Adelaar dan Teori Etno-linguistiknya terkait Dayak Salako yang Menyentak
Sander Adelaar. Dokpri penulis.
SANGGAU NEWS : Berpenampilan lembut. Bahkan terlalu halus untuk ukuran seorang peneliti. Tubuhnya jangkung. Rambutnya pirang lurus. Tetapi wajahnya yang polos kekanak-kanakan, seakan-akan menyorot tanpa dosa. Meski demikian, Adelaar ramah. Dan pasti melempar senyuman buat setiap yang menyapa dan bicara dengannya.
Oleh masyarakat suku Dayak Kandayan, dia disebut dengan urangk dirik atau orang kita sendiri. Tetapi kalau Sander Adelaar sudah terjun ke lapangan membawa alat-alat dan perlengkapan penelitian. Niscaya orang akan melihatnya sebagai seorang ilmuwan sejati yang siap menerobos serta memberi simpulan-simpulan baru berdasarkan premis yang ditemukannya di lapangan.
Membangun teori sendiri: Salako arkais
Sander Adelaar meraih ilmu dari sekolah dasar sampai sekolah menengah di negeri sendiri. Tapi SMTA dihabiskannya di Belgia. Kemudian meneruskan studi di Universitas Leiden. Ia kemudian pindah ke Australia, bekerja di sana, sebaga profesor di bidang linguistik.
Adelaar membangun teori sendiri terkait Dayak di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat.
Untuk meraih gelar Doktorandus, Sander memilih tema skripsi sekitar linguistik. Begitu diwisuda sarjana, dia diminta mengajar di alma mater. Baginya, gelar yang sudah diraih masih belum cukup. Maka 1988, dia ke Indonesia mengadakan riset mengenai linguistik Dayak Kandayan. Sekaligus juga riset ini nanti dia ajukan sebaga promosi doktor-nya di universitas yang sama.
Dan sebagai ahli ilmu linguistik, Sander memang tidak ingin berpuas diri hanya sampai teori saja. Dia ingin mengembangkan ilmu yang pernah diperolehnya. Dan lebih dari itu, lelaki kelahiran Belanda 1953 ini mengatakan, "Saya ingin menyumbangkan sesuatu bagi ilmu linguistik."
Maka karuan, hampir dua tahun lamanya si bule peneliti dan akademisi ini tinggal bersamasama suku Dayak Kandayan, Kalimantan Barat. Buat apa susah-susah Sander, di negeri Anda kan enak? Suka digigit nyamuk?
Ternyata, tidak. Panggilan keilmuan jauh lebih kuat daripada semuanya itu!
Mutiara terpendam" di hutan Kalimantan
Ternyata gigitan nyamuk pedalaman Kalimantan tidak cukup kuat untuk menggagalkan rencananya mengadakan penelitian di tempat itu. Tampaknya, Sander Adelaar yang mengaku senang tinggal di tengah-tengah penduduk sederhana itu melihat "mutiara terpendam" di tengah-tengah hutan Kalimantan.
Adelaar mengumpulkan ceritacerita suku Daya Kendayan dan mengadakan inventarisasi mitos-mitos suku tersebut. Kemudian, berangkat dari situ, dia membuat analisis linguistik.
Di Nederland sendiri, Sander mengajar pada universitas Leiden. Di samping mengajar, kesenangannya yang lain ialah mengadakan perbandingan bahasa-bahasa. Separuh dari harinya dihabiskannya untuk riset.
Merasa tidak puas hanya meriset di perpustakaan, Adelaar lantas keluar sarang. Dia memilih meneliti dan tinggal bersama-sama dengan masyarakat Daya Kandayan. Dua setengah tahun lamanya dia meriset, sampai naskahnya rampung, dan kini sudah masuk data komputer.
Kata Adelaar, "Hasil riset saya ini tentu akan menyentak. Terutama bagi kalangan linguistik."