Tindakan Preventif untuk Mengurangi Penurunan Budaya Mangkok Merah
MEMANG hampir semua penulis yang mengupas tentang suku Daya cenderung melihat mereka dari luarnya saja, apalagi tulisan itu bersifat subyektif.
Saya yang adalah Daya asli, ingin sekali melengkapi tulisan mengenai suku ini yang pernah diturunkan di Kompas, Minggu 5 Februari 1984.
Tetap misteri
Tulisan Zainuddin Isman yang melukiskan "mangkok merah" ada satu hal yang meragukan. Dikatakan, kebudayaan mangkok merah menurut penuturan tokohtokoh masyarakat Daya diduga bermula saat laskar Majapahit masuk Kalimantan Barat, tahun 1294-1389 M. Menurut sejarah, di zaman kerajaan Majapahit hanya Hayam Wuruk yang pernah memperluas kerajaan dengan daerah yang menjadi wilayah Indonesia sekarang, plus Kalimantan Utara, Tumasik dan Semenanjung Melayu.
Kalau benar bahwa kebudayaan mangkok merah seperti di atas, kita tidak ragu-ragu lagi mengatakannya bahwa itu berlangsung tahun 1350-1389 sesuai dengan masa Hayam Wuruk. Kebudayaan mangkok merah belum setua itu. Sebab sejarah suku Daya sendiri berbicara tidak terlalu jauh sebelum merdeka, suku Daya saling bermusuhan yang menurut istilah mereka ngayau, Saat itu, ukuran bagi seorang laki-laki agar dia boleh kawin hanya kalau ia telah berhasil memenggal kepala musuh dan membawanya pulang. sebagai bukti kejantanannya.
Contohnya saja, suku Jangkang bermusuhan dengan suku Ribun't. Padahal jaraknya hanya beberapa puluh kilometer saja, kini setelah Indonesia merdeka secara administratif keduanya termasuk Kabupaten Sanggau Kapuas. Mungkinkah di kalangan mereka sendiri terwujud persetujuan mangkok merah? Kiranya ini pertanyaan yang menarik untuk dikaji sebab menurut saya tidak cukup masuk akal.
Tetapi bagaimanapun juga, asalusul mangkok merah tidak ada yang tahu pasti. Karenanya tidak mengherankan kalau tetap menjadi suatu misteri ....
Bukan sekedar perkelahian massal
Secara implisit, Zainuddin Isman menyingkapkan sesuatu di balik penurunan mangkok merah berturut-turut tahun 1967,1978 dan 1983. Paling tidak, bagi suku Daya yang di rantau orang mengetahui maknanya. Tentu saja tidak etis kalau saya sebutkan di sini.
Tepatnya kejadian apa, rupanya tidak semua orang Indonesia tahu, Apalagi media massa kita tidak memberitakannya secara eksplisit. Tempo misalnya, menyebut peristiwa sekitar tahun 1978 yang terjadi di daerah Samalantan (Pakucing), Kabupaten Sambas dengan "perkelahian massal" dan dikategorikan kepadaperkara yang biasa. Menurut saya, bukan hanya perkelahian massal tetapi sungguh-sungguh merupakan suatu masalah yang serius dan yang sangat membutuhkan penyelesaian oleh pihak yang berwewenang. Dan sialnya, malahan di luar negeri peristiwa itu diberitakan secara tuntas. Radio Australia dan Suara Malaysia misalnya, dengan amat tajam mengatakan, peristiwa tersebut perang saudara. Justru hal semacam inilah yang kita khawatirkan, sebab bisa merusak citra serta kewibawaan pemerintah kita di mata luar negeri.
Mengapa semakin padat?
Menurut hemat saya, kaum pendatanglah yang harus menyesuaikan diri dengan tata kehidupan penduduk asli. Ada istilah, kalau masuk kandang ayam, berkokok dan berkoteklah. Nah, mengapa istilah tersebut tidak dapat diterapkan oleh suku-suku pendatang di Kalimantan Barat? Hal ini perlu kiranya direfleksi apakah misalnya suku Melayu, Cina, Madura, Jawa, Bugis, Batak, Makassar, Sulu dan lain-lain yang telah masuk kandang 'Daya' sudah berDaya? Mungkin hal ini belum pernah dipikirkan atau memang tidak terpikirkan sama sekali? Bukan maksud saya sama sekali menghilangkan citra suku pendatang tetapi memang hal itu sangat perlu.
Dapat saya gambarkan orang Daya itu sebagai banteng. Mereka tidak mau memulai gara-gara lebih dahulu tetapi kalau sudah dilukai, pasti mereka akan membalas seribu kali lipat. Sebab sejauh pengamatan saya, semua peristiwa berdarah tahun 1967, 1978 dan 1983 belum ada satu pun yang dimulai suku Daya. Mangkok merah cuma jawaban mereka atas tindakan suku pendatang yang dirasakan menginjak-injak mereka. Oleh karena itu, jangan membuat gara-gara terlebih dahulu. Justru inilah yang saya maksudkan dengan tindakan preventif yang mutlak perlu dilaksanakan.
Mangkok merah cuma jawaban mereka atas tindakan suku pendatang yang dirasakan menginjak-injak mereka. Oleh karena itu, jangan membuat gara-gara terlebih dahulu. Justru inilah yang saya maksudkan dengan tindakan preventif yang mutlak perlu dilaksanakan. Seandainya tidak, maka dapat dipastikan dalam waktu kurang dari tiga tahun menyusul pula penurunan mangkok merah setelah yang terakhir tahun 1983. Dapat dibayangkan korban semakin banyak berjatuhan dan Kalimantan Barat terus mengalirkan darah.
Jalan keluar
Seperti diketahui, suku Daya mayoritas menganut agama Katolik. Maka hal ini sungguh-sungguh melegakan hati saya sebab tentu mereka memiliki banyak imam (Daya) yang pasti terpelajar. Apakah pendekatan-pendekatan yang dimaksudkan Zainuddin Isman sudah dilakukan dengan para pemimpin rohani mereka itu? Kita boleh bersyukur, karena Wali Gereja Katolik Kalimantan Barat adalah Daya asli. Dia bakal mampu menjadi penengah antara suku yang konflikt seperti misalnya Paus yang akan menjadi penengah antara USA - USSR. Kiranya inilah jawaban yang diharapkan Sdr. Zainuddin Isman itu. (R. Masri Sareb Putra)
KOMPAS MINGGU, 11 MARET 1984