Yasuo: Bekerja sebagai Jiwa dan Nilai Hidup
|
Banyak biografi yang diterbitkan, namun yang ini memiliki perbedaan yang mencolok.
Di mana perbedaannya?
Biasanya, biografi yang dapat ditemukan di toko buku di negeri kita berkisar tentang tokoh dalam negeri. Namun, buku ini memiliki ciri khas tersendiri. Dalam buku ini, seorang Jepang menjadi subjek yang ditulis oleh dua penulis Indonesia.
Subjek biografi ini adalah seorang pria Jepang yang lahir pada 20 Oktober di Shiga dari keluarga yang sederhana. Namanya adalah Yasuo Furukawa. Masa kecilnya dilewati saat Jepang sedang berjuang untuk memulai lembaran baru setelah mengalami kerusakan parah akibat Perang Dunia II yang kejam.
Pada saat itu, kehidupan sulit bagi semua orang Jepang, termasuk keluarga Yasuo. Namun, semangat mereka untuk tidak menyerah di tengah kesulitan tetap terjaga.
Masa kecilnya, baik disadari atau tidak, membentuk karakternya yang keras dan kebiasaannya untuk bekerja keras. Dia tumbuh di daerah pertanian di bagian barat Pulau Honsu yang dekat dengan Kyoto, di mana dia membantu orang tuanya dalam bertani untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ayahnya adalah seorang akuntan yang bekerja di sebuah perusahaan swasta dari pagi hingga sore, lalu bekerja sebagai petani setelah itu. Bahkan ibunya juga turut membantu ayahnya sebagai petani. Pada awal masa pemulihan Jepang, kerja keras dan kesederhanaan menjadi norma. Namun, ini memupuk semangat solidaritas dan tolong-menolong di antara keluarga-keluarga mereka.
|
Suatu hari, Yasuo menemukan seseorang yang bersedia mengajarnya. Dan sekarang, siapa yang tidak tahu? Furukawa Shell, yang didirikannya pada tahun 1972, kini telah menjadi perusahaan multinasional. Ini menunjukkan ketajaman intuisi bisnisnya.
Kesuksesan dalam bisnis tidak selalu sama dan sebanguun dengan kesuksesan dalam kehidupan.
Sebagai anak bungsu dari tiga saudara, Yasuo tumbuh dalam lingkungan yang penuh kepedulian. Awalnya, dia bercita-cita menjadi atlet senam, tetapi kehidupan memaksa dia untuk bekerja setelah ibunya meninggal. Dia mulai berwirausaha dan mencoba membuat katup air (water valve).
Setelah menikahi Fusako, mereka bersama-sama membangun bengkel kerja. Mereka bahkan mencampur sendiri semen dan menyusun batu bata untuk menghemat biaya. Karena modal yang terbatas, Yasuo bahkan merancang cetakan (mold) dari tanah liat, meskipun sebenarnya seharusnya menggunakan logam. Ketika dia yakin bahwa katup air yang diinginkannya dapat berhasil dibuat, dia mulai menggunakan cetakan logam.
Awalnya, tidak mudah bagi mereka untuk menjual produk dari bengkel mereka. Beberapa kali mereka ditolak karena masalah kualitas. Namun, penolakan ini tidak membuat semangatnya pudar. Sebaliknya, itu mendorongnya untuk mencari seseorang yang bisa mengajarnya bagaimana menjadi sukses.
Suatu hari, dia menemukan orang yang bersedia mengajarinya. Dan sekarang, siapa yang tidak tahu? Furukawa Shell, yang didirikannya pada tahun 1972, kini telah menjadi perusahaan multinasional.
Kesuksesan dalam bisnis tidak selalu sama dengan kesuksesan dalam kehidupan. Penulis buku ini, yaitu Lisman Suryanegara dan Zeni Zaelani, menceritakannya. Yasuo sangat peduli terhadap keluarganya, anak-anaknya, karyawan-karyawannya, dan lingkungan sekitarnya. Dia tidak pernah memecat karyawan dan bahkan meminta karyawan yang pernah dipecat untuk kembali bekerja.
Pesan yang dia wariskan adalah "Bekerja sebagai jiwa dan nilai hidup. Uang bukan segalanya." Nilai-nilai ini tercermin dalam tindakan dan karya Yasuo. Di Indonesia, dia mendirikan pabrik di daerah Karawang, di mana hampir seluruh karyawannya adalah orang Indonesia. Satu-satunya orang Jepang di perusahaan tersebut adalah putranya yang kedua.
Suatu kali, Yasuo terkejut dan bertanya mengapa sopir yang menjemputnya bukanlah sopir biasa. Ternyata, sopir tersebut telah dipecat oleh perusahaan karena masalah gaya hidup dan keuangan. Ketika sampai di Jakarta, Yasuo tidak hanya meminta staf untuk memanggil sopir tersebut, tetapi juga menawarinya pekerjaan kembali dengan sepenuh hati, serta memberinya uang tunai.
Yasuo tidak marah pada sopir tersebut, tetapi memberinya sentuhan kemanusiaan. Tidak semua karyawan yang diberikan kesempatan kedua berubah menjadi lebih baik, tetapi pelajaran penting dari Yasuo adalah memberikan kesempatan kedua.
Biografi ini tidak biasa karena tidak disusun secara kronologis, melainkan mengikuti tema-tema tertentu. Hal ini mungkin disengaja, karena fokusnya adalah pada pesan yang ingin disampaikan, bukan sekadar kisah sukses Yasuo dalam bisnis yang membuatnya kaya. Baginya, menjadi kaya adalah sebuah proses, dan modal dasarnya adalah nilai-nilai.
Demikianlah Yasuo, seseorang yang selalu memberi arti dalam kehidupan.*)