Beras yang Digoreng Jadi Alat Politik
BERAS dijadikan alat politik dalam Pemilu 2024. Dok. Kompas TV. |
SANGGAU NEWS : Hampir saja kita terjebak dalam propaganda film yang baru dirilis beberapa jam sebelum Pemilu 14 Februari 2024. Film tersebut seharusnya mengganti skenario karena fakta dan hasil investigasi di lapangan membantahnya dengan tegas.
Ketegangan politik menjelang Pemilu 14 Februari 2024 semakin meningkat seiring dengan munculnya isu kelangkaan beras dan kenaikan harga yang signifikan.
Isu beras menjadi bahan bakar politik di tengah atmosfer polarisasi politik, di mana pihak-pihak yang berseberangan saling melemparkan tuduhan untuk kepentingan mereka.
Baca Pengusaha Sebut Beras Jadi Langka di Ritel karena Diborong Caleg
Beras, sebagai makanan utama bagi warga negeri Pancasila, memiliki peran sentral sebagai makanan pokok yang mendefinisikan kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, diketahui bahwa ketika orang mengalami kelaparan, emosi mudah terpancing, dan pola pikir mereka dapat dipengaruhi dengan lebih intens.
Para calon legislatif (Caleg) yang cerdik menyadari potensi ini dan menggunakan beras sebagai alat politik.
Diborong caleg
Caleg yang mahir memanfaatkan situasi ini dengan memborong beras, memanfaatkan prinsip dasar hukum dagang bahwa ketika permintaan tinggi, harga akan melonjak.
Baca Beras Naik Harga: Hengapa Mengeluh?
Dengan memegang kendali atas pasokan beras, mereka secara tidak langsung memiliki pengaruh besar terhadap harga dan ketersediaan beras di pasar. Strategi ini menjadi semakin terasa jelang dan pasca Pemilu, di mana beras muncul sebagai isu utama yang memengaruhi pikiran dan emosi masyarakat.
Fenomena ini menciptakan siklus saling ketergantungan antara politik dan kebutuhan dasar masyarakat. Calon legislatif yang menggunakan beras sebagai alat politik tidak hanya memengaruhi harga beras, tetapi juga mengontrol narasi politik yang berkembang di tengah masyarakat.
Dengan mengakumulasi stok beras dan menentukan harga, mereka dapat memanipulasi persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintah, menciptakan ketidakpuasan, atau bahkan menciptakan kebutuhan yang dapat diatasi melalui dukungan politik.
Sebagai isu utama yang berkembang jelang dan pasca Pemilu, peran beras dalam politik tidak hanya menciptakan ketidakstabilan ekonomi tetapi juga memicu ketegangan sosial dan politik.
Masyarakat menjadi lebih rentan terhadap manipulasi informasi dan retorika politik yang memanfaatkan kebutuhan dasar mereka. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang dinamika ini dan memahami bagaimana kepentingan politik dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, terutama melalui isu-isu seperti harga beras.
Isu kelangkaan beras dan kenaikan harga disebut sebagai hasil dari kebijakan pemerintah dan manipulasi impor beras oleh kelompok tertentu demi keuntungan pribadi. Meskipun begitu, hasil investigasi di lapangan mengungkap bahwa kondisi ini lebih kompleks daripada sekadar permainan politik impor beras.
Penyelidikan menunjukkan bahwa kelangkaan beras dan kenaikan harga sebagian besar disebabkan oleh praktek 'dirty vote', di mana caleg dan tim suksesnya terlibat dalam aksi borong beras sebagai taktik politik. Mereka membeli beras dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada calon pemilih dengan harapan mendapatkan dukungan dalam pemilihan.
Siapa sesungguhnya dirty vote?
Isu dirty vote' bukan hanya mempengaruhi ekonomi, tetapi juga merusak integritas pemilu dan meningkatkan risiko suara tidak sah. Kondisi ini menimbulkan tantangan bagi penyelenggara pemilu dan pihak berwenang untuk memastikan integritas pemilu dan menegakkan aturan distribusi bantuan dalam konteks kampanye.
Baca Wacana Pemekaran Kabupaten Bangkule Rajakng, Cornelis: Moratorium, Jangan PHP Masyarakat!
Situasi ini menyoroti pentingnya kritisisme dan penyelidikan terhadap isu politik sebelum membuat kesimpulan. Keberanian untuk mencari kebenaran dan menganalisis informasi dengan cermat menjadi kunci dalam memahami dinamika politik dan menjaga demokrasi tetap kuat.
Masyarakat perlu lebih hati-hati dalam menanggapi isu yang muncul, terutama di tengah ketegangan politik menjelang pemilu. Pendidikan publik dan literasi media menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang rasional, toleran, dan mampu menilai informasi dengan bijak demi kepentingan bersama.
Dalam konteks 'sumbu pendek', bijaklah dalam menghadapi informasi dan pastikan untuk memverifikasi sebelum menanggapi.
Kita perlu memilih sikap hati-hati dan kritis agar tidak terjebak dalam penyebaran informasi palsu atau manipulatif yang dapat merugikan stabilitas dan keamanan sosial.
- Rangkaya Bada