Preambul:
Mulai detik ini (pukul 10.57, 12 Maret 2024), Redaksi membuka rubrik "Kliping". Dengan maksud dan tujuan: memuat kronik, peristiwa, sejarah, dokumen, inskripsi, artefak, keramikologi, serta historgrafi tentang Dayak, Borneo, dan peristiwa Nusantara. Tentu, sumber berkaualitas, tepercaya, dengan sejumlah kriteria.
Selamat mengikuti!
DI BIARA Ordo Kapusin, yakni perkumpulan biarawan pengikut St. Fransiskus Asisi, Tilburg, Nederland, tanggal 27 Januari 1994 lalu Pastor Herman Josef van Hulten menutup mata untuk selama-lamanya. Di kalangan umat Kristen Kalimantan Barat, ia dicintai bukan saja karena merupakan generasi pertama yang mewartakan Kristus di antara suku Daya. Tapi juga karena dia seorang pastor yang sederhana.
Ketika masyarakat suku Daya masih terkungkung oleh isolasi, keterbelakangan, dan hidup di dunia primitif, Herman Josef tak kehilangan nyali dalam memperkenalkan Kristus. Lahir di Drunen, Nederland tahun 1907, Pastor Herman menjadi biarawan Kapusin tahun 1927, dan ditahbiskan menjadi imam tahun 1935.
Sebagai misionaris muda, pada tahun 1938 untuk pertama kali ia menginjakkan kaki di bumi Borneo, yang ketika itu masih terkesan "mengerikan" bagi banyak orang. Mula-mula dia bertugas di Borneo Barat, yakni Sejiram. Kemudian, selama Perang Dunia II, oleh Jepang ia "dibuang" ke kamp di Malaysia. Di sini dia merasakan dan menghayati kekejaman-kekejaman perang. Usai Perang Dunia II, ia bertugas lagi di Jangkang, salah satu paroki di wilayah Kab. Sanggau Kapuas, Kalbar. Selama 17 tahun dia menjadi gembala di Jangkang, untuk kemudian dipindahkan ke Menjalin.
Tahun 1974 Pastor Herman kembali ke Nederland, negeri asalnya. Di masa tuanya, ia menyusun berbagai peristiwa, hasil pengamatan dan berbagai kenangannya bersama orang-orang Daya. Tulisan pertama terbit berupa dua jilid buku, yang diberi judul Mijn Leven Met de Daya's.
Beruntung, saya dipercayakan sebagai editor ketika Ordo Kapusin hendak menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Bukan saja karena saya secara intens menghay ati lebih dulu pengalamannya, tapi juga karena secara pribadi saya mengenalny a.
Dia menulis apa adanya. Memang, buku Hidupku di Antara Suku Daya (edisi bahasa Indonesia, terbitan PT Grasindo, 1992) merupakan gambaran nyata kehidupan tradisional suku Daya. Yang paling menarik, tentu saja kiatnya memperkenalkan Kristus kepada masyarakat tradisional suku Daya yang ketika itu mayoritas masih menganut animisme.
Pastor Herman menggunakan analogi di dalam memperkenalkan Kristus. Ia memanfaatkan persamaan-persamaan antara agama tradisional suku Daya dan ajaran iman Kristen. Apabila iman Kristen percaya salib Kristus sebagai simbol kemenangan, orang Day a percaya akan pantak (patung) yang melindungi seluruh kampung dan kehidupan mereka.
Karyanya yang paling revolusioner, ialah mengganti pantak yang dipasang pada setiap kampung dengan salib. Apabila kita menyusuri bekas wilayah parokinya, sampai saat ini pun kita masih dapat menyaksikan salib-salib terpancang sebelum memasuki sebuah kampung. Sungguh karya luar biasa!
Selama 36 tahun Pastor Herman hidup di antara suku Daya, dan selama itu pula perhatian dan hatinya tercurah untuk mereka. Ibarat pepatah, "harimau mati meninggalkan belang", maka seorang misionaris mati meninggalkan buku.
