Dayak Jangkang
Dayak Jangkang dalam suatu upacara adat Gawai. |
SANGGAU NEWS : Jangkang, Jongkakng, Djongkang, Jongkei, dan sebagainya. Ada berbagai versi. Namun, manakah yang baku? Versi manakah yang tercantum, dan digunakan, dalam penggolongan etnis-etnis dunia?
Di dalam khasanah studi-studi etnologi, Djongkang menjadi kesepakatan karena ketika masuk dalam ISO, komunitas/ klan yang terdiri atas 11 sub-klan dan tersebar di kecamatan Jangkang, Bonti, dan Mukok itu dipertururkan oleh 44.000 orang. Adapun penggolongannya di kalnagan etnis dunia adalah: Djo - ISO 639-3.
Dalam kehidupan sehari-hari, diucapkan: Jongkakng. Namun, penulisan yang disepakati di berbagai terbitan resmi adalah: Jangkang.
Asal usul
Dayak Jangkang adalah kelompok etnis yang bermukim di wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, tepatnya di Kabupaten Sanggau. Populasi mereka, yang diperkirakan mencapai 44.000 jiwa, mayoritas mendiami Kecamatan Jangkang dan sekitarnya. Kelompok ini merupakan bagian dari rumpun etnik Bidayuh dan memiliki sejarah yang kaya serta budaya yang unik, yang terus bertahan meskipun mengalami berbagai modernisasi.
Menurut legenda yang diwariskan secara turun-temurun, Dayak Jangkang berasal dari rombongan Dara Nante dan Babai Cinga, yang terpisah dalam perjalanan panjang di sepanjang Sungai Sekayam dan akhirnya menetap di beberapa lokasi yang kini menjadi pusat pemukiman mereka.
Dayak Jangkang dikenal dengan penguasaan wilayah yang subur dan strategis di sepanjang aliran Sungai Sekayam dan Sungai Mengkiang.
Bahasa yang digunakan oleh Dayak Jangkang, dikenal sebagai bahasa Bekidoh, merupakan dialek dari rumpun bahasa Bidayuh.
Mayoritas Katolik
Dalam hal kepercayaan, mayoritas penduduk adalah penganut agama Katolik, diperkenalkan sejak tahun 1934 oleh misionaris dari Ordo Kapusin. Meskipun demikian, elemen-elemen kepercayaan asli masih terpelihara, terintegrasi dengan simbol-simbol dan praktek agama Katolik.
Pusat paroki dahulu kala di Jangkang. Namun, kemudian atas kebijakan Kuskupan Sanggau, maka dipindahkan ke pusat kecamatan, yakni di Balai Sebut. Dari 30.000 penduduk Kecamatan Jangkan, 28.000 adalah penganut Katolik.
Secara sosial dan ekonomi, Dayak Jangkang menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik. Mereka telah berhasil memodernisasi beberapa aspek kehidupan tanpa meninggalkan adat istiadat yang menjadi dasar identitas sosial mereka. Kehidupan komunitas ini diatur oleh hukum adat yang tertulis, yang menyelesaikan kasus-kasus hukum dan moral di tingkat lokal.
Profesi orang Jangkang yang beragam
Dayak Jangkang juga memiliki keragaman mata pencaharian. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, guru, dan dosen,pengusaha, serta ada pula yang berprofesi sebagai mandor di perkebunan sawit dan pedagang. Kesuburan tanah mereka memungkinkan pertanian dan perkebunan berkembang, yang menjadi sumber penghidupan utama selain pekerjaan di sektor formal.
Bagi Pembaca yang ingin tahu cukup detail secara umum Dayak Jangkang dapat menelusuri:
Budaya Dayak Jangkang cukup kaya. Mereka memiliki tradisi olahraga unik seperti main gasing dan tucet, serta menyelenggarakan upacara-upacara adat yang menggabungkan elemen Katolik. Dapur Dayak Jangkang menyajikan berbagai masakan khas yang menggugah selera, seperti lemang dan pansuh, yang menyimpan cita rasa tradisional.
Dayak Jangkang dalam upacara adat "Muka' Data" di Desa Pisang. |
Rumah Panjang, yang dulunya merupakan simbol utama dari kehidupan masyarakat adat, kini sudah jarang ditemui, namun masih ada usaha untuk melestarikan jenis hunian ini sebagai bagian dari warisan budaya.
Meskipun menghadapi tantangan modernisasi dan perubahan sosial, Dayak Jangkang terus menjaga keunikan budayanya. Sembari tetap beradaptasi dengan perubahan zaman.
-- Masri Sareb Putra