu Ban Fo, pemilihan kata "Lelaki" daripada "Laki-laki" adalah keputusan yang disengaja untuk mengekspresikan nuansa yang lebih filosofis sekaligus sastrawi.
Kata "Laki-laki" dalam bahasa Indonesia memang secara umum mengacu pada gender atau jenis kelamin pria secara biologis, yang bersifat lebih umum dan luas. Ini adalah istilah yang lebih netral dan sering digunakan dalam konteks formal atau ilmiah untuk menunjukkan perbedaan gender.
Lelaki, bukan : Laki-Laki. |
Sebaliknya, "Lelaki" cenderung mengandung konotasi yang lebih kultural dan bisa menyiratkan karakteristik atau sifat-sifat tertentu yang melekat pada seorang pria, yang lebih mendalam dan personal. Kata ini sering kali dianggap lebih berat dari sisi semiotika serta memiliki resonansi emosional yang lebih kuat.
Lelaki bukan: Laki-Laki
Munaldus, dalam diskusi dengan Masri Sareb Putra, seorang sastrawan, menggarisbawahi bahwa pemilihan "Lelaki" lebih tepat untuk judul roman ini.
Pertimbangannya adalah kata tersebut menawarkan kedalaman filosofis dan estetika sastra yang lebih besar dibandingkan "Laki-laki". "Lelaki" dalam konteks ini menggambarkan bukan hanya tentang gender. Lebih dari itu, sepatah kata itu menyiratkan suatu tahapan kehidupan, pengalaman, dan introspeksi yang lebih dalam yang dihadapi oleh tokoh dalam novel.
Penerapan "Lelaki" dalam judul roman Munaldus menegaskan bahwa novel ini bukan hanya sekedar menceritakan tentang seorang pria tua dan tempat tinggalnya, tetapi juga mengeksplorasi aspek-aspek eksistensial dan reflektif dari kehidupan tokohnya. Ini mencerminkan pilihan Munaldus untuk mengangkat aspek humanitas yang lebih dalam dalam narasinya, yang seringkali adalah ciri khas dari literatur yang ingin memberikan pengalaman yang lebih kaya dan berlapis kepada pembacanya.
Pertimbangan estetis
Dalam pemilihan judul Lelaki Tua dan Pondok Tua dan Pondoknya, terdapat pertimbangan estetis yang sangat krusial yang berkaitan dengan irama dan nuansa sastra. Munaldus, dengan kepekaan sastrawannya, telah memilih susunan kata yang tidak hanya menyampaikan tema dan atmosfer cerita tetapi juga menambahkan dimensi ritmis yang menyatu dengan keseluruhan narasi.
Judul roman yang ilustrasi dan desain sampulnya dikerjakan Ajinata ini membawa irama yang lebih harmonis dan melodi yang lebih halus dalam alunan kata-katanya. Ini adalah pilihan yang mempertimbangkan keterkaitan antara bunyi dan makna, yang sangat penting dalam sastra.
Kata "Lelaki" di sini tidak sekedar menunjuk pada seorang pria tua, tapi membangun sebuah ritme yang lembut dan mengalir, memfasilitasi penyampaian cerita dengan cara yang lebih puitis dan mengundang imajinasi.
Sebaliknya, jika judulnya adalah Laki-Laki Tua dan Pondoknya maka irama yang tercipta cenderung terasa lebih kaku dan kurang melodis. Kata "Laki-laki", dengan suku kata yang tegas dan pengucapan yang lebih langsung, menghasilkan ritme yang lebih potong dan terasa kurang lembut dibandingkan "Lelaki". Ini bisa mempengaruhi bagaimana judul tersebut resonansi dengan pembaca sebelum mereka bahkan memulai membaca halaman pertama.
Oleh karena itu, keputusan untuk menggunakan "Lelaki" bukan hanya menegaskan kedalaman filosofis dan karakteristik tokoh, tapi juga memainkan peran penting dalam menciptakan birama sastra yang lebih lembut dan indah, memberi nuansa dan citarasa yang kaya dan nuansa yang mendalam, yang mana hal ini adalah elemen kunci dalam karya-karya sastra yang ingin meninggalkan kesan yang mendalam pada pembacanya.
Bukan me too
Dalam konteks sastra Indonesia, judul-judul karya seringkali mengandung lapisan makna yang mendalam dan dipilih dengan sangat hati-hati oleh para pengarangnya. Contohnya dapat kita lihat pada karya Trisnojuwono, "Laki-Laki dan Mesiu," sebuah kumpulan cerpen yang diterbitkan pada tahun 1957 oleh Penerbit Pembangunan, Jakarta.
Judul ini memadukan kata "Laki-Laki," yang secara tradisional merujuk pada pria atau kaum maskulin dalam konteks yang lebih luas dan formal, dengan "Mesiu," yang menggambarkan bahan peledak atau sesuatu yang sangat reaktif dan potensial menyebabkan perubahan drastis atau kehancuran.
Penggunaan "Laki-Laki" dalam judul ini sengaja dipilih untuk menegaskan karakteristik atau sifat-sifat yang secara umum diasosiasikan dengan maskulinitas, seperti kekuatan, agresivitas, atau kemampuan untuk memicu perubahan. Hal ini berbanding dengan pemilihan kata "Lelaki" yang digunakan oleh Munaldus dalam "Lelaki Tua dan Pondok Tua dan Pondoknya," yang, seperti telah dijelaskan, membawa konotasi lebih mendalam dan puitis.
Judul "Laki-Laki dan Mesiu" menggambarkan hubungan dinamis antara karakter-karakter maskulin dan unsur ketidakstabilan atau kemungkinan ledakan, baik secara literal maupun figuratif. Ini menetapkan ekspektasi untuk cerita-cerita yang mungkin menggali tema-tema seperti konflik, perubahan sosial, kekuasaan, dan resistensi, semua dipengaruhi oleh atau berkaitan dengan karakter laki-laki dalam konteks sosial dan historis yang spesifik.
Pemilihan judul dalam sastra bukan semata-mata merefleksikan tema dari karya tersebut tetapi juga memainkan peran penting dalam bagaimana karya itu diterima dan diinterpretasikan oleh pembacanya, menciptakan sebuah pintu masuk yang mengundang pemikiran dan analisis mendalam sebelum cerita itu sendiri mulai mengungkapkan lapisan-lapisannya.
Bildung roman (biografi fiktif) ini memilih judul utama yang akan cetak dengan embos (timbul) "Lelaki" bukan Laki-Laki , bukan me too product seperti judul-judul karya sastra lainnya, yang Pembaca kenal.
Dalam hal ini, pengarang tahu apa yang ia mau.
--Rangkaya Bada