Pemekaran Daerah: Mendayung antara Aspirasi dan Politisasi
Capture, tangkapan kamera suasana ketika Deklarasi daerah otonomi baru yang diberi nama Kabupaten Bangkule Rajakng. Sumber gambar: Pelita Mentonyek. |
SANGGAU NEWS : Berita tentang deklarasi pemekaran daerah otonomi baru oleh sejumlah tokoh di Kabupaten Landak menuai pro-kontra.
Baca Wacana Pemekaran Kabupaten Bangkule Rajakng, Cornelis: Moratorium, Jangan PHP Masyarakat!
Gagasan pemekaran daerah otonomi baru bernama Kabupaten Bangkule Rajakng itu meliputi 3 kecamatan di Kabupaten Mempawah (Kecamatan Anjongan, Toho, dan Sadaniang) dan 4 kecamatan di Kabupaten Landak (Kecamatan Mempawah Hulu, Menjalin, Sompak, dan Mandor).
Sejumlah tokoh itu meyakini bahwa gagasan pemekaran itu telah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan dan perundangan yang ada dan merupakan aspirasi masyarakat
Baca Baga
Namun, sebagai pendidikan politik untuk rakyat, peristiwa
deklarasi itu harus dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis antra lain,
- Apakah gagasan itu sudah benar-benar telah menjadi kebutuhan dan aspirasi rakyat atau baru sebatas keinginan sejumlah elit dengan mengatasnamakan aspirasi rakyat?
- Apakah gagasan itu telah mempertimbangkan kajian/naskah akademik yang komprehensif sebagai acuan data yang bisa dipertanggungjawabkan?
- Apakah gagasan itu telah mempertimbangkan aspek undang-undang dan kebijakan pemerintah pusat yang telah membuat status penundaan sementara (moratorium) karena hasil kajian dan evaluasi yang menyeluruh.
Dengan pertanyaan-pertanyaan
itu, setidaknya dapat dokontekstualisasi terhadap keinginan sejumlah tokoh
penggagas yang konon sedang menjadi perpanjangan aspirasi rakyat.
Mendayung antara Aspirasi dan Politisasi
Memang, secara ideal, sebagaimana diautur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, salah satu aspek atau hal yang terpenting dalam pemekaran daerah ini adalah bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan demokratis, dengan interkasi yang lebih intensif, antara masyarakat dengan pemerintah daerah baru, sehingga masyarakat sipil akan mudah untuk memdapatkan hak-hak dan dan melaksanakan kewajibannya secara lebih baik sebagai warga Negara. Pada aras ini, semangat deklarasi yang dilakukan oleh para tokoh lokal di berbagai daerah memiliki relevansinya.
Fakta dan Data
Tetapi jangan lupa, amanat undang-undang itu memerlukan dukungan fakta-fakta empirik sebagai faktor pendukung antara lain kemampuan keuangan negara dan naskah akdemik yang menggambarkan peta ekonomi, sosial, politik, budaya yang komprehensif. Undang Undang No 22 Tahun 1999 (jo UU No 32 Tahun 2004) yang secara teknis diatur dalam PP No 129 Tahun 2000 (jo PP No 78 Tahun 2007) justru lebih menekankan pada proses-proses politik.
Ruang bagi daerah untuk
mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar. Dengan kebijakan itu, kebijakan
pemekaran daerah lebih didominasi oleh proses politik daripada proses
teknokratis. Sehingga dapat dipahami bahwa produk hukum ini berdampak pada
maraknya pemekaran daerah yang tidak terbendung di seluruh Indonesia, terutama
di luar Jawa. Derasnya gelombang pemekaran daerah ini kemudian juga berdampak
pada timbulnya berbagai problem di daerah yang baru dimekarkan tersebut.
Terkait persoalan tersebut, kemudian konsultasi antara pimpinan DPR dan presiden di Istana negara tanggal 14 Juli 2010, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kembali meminta dilakukan moratorium pemekaran daerah.
