Sungai Utik Sekolah Alam Terbaik dan Apai Janggut Profesornya
|
SANGGAU NEWS : Sekolah alam. Tidak perlu mencari di mana yang tepat dan tepercaya di Indonesia.
Baca judul narasi di atas!
Kecerdasan, kini, bukan hanya soal takaran inelektual (IQ) menurut Simon-Binet. Masih banyak dimensi lain, yang menunjang atau diperlukan, untuk sukses.
Seiring dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka
IQ tidak semata-mata dikaitkan dengan tingkat intelektualitas seseorang. Karena
itu, kecerdasan lalu mengalami evolusi makna.
Jadi, apakah kecerdasan itu?
Kecerdasan, menurut teori Howard Gardner yang ditemukan dan dikembangkan pada 1983, ialah "the ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture."
Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk
mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi
peradaban.
|
Baca Angela Merkel: Anugerah Gulbenkian 1 Juta Euro untuk Apai Janggut
Profesor ilmu pendidikan Harvard University itu selanjutnya menyarankan
ditambahkannya beberapa dimensi kecerdasan lagi, yakni naturalist, spiritual,
dan ekistential. Sebab, menurutnya, setiap orang memunyai kecerdasan itu, meski
dalam takaran yang berbeda-beda.
Salah satu pantangan terpenting bagi tuai rumah adalah larangan mandi dengan menggunakan sabun. Selain itu, air minum harus berasal dari sungai yang belum dimasak, tetap asli dan alami. Ini adalah warisan dari Keling, yang juga pernah menjadi tuai rumah, seperti yang dijelaskan oleh Apai.
St. Masiun, salah seorang penggiat lingkungan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan bahwa nilai ekonomis hutan jauh
lebih besar dibandingkan jika dieksploitasi. “Apai Janggut mewarisi
pengetahuan-diam itu. Itu sebabnya, orang tua berjenggot dari Sungai Utik
mati-matian mempertahankan keaslian dan ekosistem hutan di wilayahnya.”
Penulis bersama Apai Janggut di ruai rumah panyai Sungai Utik. |
Pada serial tulisan yang terdahulu, kita telah melihat sejarah dan asal mula wilayah Sungai Utik menjadi “menoa mensia Iban”.
Selain bukti tajau-pesaka,
sebenarnya ada satu kisah sejarah menarik lainnya lagi. Tentang masuk paksanya
agama alokton ke wilayah Hulu Sungai Kapuas –dan hanya orang Iban berani
melawan.
Baca Apai Janggut: Pendekar Lingkungan Dari Sungai Utik (Bagian I Dari 10 Tulisan)
Di bawah pijar lampu listrik, malam itu, di sebuah bilik. Kami
masih duduk bersila. Air enau yang difermentasi jadi tuak membuat cerita
mengalir seperti tetes-tetes nira. Sembari menghirup dari cawan masing-masing,
Apai Janggut berkisah.
“Kami enda ngereja utai ti salah (kita mewarisi hikmat dari
orang tua). Menjaga menoa, dengan segenap isinya. Tidak ada emas hidup, yang
ada air hidup.”
Selain dilahirkan memiliki kecerdasan natural, Apai Janggut mengasah diri di bidang lingkungan. Meski tinggal nun jauh di hulu sungai Kapuas, perbatasan dengan Malaysia (Badau), ia tidak asing dengan Jakarta.
Penulis pernah berjumpa dengannya, sebagai aktivis Aman Kalbar, di sebuah hotel
berbintang di Jakarta. Dalam sebuah rapat kerja AMAN. Apai bersama my superdad kala itu. Dua orang tua (penulisannya dipisah, the old man) yang sama memiliki dan dianugeragi kejeneniusan natural smart.
Konsepnya ihwal hutan lestari sederhana, tapi sarat makna.
