Titie Said: Sahabat dan Guruku dalam Menulis
|
Beruntung.
Sepatah kata itu cukup bagi saya menggambarkan perjalanan
hidup berlangsung selama lebih dari tiga dekade di Jakarta sejak tahun 1989
hingga saat ini,.
Ibukota telah banyak mendidik dan mengajarkan. Kota ini bukan hanya sekadar tempat tinggal
saya, tetapi juga menjadi panggung bagi perjalanan karier yang tak ternilai. Di
sinilah saya memperoleh kesempatan emas untuk berinteraksi dan berkolaborasi
dengan para ahli dan pemimpin dalam bidang saya.
Salah satu momen puncak dalam perjalanan ini adalah saat
saya berkesempatan bertemu dan berdiskusi dengan salah satu penulis terkemuka
pada zamannya, yaitu Titie Said. Titie Said, nama yang melambangkan kreativitas.
Sekaligus keberanian dalam dunia sastra Indonesia.
Pertemuan dengan Titie Said, antara lain membawa pengaruh signifikan dalam karier kepenulisan dan literasi saya. Bersama-sama, kami pernah menjadi mentor di Pusat Perbukuan Depdikbud, berbagi pengetahuan dan pengalaman kami kepada generasi penerus.
Kami juga diberi panggung kehormatan untuk menjadi
juri dalam berbagai kompetisi menulis tingkat nasional. Ktika itu, proyek
perbukuan sedang marak-maraknya. Dan kami sempat mencicipi nikmat dari
remah-remahnya.
Setiap kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh berpengaruh
ini, kami selalu memanfaatkannya sebagai momen berharga untuk mendalami ilmu dan
berkembang dalam bidang kami.
Dalam perjalanan hidup di Jakarta. Saya merasa beruntung telah menyeberang jalan dengan seorang tokoh luar biasa seperti Titie Said.
Untuk benar-benar memahami pengaruh besar yang
dimiliki oleh Titie Said, kita harus melihat lebih dalam ke dalam hidupnya.
Lahir pada tanggal 11 Juli 1935 di Bojonegoro, Jawa Timur, Titie memulai
kehidupannya dengan berbagai potensi. Ayahnya, Muhammad Said, seorang guru,
tentara, dan penulis pada masa Belanda, memberikan pelatihan menulis sejak
Titie kecil. Dukungan ayahnya inilah yang mendorongnya untuk menggeluti dunia
sastra.
Titie adalah lulusan sarjana muda Arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959. Meskipun tidak berhasil menyelesaikan kuliahnya, namun ia terus bergerak maju dalam dunia sastra.
Titie aktif dalam
dunia jurnalistik, bekerja sebagai redaktur di majalah "Hidup" di
Malang pada tahun 1957-1959 dan di majalah "Wanita" pada tahun
1959-1960. Bersama Drs. Lukman Umar, Titie mendirikan majalah Kartini dan menjadi pemimpin redaksi.
Selama kariernya sebagai penulis, Titie menghasilkan 25 novel hingga tahun 2008. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain adalah "Jangan Ambil Nyawaku" (1977), "Reinkarnasi," "Fatima," "Ke Ujung Dunia," dan "Prahara Cinta" (2008). Ia juga menulis kumpulan cerita pendek yang berjudul "Perjuangan dan Hati Perempuan" pada tahun 1962.
Karya-karya Titie dikarakterisasi oleh
kedewasaan dalam penggambaran tokoh-tokoh dalam cerita pendeknya dan
pesan-pesan tentang keadilan, kebenaran, martabat, dan harga diri. Hal ini
membuatnya diakui sebagai seorang cerpenis wanita yang berpengaruh dalam
kesusastraan Indonesia.
Selain berkarier di dunia sastra, Titie Said Sadikun juga
berpengalaman sebagai Ketua Lembaga Sensor Film selama dua periode, yaitu
2003-2006 dan 2006-2009. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Bali. Dedikasinya
dalam bidang sastra dan pengalaman di dunia politik membuatnya menjadi sosok
yang berpengaruh di berbagai lapisan masyarakat.
Sayangnya, pada tanggal 24 Oktober 2011, kita kehilangan
Titie Said. Perempuan bersahaja meninggal dunia di RS Medistra Jakarta. Namun, warisannya
tetap hidup dan terus menginspirasi banyak generasi sastrawan dan pembaca
Indonesia.
Dalam perjalanan hidup di Jakarta. Saya merasa beruntung
telah menyeberang jalan dengan seorang tokoh luar biasa seperti Titie Said. Hal
ini telah membawa berkah besar dalam hidup saya. Sekaligus memberikan peluang
untuk pertumbuhan yang berarti dalam karier saya sebagai pekerja-kata. (Masri
Sareb Putra*)