Tjhai Chui Mie Representasi Kiprah dan Perjuangan Etnis Tionghoa Singkawang
Tjhai Chui Mie, profil perempuan Hakka anggun pejuang kesetaraan etnisitas dan kebangsaan. |
Prof. Dr. AB Susanto, pakar manajemen stratejik, menyatakan bahwa buku adalah media promosi yang elegan dan mustajab. Dan perempuan Hakka nan anciang, Tjhai Chui Mie, mafhum betul manfaat dan dampak buku. Maka ia menerbitkan buku biografi.
Kiranya warga Kalimantan Barat mengenalnya. Tjhai Chui Mie adalah seorang politisi yang memiliki peran penting dalam perkembangan Singkawang, Kalimantan Barat, dan Indonesia pada umumnya.
Riset, penulisan, hingga penerbitan biografi tentang dirinya oleh Masri Sareb Putra dan Corry Soesana bukan hanya sekadar pencitraan diri. Melampaui batas sekadar fisik buku, ia adalah upaya untuk mempromosikan nilai-nilai dan perjuangan etnis Tionghoa di Singkawang.
Buku biografi ini tidak hanya mencakup kisah pribadi Tjhai Chui Mie. Namun, juga menggambarkan perjuangan etnis Tionghoa di Singkawang. Suatu kaca benggala, cerminan dari bagaimana sebuah komunitas etnis yang pernah menghadapi tantangan dan diskriminasi akhirnya berhasil menjadi setara dengan etnis lainnya di Indonesia.
Tidak belebihan mengatakan bahwa buku ini adalah bukti nyata. Bahwa kerja keras dan kontribusi etnis Tionghoa memiliki dampak positif bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Buku adalah salah satu cara terpenting untuk mengkomunikasikan sejarah, nilai-nilai, dan perjuangan sebuah komunitas. Dalam hal biografi Tjhai Chui Mie, buku tersebut bukan hanya sebagai cerminan sejarah dan perjuangan pribadi, tetapi juga sebagai jendela yang memungkinkan masyarakat luas untuk memahami lebih dalam mengenai kontribusi etnis Tionghoa di Indonesia.
Buku ini juga menyoroti pentingnya ideologi Pancasila sebagai perekat keberagaman dalam masyarakat Indonesia. Dalam perjalanan perjuangan etnis Tionghoa, Pancasila menjadi landasan yang menghubungkan berbagai etnis dan budaya di Indonesia. Ini adalah salah satu pesan yang ingin disampaikan melalui buku ini, bahwa keberagaman adalah salah satu kekuatan terbesar bangsa Indonesia.
Chui Mie, seorang perempuan Hakka, memainkan peran penting dalam mengangkat kembali kejayaan kota San Khew Jong atau yang lebih dikenal sebagai Singkawang.
Singkawang adalah sebuah kota yang unik dengan sejarah dan tradisi kaya, namun terlupakan seiring berjalannya waktu. Chui Mie memutuskan untuk mencetak ulang buku sebagai bagian dari upaya promosi yang elegan untuk membangkitkan minat terhadap kota ini.
Buku ini dalah sebuah biografi tentang seorang perempuan Hakka yang mempesona. Karya ini bukan hanya tentang individu, tetapi juga sebuah cerminan dari sejarah Singkawang dan adat lebuhur, yang menjadi fondasi dari daya tarik kota ini. Sejarahnya yang panjang dan tradisi yang kaya menciptakan latar belakang yang kuat bagi kisah perempuan Hakka ini.Chui Mie memulai dengan menggambarkan sejarah Singkawang dan adat lebuhur, memicu minat dan membuat kota ini menjadi pusat perhatian saat perayaan Imlek dan 15 hari setelahnya. Cap Go Meh, malam yang ke-15, menjadi peristiwa kunci yang menonjolkan pesona kota ini. Dalam bahasa Hakka, Singkawang disebut "San Khew Jong," yang secara harfiah berarti "suatu kawasan dengan mata air mengalir dari gunung sampai laut." Ini adalah metafora yang indah untuk menggambarkan kehidupan dan keberagaman budaya yang ada di kota ini.
Buku ini juga menyoroti pentingnya ideologi Pancasila sebagai perekat keberagaman dalam masyarakat Indonesia. Dalam perjalanan perjuangan etnis Tionghoa, Pancasila menjadi landasan yang menghubungkan berbagai etnis dan budaya di Indonesia. Ini adalah salah satu pesan yang ingin disampaikan melalui buku ini, bahwa keberagaman adalah salah satu kekuatan terbesar bangsa Indonesia
Orang-orang Hakka yang telah lama tinggal di Singkawang mungkin telah kehilangan akar moyang mereka selama berabad-abad. Namun, generasi muda kini merasa bahwa Singkawang adalah tanah air leluhurnya. Inilah yang membuat denyut nadi kehidupan di Singkawang berdenyut kuat, menciptakan atmosfer sebuah Chinese Town yang kental dengan nuansa lokal.
Namun, pertanyaan muncul: siapa yang memimpin San Khew Jong saat ini? Jawabannya adalah seorang perempuan Hakka, Tjhai Chui Mie. Ia membuat sejarah sebagai perempuan Wali Kota pertama dalam perjalanan politik masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tanggal 15 Februari 2017, Chui Mie berhasil meraih perolehan suara mutlak.
Prestasinya ini memotivasi banyak orang, karena Chui Mie berhasil memenangkan pemilihan dalam satu putaran dengan perolehan suara di atas 42,63%, unggul jauh dari tiga pasangan calon lainnya. Ini adalah bukti bahwa uang bukan segalanya dalam politik. Wanita berusia 50 tahun ini membuktikan bahwa kekuatan kepemimpinan bukan hanya tentang harta, tetapi juga tentang dedikasi dan visi yang kuat.
Chui Mie adalah seorang pemimpin yang penuh keteguhan dan rendah hati. Ia pernah menjadi Ketua Perkumpulan Hakka Singkawang dari tahun 2015 hingga 2020.
Penampilannya yang sederhana dan apa adanya, bahkan ketika mengenakan pakaian dinas, mencerminkan kepribadian yang eksotis dan menginspirasi banyak orang.
Chui Mie adalah contoh nyata bagaimana seseorang dengan integritas dan komitmen yang kuat dapat membawa perubahan positif bagi kota dan masyarakatnya.*)