Dikira Caleg: Suatu Hari di Sekadau dan Ketapang
Dikira Caleg: Masri (kiri) dan Musa (ujung kanan) menyusuri jalan nostalgia Sekadau 40 tahun silam. |
SANGGAU NEWS : Suatu siang di Sekadau.
Pada siang itu Minggu, 28 Januari 2024 saya bersama Masri teman lama semasa SMA di Sekadau tahun 1980-an berkesempatan mutar- mutar di kota Sekadau dengan sepeda motor. Selesai Misa di Gereja Agung kami ke tepian sungai Kapuas, melewati Jalan Amaliah.
Menyusuri jalan kenangan sembari bernostalgia
Dulu waktu kami sekolah di sini, jalan ini belum ada, termasuk SMK Amaliah juga belum ada. Saat itu, di depan Kantor Camat ke arah sungai Kapuas ada Lanting Pastor tempat kami mandi hari- hari sewaktu tinggal di Asrama Putra St. Gabriel.
Baca Musa Menggali Dan Menulis Keunggulan Pendidikan-Asrama Dan Karakter Kumang
Di Lanting Pastor ini ditambat Kapal Motor Bandung “Solidaritas” milik Prefektur Apostolik Sekadau. Di samping itu juga tertambat beberapa speed boat yang digunakan untuk pelayanan pastoral para Pastor.
Di pinggir sungai dekat jembatan Sungai Kapar ada pohon besar dan di ujung jalan ada Tangsi tentara, terus ke hilir ada kebun serai dan Kebun Pastor yang banyak pohon rambutan dan berada di tepian sungai Kapuas, di seberangnya sudah dekat dengan situs budaya Lawang Kuwari.
Kebun Pastor ini sering dijadikan tempat para pelajar SMPK St.Gabriel atau Siswa/i SPG St.Paulus Sekadau atau anak asrama melakukan wisata atau camping rohani atau juga rekoleksi muda/i.
Saat SMA itu, saya dan Masri pernah “plesir” ke kebun Pastor ini dengan kendaraan sepeda. Di Kebun Pastor itu, kami sempat memetik rambutan yang sudah memerah, tetapi tidak dihiraukan orang.
Kami heran juga mengapa Pastor tidak meminta orang memanennya atau orang sekitar tidak memungutnya. Setelah kami petik dan memakan beberapa buah rambutan itu, minta ampun masamnya. “Rambutan Masam, RM, seperti inisial nama kita berdua”, kata kami bergurau saat itu.
Ternyata itulah sebabnya rambutan ini tidak dihiraukan orang. Rambutan ini nampak sudah tua dan kebun rambutan ini sudah lama dibeli oleh Pastor dan sudah menjadi hutan yang lebat.
Baca Gedung Kampus Utama Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) Dan Harvard University
Ketika kami menyusuri tepian sungai Kapuas, mulai dari arah Lanting Pastor siang itu, ternyata tak ada lagi Lanting, gantinya sepanjang tepian sungai sampai kearah jembatan sungai kapar sudah penuh dengan kios- kios dagangan.
Pohon besar yang dulu pernah ada dan sangat rimbun, kini tinggal pendek karena sudah dipangkas, tidak ada lagi terkesan angker seperti tempo dulu.
Kami sempat berhenti di jembatan sungai kapar sambil menikmati pemandangan sungai Kapuas dengan lalu lintas sungai yang sudah tidak seramai tempo dulu.
Mosat dan morut ikan kecil
Saya teringat di jamban dekat jembatan ini, dulu penduduk sering menangkap ikan-ikan kecil dengan menggunakan alat yang disebut “posat”.
“Posat” itu berupa jaring halus segi 4. Keempat sudutnya terikat di tengah dan dikaitkan ke sepotong kayu sebagai gandarnya.
Dari jembatan Sungai Kapar kami menyusuri sungai Kapuas ke arah hilir, melewati kampus SMK Amaliah dan asrama tentara zaman dulu, terus ke hilir.
Mosat dan ibu-ibu "morut", membuang isi perut ikan kecil. Peandangan eksotik di Sekadau. |
Di situ kami bertemu dengan kerumunan orang yang didominasi oleh ibu-ibu menonton seorang bapak yang sedang menangkap ikan dengan alat “posat”.
Ibu-ibu itu bilang bahwa ikan-ikan kecil hasil memosat itu bisa dan enak kalau dibikin “perkedel” atau dimasak dengan tempoyak. Kami berdua asyik saja mendengar celotehan ibu- ibu itu.
Dikira caleg
Lalu mereka tanya, “kalian dari mana dan hendak kemana?” Hal yang paling menarik mereka tanya,”Bapak- bapak ini Caleg ya? Para Caleg itu suka beri duit koh, minta duit lah bang” katanya sambil ketawa cekikikan.
Kami tersenyum dan geli saja melihat tingkah polah ibu- ibu yang lucu ini. Masri menjelaskan bahwa kami bukan Caleg, ke sini cuma ingin bernostalgia karena dulu pernah sekolah di Sekadau ketika SMA.
“Sekarang saya bekerja dan tinggal di Jakarta dan teman saya ini bekerja dan tinggal di Ketapang”, jelas Masri sambil menunjuk ke arah saya.
