Singkawang: Seribu wajah Kota Amoi
Singkawang: seribu wajah kota Amoi. |
SANGGAU NEWS : Singkawang sedang dalam sorotan. Menurut rencana, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam waktu dekat mengunjungi Singkawang, salah satu agenda utama adalah meresmikan bandara kota Amoi.
Amoi adalah sapaan orang Hakka Singkawang kepada anak gadis. Tetap saja anciang. Cantik. Putih bersih. Meski mandi dan sikat gigi di parit dan sungai yang mengalir dari gunung, membelah kota Singkawang. Itulah amoi, gadis Singkawang. Disebut "Kota Amoi" apa sebab?
Singkawang seribu wajah
Singkawang berjuluk Kota Amoi benar adanya.
Di kota yang dikelilingi bukit dan laut itu 42%, bahkan lebih, warganya etnis Tionghoa. Pada setiap pojok jalan kota, bahkan di berbagai tikungan dan kaki bukit.
Dapat disaksikan berdiri kokoh tegak menghadap tubir langit kuil-kuil warna merah darah yang dalam bahasa Hakka setempat disebut toapekong.
Dari sisi geografi, Singkawang terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat di antara 0°44’55,85” - 1°01’21,51”LS 108°051’47,6”-109°010’19”BT. Adapun luas wilayahnya adalah 504 km². Ada pula sealir sungai yang melintas kota, yakni Sungai Singkawang.
Keu Singkawang
Dalam bahasa setempat, Hakka, sungai disebut keu. Dahulu kala, sungai mengalir adalah tempat mandi bahkan MCK alami bagi setiap warga. Anehnya, meski mandi di kali yang airnya tidak begitu jernih, tidak membuat kulit amoi-amoi menjadi kusam. Tetap saja putih, bersih, kuning langsat. Dan tetap anciang (cantik).
Amoi Singkawang: sungguh anciang wa. |
Singkawang, kota seribu toapekong. Menjadi salah satu destinasi wisata budaya di Kalimantan Barat. Namanya harum ke mancanegara sejak berabad yang silam. Singkawang telah menarik hati para imigran dari negeri Tiongkok karena menyimpan kekayaan alam di perut buminya.
San Khew Jong
Orang Hakka menyebut kota yang dikelilingi pegunungan dan sungai ini dengan “San Khew Jong”. Arti harfiahnya: suatu kawasan dengan mata air mengalir dari gunung sampai laut. Sekian lama hidup dan tinggal di San Khew Jong (Singkawang dalam bahasa Hakka), orang-orang Hakka banyak yang tak tahu lagi asal usul moyangnya.
Kini generasi mudanya rata-rata merasa Singkawang adalah tanah air leluhurnya. Maka tak heran, denyut nadi kehidupan di Singkawang adalah pancaran wajah sebuah Chinese Town dengan warna lokal.
Singkawang berjuluk Kota Amoi benar adanya. Di kota yang dikelilingi bukit dan laut itu 42%%, bahkan lebih, warganya etnis Tionghoa. Pada setiap pojok jalan kota, bahkan di berbagai tikungan dan kaki bukit, dapat disaksikan berdiri kokoh tegak menghadap tubir langit kuil-kuil warna merah darah yang dalam bahasa Hakka setempat disebut tepekong.
Maka juga, selain Kota Amoi, Singkawang dijuluki “Kota Seribu Kuil”. Telah sejak berabad-abad lamanya kota pecinan ini jadi tempat tinggal dan berusaha para imigran dari Yunan Selatan. Di zaman baheula, tatkala penerbangan dan pela-yaran laut belum secanggih saat ini, banyak di antaranya mendarat di Singkawang lewat perahu setelah bertarung dengan gelombang laut yang ganas.
Dalam bahasa setempat, Hakka, sungai disebut keu. Dahulu kala, sungai mengalir adalah tempat mandi bahkan MCK alami bagi setiap warga. Anehnya, meski mandi di kali yang airnya tidak begitu jernih, tidak membuat kulit amoi-amoi menjadi kusam. Tetap saja putih, bersih, kuning langsat. Dan tetap anciang (cantik).
Sekian lama hidup dan tinggal di San Khew Jong (Singkawang dalam bahasa Hakka), orang-orang Hakka banyak yang tak tahu lagi asal usul moyangnya. Rata-rata merasa Singkawang adalah tanah airnya. Maka tak heran, kehidupan di Singkawang adalah wajah sebuah Chinese Town dengan warna lokal..
Ada pula sealir sungai yang melintas kota, yakni Sungai Singkawang. Dalam bahasa setempat, Hakka, sungai disebut keu. Dahulu kala, sungai mengalir adalah tempat mandi bahkan MCK alami bagi setiap warga. Anehnya, meski mandi di kali yang airnya tidak begitu jernih, tidak membuat kulit amoi-amoi menjadi kusam. Tetap saja putih, bersih, kuning langsat. Dan tetap anciang (cantik).
Momumen pendaratan pertama : bukti sejarah
Pada zaman dahulu kala, etnis Tionghoa dari Cina Selatan bermigrasi ke Kalimantan Barat. Momumen pendaratan pertama, dan kisahnya, bisa ditemukan di sebuah kuil tepi laut di Pemangkat, arah kota Sambas.
Pada awal mula kedatangannya, pemukiman terbesar etnis Tionghoa Nusantara berada di muara-muara sungai dan pesisir pantai. Para imigran Cina ini yang kebanyakan berasal dari suku Khek (Hakka). Pada tahun tahun 1772, etnis ini berkembang di daerah Monterado, wilayah Kabupaten Berngkayang, saat ini. Para imigran tersebut kebanyakan berkerja di pertambangan-pertambangan emas. Mereka membuat perkampungan khusus yang kemudian dikenal sebagai “kampung cina” atau pecinan.
Barangkali seperti wabah Corona pada saat ini, pada suatu hari di perkampungan Cina terjadi malabencana berupa wabah penyakit menyebar. Ketika itu, belum ada tabis apalagi dokter yang bisa menyembuhkan penyakit. Lalu warga Tionghoaberobat ke tabib atau dukun yang menggunakan cara tradisional dan cara gaib.
Mereka lalu mengadakan ritual tolak bala bersama penduduk lokal. Hal itu dilakukan pada hari ke-15 bulan pertama penanggalan Imlek. Tidak disangka-sangka, niat baik tolak bala mengusir segala macam wabah penyakit, dikabulkan. Merasakan adanya manfaat ritual di dalam mengusir wabah penyakit, warga pada akhirnya menjadikan ritual tolak bala ini ebagai tradisi tahunan dan berlangsung turun temurun yang bertahan sampai saat ini. Ritual dipadukan ke perayaan Imlek, yang diberi nama Cap Go Meh. Adapun Cap Go berarti: lima belas dan Meh berarti: malam. Sehingga Cap Go Meh adalah: malam yang ke 15.
Kota Singkawang berada di tengah kota/ kabupaten – kabupaten kota, di antaranya yakni Kabupaten Sambas, Bengkayang dan Mempawah. Posisi ini membuat Singkawang menjadi kota favorit sebagai tempat persinggahan dan kunjungan, baik dalam hal ekonomi maupun wisata.
Apalagi ciri dominan warna merah menyala. Membuat Singkawang telah terpatri sebagai kota dengan keunikan kekuatan seni budayanya.*)