Artinya, usulan
pembentukan daerah otonom baru untuk sementara harus dihentikan sambil menunggu
evaluasi lebih lanjut. Menurut presiden waktu itu, selama 10 tahun terakhir,
dari dari 205 daerah baru hasil pemekaran, 80 persennya gagal menjalankan
tugasnya. APBN yang disalurkan ke daerah untuk pemekaran pun selama ini lebih
digunakan untuk membangun gedung-gedung atau untuk membeli mobil pejabat daerah.
Sarat kepentingan politik
Di antara penyebab terjadinya kegagalan ini adalah adanya kepentingan politik (politic interest) dari para elite politik lokal dan legislator. Hasil evaluasi terhadap daerah pemekaran yang dilakukan UNDP (United Nations Developmen Program) dan Bappenas yang dirilis pada 2008 menyimpulkan bahwa setelah daerah dimekarkan, kondisi daerah otonom baru masih berada dibawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol.
Penduduk miskin menjadi terkonsentrasi di daerah
otonom baru. Studi tersebut juga menemukan, penyebab kondisi tersebut
didominasi keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia daerah
pemekaran.
Maka, pertanyaan yang relevan untuk diajukan dalam konteks pemekaran daerah adalah, kenapa pemerintah memutuskan untuk melakukan moratorium pemekaran daerah. Pada Desember 2020 lalu, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin yang merupakan Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) menegaskan pemerintah masih melanjutkan moratorium pemekaran DOB. Alasannya, antara lain, pendapatan asli daerah (PAD) yang dihasilkan oleh DOB masih rendah serta kemampuan keuangan negara yang belum memungkinkan untuk menopang seluruh operasional yang dilakukan oleh DOB.
Baca Dikira Caleg: Suatu Hari Di Sekadau Dan Ketapang
Pemerintah menilai bahwa pembentukan
daerah baru (DOB) menambah beban bagi Negara khususnya dalam segi finansial
karena hampir selruruh daerah baru yang dibentuk berdasarkan kesepakatan
pemerintah dan dewan perwakilan rakyat (DPR) masih tergantung pada dana
transfer dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dengan
ketergantungan finansial yang cukup tinggi.
Baca Baga
Saat
ini Indonesia memiliki 223 daerah otonomi baru (DOB). Saat ini juga, sedikitnya
ada 325 usulan pembentukan Daerah Otonomi Baru yang masuk ke Kementrian Dalam Negeri
(kemendagri) yang terdiri dari 55 usulan provinsi baru, 233 usulan
kabupaten/kota, dan 37 usulan kota baru. Semua usulan tersebut di dasarkan pada
alasan yang objektif di lapangan seperti kurangnya efektif layanan publik,
tidak meratanya distribusi akses pembangunan dalam suatu daerah, dan dibutuhkannya
pemerintah baru yang lebi dekat dengan publik. Sebaliknya, keputusan
keberlanjutan moratorium pemebentukan daerah otonomi baru sejatinya didasarkan
pada tujuan dasar dari undang-undang pemekaran daerah. Semangat moratorium
justru untuk memastikan tujuan dasar dari pemekaran daerah bisa tercapai secara
bertahap.
Tidak boleh terjebak
Karena itu, gagasan dan usulan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) tidak boleh terjebak pada semata keinginan elit politik daerah yang mengatasnamakan aspirasi rakyat. Melainkan harus dipotret secara fiilosofis, yuridis, realitas (keadaan objektif) yang dapat dijadikan parameter yang terukur, rasional, dan objektif. Jika tidak, maka yang akan terjadi hanya berupa “janji politik” yang berujung pada “PHP”, yakni pemberi harapan palsu!
Elit berjanji, rakyat menanti, fakta tak kunjung datang.
Jujur saja pada rakyat. Itu lebih baik daripada berbuih dengan reteorika tanpa
fakta dan data.
- Rangkaya Bada