Baca 50 Tahun Para Suster Passionis (CP) Berkarya Di Indonesia
Lalu Masri merogoh saku dan memberikan selembar uang Rp 50.000 kepada salah seorang ibu. Kepada yang sebelahnya lagi, kawan-rapat Musa sejak SMA itu pun merogoh saku lagi. Seraya memberi lembaran yang sama nilainya.
Ibu-ibu itu senang bukan alang kepalang. Mereka mengucapkan terima kasih. “Inilah bawaan suasana pemilu, kita pelesir dikira Caleg” kata saya pada Masri sambil tertawa.
“Kamu yang cocok tampangnya sebagai Caleg dan sudah beri duit, aku driver Caleg”kataku bergurau.
Suatu sore di Ketapang
Sore itu di masa hari tenang menjelang Pemilu 2024. Saya sedang bercakap- cakap dengan seorang teman di halaman rumahnya, ketika seseorang datang menemuinya dan menawarkan sebuah proposal.
Teman yang didatangi ini adalah seorang Caleg Provinsi Kalbar. Setelah pensiun sebagai PNS, ia ingin menikmati masa purna tugasnya dengan berkebun dan tinggal di pondok yang sudah dia siapkan. Tetapi beberapa tokoh masyarakat memintanya untuk maju menjadi Caleg Provinsi dari satu partai; seorang tokoh penting bahkan sudah menyiapkan “kendaraan poitik” tanpa mahar kepadanya.
Tinggal berselancar. Alasannya, karena dia dinilai sudah dikenal masyarakat luas dari semua kalangan, saat dia berkiprah di pemerintahan, Dewan Adat Dayak dan kalangan gereja. Dia dinilai akan mampu meraup dan mendongkrak suara partai dan juga sebagai bentuk penghargaan atas kiprahnya selama ini.
Menurut Caleg ini, awalnya ia sempat ragu menerima “pinangan” ini, mengingat dirinya minim pengalaman berpolitik dan juga minim modal finansial; hanya memiliki modal sosial. Tetapi setelah direnungkan dan mendapat masukan dari berbagai pihak terutama keluarga, akhirnya ia menyanggupinya.
Sebelum bergerak mengikuti tahapan Pemilu, ia mengundang sejumlah orang untuk bertukar pendapat dengannya. Tim ini kemudian sering disebut “Tim Sukses”.
Saya masuk di dalamnya, bukan sebagai tim kampanye, tetapi lebih sebagai anggota “think tank” yang memberikan masukan dan saran bila diperlukan. Satu hal yang membuat saya tertarik untuk bergabung, karena dalam “menjual dirinya” atau kampanye ia menggunakan metode yang terkesan “melawan arus”.
Ia memaparkan pendiriannya bahwa pertama, Ia tidak akan mengobral janji apalagi PHP (Pemberi Harapan Palsu), karena selama ini dia sudah bekerja dan ia bisa menunjukkan apa yang sudah ia kerjakan. Dan bila ia diberi amanah baru sebagai anggota DPRD Provinsi, itu berarti bahwa ia bisa bekerja lebih optimal lagi untuk masyarakat dari yang pernah ada sebelumnya.
Kedua, ia tidak akan bagi- bagi uang, karena “saya tidak tahu berapa harga seseorang ketika orang tersebut memberikan suaranya kepada saya”. Alasan lain, dia juga bukan orang kaya yang bisa bagi- bagi uang, walaupun Ia tahu ada pameo di masyarakat pemilih saat ini,”buah sawit buah ara, ada duit ada suara”. Ia menegaskan bahwa kalau cara dan prinsip yang ia akan jalankan itu tidak diterima oleh masyarakat pemilih, maka ia dengan senang hati untuk tidak terpilih. Saya sangat mendukung prinsipnya ini dan semua tahapan berjalan tanpa halangan yang berarti.
Saat saya menulis artikel ini, adalah saat semua kontestan pemilu menanti-nantikan detik-detik mendebarkan apakah mereka berhasil atau gagal pasca saat pencoblosan, melalui hitungan cepat (quick count) atau juga melalui metode exit poll.
Kembali ke fenomena proposal yang diajukan ke Caleg di atas, si pengusul mengatakan bahwa Ia punya 50 orang yang kalau harganya “deal” akan memberikan suaranya ke si Caleg sambil menunjukkan fotokopi KTP 50 orang pemilih. Sayangnya, si pengusul harus gigit jari berhadapan dengan Caleg ini.
“Maaf, saya tidak punya uang untuk membeli suara” ucapnya tandas.Ternyata orang yang menawarkan proposal sejenis ini, bukan hanya satu orang, tetapi 5-6 orang dengan jumlah suara yang ditawarkan bervariasi dari 20 – 50 orang.
Bayangkan kalau per proposal rata- rata 35 orang dengan harga per suara Rp 200.000, maka akan terkumpul Rp 7.000.000; Bila si “pengusaha dadakan” pemilu ini berhasil menggaet 5 Caleg, maka usaha ini akan memberi hasil Rp 35 juta rupiah, cukup untuk membeli motor Yamaha Nmax. Mantap, kan? Inilah peluang yang bisa ditangkap seorang “pengusaha dadakan” pemilu, yang cerdik memanfaatkan event pemilu. Tertarik? Boleh coba.
(R. Musa Narang)