Seperti tertera pada kalimat samping foto-dirinya yang menghiasi dinding
biliknya:
Kami tidak minta lebih
dan tidak mau kurang
selama di hutan masih ditemukan buruan dan obat
di lubuk masih ada ikan
dan di huma masih berpadi
itulah lestari.
Sungai/ Sei Utik sebagai Perguruan Tinggi / Sekolah Alam
Apai Janggut pada suatu malam. Di biliknya yang damai bagai sepotong taman Eden yang jatuh ke bumi.
Lelaki berjanggut sedada menceritakan kepada Bujang Raong tentang proses pembangunan rumah betang. Betang Sei Utik berdiri tegak dan memiliki total 28 ruangan. Beberapa rumah tunggal juga dibangun terpisah dari rumah betang.
Apai Janggut depa biliknya yang tenteram. |
Pembangunan rumah betang dilakukan secara manual, dan jejak-jejak besar tangan-tangan terlihat jelas pada tiang-tiangnya. Apai Janggut mengungkapkan bahwa membawa satu balok belian berukuran 10 x 10 dengan panjang 24 meter dari hutan memerlukan setidaknya empat orang.
Namun, hanya sedikit orang yang memiliki kekuatan untuk melakukannya sendiri, termasuk Apai Janggut yang terkenal dengan kekuatannya. Mengapa demikian? Sebab ini adalah warisan dari kakek Apai yang berasal dari keturunan Keling Kumang dan memiliki pengetahuan yang dalam tentang silsilah keturunan mereka hingga saat ini, sebagai keturunan ketujuh dari Keling.
Baca Apai Janggut Dan Level Kompetensinya Setara Doktor Bidang Lingkungan
Pembangunan Rumah Betang memakan waktu tujuh tahun, mulai dari tahap pengumpulan bahan-bahan awal, sesuai dengan yang diungkapkan oleh Apai. Menurutnya, pembangunan rumah betang saat ini sering kali kurang memperhatikan tradisi, dan banyak yang hanya membangunnya seperti bangunan ruko biasa.
Rumah betang seharusnya tergantung minimal satu meter dari tanah dan tidak boleh bersentuhan langsung dengan tanah. Meskipun banyak anak muda yang senang tinggal di rumah betang, mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk membangunnya dengan benar, dan penting ada pantangan-pantangan yang diikuti.
Salah satu pantangan terpenting bagi tuai rumah adalah larangan mandi dengan menggunakan sabun. Selain itu, air minum harus berasal dari sungai yang belum dimasak, tetap asli dan alami. Ini adalah warisan dari Keling, yang juga pernah menjadi tuai rumah, seperti yang dijelaskan oleh Apai.
Prinsip-prinsip hidup di rumah betang harus selalu dijaga.
Ketika memulai aktivitas baru, penting untuk mencari mimpi terlebih dahulu. Jika mimpi itu baik, maka bisa dilanjutkan, tetapi jika ternyata tidak baik, lebih baik dihentikan.
Hal yang sama berlaku saat membuka ladang, karena kita semua adalah satu keluarga keturunan Keling, dengan satu puyang, satu kakek, satu nenek, dan satu kandang, sehingga perkelahian harus dihindari.
Penting untuk mengelola hutan dan sumber daya alam dengan baik agar tetap lestari, dengan menghindari penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit atau penebangan kayu. Ini adalah warisan yang akan diwariskan kepada anak cucu, dan musyawarah selalu menjadi prioritas.
"Kita semua adalah saudara," papar Apai Janggut.
Dan dalam contoh yang Apai berikan, ketika ada permintaan dari masyarakat kampung Ulak Pauk mengenai tanah sampai batas kampung Sei Utik, mereka setuju untuk memberikan tanah dengan lebar setengah kilometer dan panjang sepanjang batas mereka.
Bahkan jika nasi di piring mereka masih bisa dibagi, mereka akan berbagi, terutama jika semua merasa lapar.
Apai menceritakan semua ini dengan semangat, dan Bujang Raong mendengarkan dengan penuh perhatian. (Rangkaya Bada*)