Itulah intisari buku Pastor Herman yang selain merupakan pengalaman pastoral, juga sekaligus modus pendekatan / pekabaran Injil. Membaca karyanya, orang yang hidup di tengah subetnis Daya - dan tentunya generasi Daya sendiri - mempuny ai pemahaman secara proporsional mengenai "si Daya" dan cara hidup mereka yang begitu menyatu dengan alam lingkungannya.
Herman Josef juga mengungkapkan, bahwa agama Kristen (Katolik) berkembang pesat dan cepat di kalangan orang Daya. Sikapnya sebagai seorang misionaris, pewarta Injil, membuka diri untuk kerjasama sehingga rasa persaudaraan Kristiani yang dicitacitakan dapat tercapai. Persaudaraan Kristiani melebihi dan di atas segala ikatan adat-istiadat maupun kultur sub-suku etnis Daya Kalimantan. Sedangkan di sisi lain, perjumpaan-perjumpaan yang disebabkan mobilitas penduduk Daya juga turut memberi andil dalam mengurangi sikap menjauhkan diri. "Sikap sama-sama Daya (ikatan kesukuan), meskipun berbeda agama, lebih mendekatkan kedua belah pihak. Dalam konteks ini, yang sering lebih mewarnai adalah family binding daripada religious binding," demikian ditulis Uskup (pim-pinan Gereja Katolik setempat) Pontianak, Mgr. Hieronymus Bumbun dalam Kata Pengantar.
Menurut Mgr. Bumbun, pertemuan-pertemuan yang diwarnai oleh kebudayaan dan sosial sebagaimana dimunculkan oleh Pastor Herman Josef, membuka cakrawala baru dalam pandangan orang Daya. Sebaliknya, melalui penuturannya dalam buku ini orang Daya pun mengenalpribadi Pastor Herman.
Herman Josef mengisahkan pengalaman pastoralnya, antara lain bagaimana ia hidup di antara dan dengan orang Daya; dan sudah tentu didasari oleh pelbagai maksud dan harapan. Tetapi yang jelas ia ingin memberikan gambaran sekongkret mungkin mengenai orang Daya, khususnya yang dialaminya sendiri. Dan hal yang tidak dapat dipungkiri ialah, bahwa kehidupan - seperti banyak dialaminy a dalam pelbagai aspek - merupakan hasil pengaruh relasi akrab dengan alam lingkungannya.
Pastor Herman Josef, ternyata seorang misionaris yang amat besar semangat merasul dan merakyatnya. Ia suka bekerja keras dan maksimal. Ini tampak jelas dari relasi akrabnya dengan orang Daya, selain kemampuan beliau menjangkau daerah-daerah pedalaman, serta usaha beliau yang membuahkan banyak penganut agama Katolik di Kalbar, yang sungguh pantas diberi penghargaan.
Sikap terbuka dan merangkul adalah dasar kepribadian Pastor Herman Josef yang menyatu dengan semangat Injil menjadi fakta - seperti ternyata dalam Mijn Leven Met de Daya's - adanya perubahan dan peralihan nilai di kalangan pelbagai anak suku Daya.
Buku ini juga merupakan bukti kelahiran bentuk kebudayaan baru, hasil pertemuan budaya dari berbagai etnis suku Daya dengan Injil dan iman Kristen, yaitu budaya Daya Kristiani Katolik. Budaya hasil perjumpaan pelbagai suku sub-suku Daya dengan Injil dan iman Kristen ini, bagaimanapun - seperti jelas sekarang ini, dan dengan optimis juga masa nanti - merupakan titik terang dan petunjuk bagi setiap langkah perjuangan generasi Daya. Di bekas wilayah pelayanannya, umat Katolik kini sekitar 30.000. Inilah hasil panen dari tanaman yang ia tabur dengan susah payah hampir 50 tahun silam.
R. Masri Sareb Putra (Editor buku Hidupku di Antara Suku Daya edisi bahasa Indonesia)