Profesor William Chang OFM Cap: Kupanggil Dia "Jitmen"
|
Oleh R. Masri Sareb Putra, M.A.
Dia Profesor. Lengkap namanya Willybrordus Jitmen. Namun, kemudian hari dikenal dengan "William Chang". Asalnya dari kota Amoi, Singkawang.
Hobinya makan bubur ikan. Kalau menu siang, sepotong ikan asin sudah lebih dari cukup. Pria yang memilih hidup selibat, dan membujang seumur hidup itu, memang bakatnya dari dulu badannya langsing. Tapi tubuhnya tetap sehat. Mungkin juga karena pengaruh jiwanya yang sehat pula.
Mohon maaf, Prof. Dulu, katanya, "Belajar nulis dari Masri". Namun kini, William tak perlu belajar dari siapa pun. Sebab sudah Prof. Apalagi, pria berkacamata sejak SMA ini salah satu petinggi Keuskupan Agung Pontianak. Memangku jabatan Vicarius Generalis. Orang kedua setelah uskup agung. Bersama Sekretaris Keuskupan, Pastor Barses CP dan Uskup Agung Pontianak, bertiga mereka anggota Kuria Keuskupan.
Ia salah satu pakar Filsafat Pancasila. Ngeri-ngeri sedap saya membaca Daftar Pustaka pada buku hasil konversi disertasinya ini: dari halaman 341-394. Jadi, 53 halaman. Hanya untuk pustaka, yang dibaca, dan dipelajarinya. Untuk kemudian dimamah-biak, menjadi disertasi ini.
Luar biasanya sudah sejak SMA. Jitmen rajin belajar. Sementara kami bermain-main layaknya remaja biasa.
Jitmen akan menangis jika usai guru membagi ulangan mendapat nilai 8. Sebab bukan 9. Ia juga menangis jika mendapat nilai 9, sebab bukan 10. Seakan-akan "sempurna" identik dengannya.
Memang Jitmen pantas jadi profesor! Jika ada gelar akademik (JJA) di atas profesor pun, dirinya masih pantas. Sayang sudah menthok!
William Chang dikenal sebagai sosok ugahari. Seorang yang menghayati satu dari tri-kaul suci Ordonya: kemiskinan. Tentu, "kemiskinan" dalam makna terdalam. Yakni menggunakan atribut, benda, harta duniawi ini secukupnya. Dengan bijak.
Tak mengerankan, jika Jitmen kadang seperti mengenakan kemaja yang itu itu juga. Ia jarang mengenakan sepatu. Alas kakinya sepatu sandal. Itu pun jika mengajar, atau menjadi narasumber resmi.
Meski seorang profesor yang ahli dalam Filsafat Pancasila, penyuka olahraga basket ini rendah hati. Berbeda dengan rendah diri.
Gaya bicaranya kalem. Perlahan. Namun, bernas. Dan terang benderang gagasan yang disampaikannya, dengan kata yang sederhana. Kadang dengan metafora.
Menjawab pertanyaan kita, kadang dengan pertanyaan pula.
Pabila kita sedang bicara, William tak pernah memotong. Ia dengan sabar mendengarkan. Hingga bicara kita selesai.
Ia contoh hidup ilmuwan yang menerapkan "lmu padi". Gagasannya yang luar biasa, senantiasa meluap bagai bagai air bah. Maka ia tuangkan dalam tulisan. Buah pikiran, dan renungannya, tercecer di Kompas. Dia tak sembarang mengirimkan artikel ke media.
Buku yang merupakan konversi dari disertasi doktoralnya di Ialia, menarik perhatian. Bukunya berjudul The Dignity of the Person in Pancasila and the Church’s Social Doctrine: An Ethical Comparative Study. Tadinya merupakan disertasinya di Universitas Kepausan, Roma.
Buku ini diterbitkan oleh The Cleretian Publications di Manila, Filipina, pada tahun 1997, dengan total 394 halaman.Keistimewaan buku ini terletak pada perbandingan mendalam, Masuk ke deep structure, mengantara nilai-nilai dan filosofi Pancasila dengan Ajaran Sosial Gereja Katolik.
Kemampuan abstraksi tingkat tinggi dan kemampuan untuk membandingkan ini menjadikan studi ini sebagai sumbangan berharga bagi bangsa Indonesia dan Gereja di Indonesia. Terutama di bagian akhir buku, penulis menyajikan daftar buku-buku terkait dengan topik Pancasila yang berkisar dari masa kemerdekaan hingga saat riset ini dilakukan.
William Chang, saat ini seorang profesor di bidang Filsafat Moral, tinggal di Pontianak, dan mengajar di salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota tersebut. Perjalanannya dalam dunia akademis, dari penulisan disertasinya hingga menjadi seorang profesor, adalah bukti nyata dari dedikasinya dalam penelitian dan pendidikan.
Jitmen, demikian teman-teman akrab menyapanya, adalah contoh nyata tentang bagaimana seseorang dapat mencapai kesuksesan akademis sambil tetap berpegang pada nilai-nilai spiritual dan kesederhanaan.
Sang profesor menjalani proses metodologi dengan benar dan berdedikasi dalam menjalani pekerjaan akademisnya dengan penuh integritas. Bandingkan dengan era sekarang, di mana akses terhadap data dan informasi sangat mudah melalui Google dan sumber-sumber terbuka lainnya, serta penggunaan kecerdasan buatan (AI).
Penghargaan tinggi seharusnya diberikan kepada peneliti dan penulis zaman dahulu yang telah melakukan upaya besar dalam pekerjaan akademis mereka tanpa dukungan alat dan teknologi modern. Kemampuan intelektual alami benar-benar tercermin dalam usaha mereka.
William Chang juga dikenal sebagai penulis artikel ilmiah yang produktif, dengan sebagian besar karya-karyanya diterbitkan di harian Kompas. Kompilasi artikel-artikel ini kemudian disusun per topik menjadi buku berjudul "Moral Nexus." Lebih lanjut tentang karya-karyanya dapat dilihat di sini Google.
Keistimewaan buku ini juga tercermin dalam daftar referensi yang mengesankan, mencakup hampir seribu sumber acuan. Ini adalah bukti konkret dari kedalaman penelitian yang dilakukan oleh penulis, serta keterlibatannya yang mendalam dan komitmen dalam memahami topik tersebut. Daftar Pustaka yang mencakup 53 halaman (hal. 341-394) menunjukkan usaha besar penulis dalam menggali informasi, memperkuat keandalan kontennya, serta memberikan landasan kuat bagi pernyataan yang dibuat dalam buku ini.
Meskipun telah mencapai prestasi akademis yang luar biasa dan menjadi seorang pemikir yang dihormati dalam bidang Filsafat Moral, Profesor William Chang tetap rendah hati dan sederhana dalam kehidupannya sehari-hari. Ia mementingkan nilai-nilai kehidupan yang mendasar daripada materi. Penampilannya yang sederhana mencerminkan komitmennya pada kehidupan yang sederhana, mengutamakan martabat manusia di atas segalanya.
Sifat sederhana dan kesalehan hidupnya terinspirasi oleh teladan St. Fransiskus Asisi, pendiri Ordo Kapusin, yang menjadi sumber inspirasi dalam hidupnya. Seperti St. Fransiskus, Chang juga mengikuti prinsip-prinsip ketaatan dan kemurnian, dan ia mengambil contoh dari kesederhanaan yang dijalani oleh saudara-saudara Fransiskan.
Dalam praktiknya, sang profesor tidak hanya mengajarkan nilai-nilai intelektual. Namun, ia juga menjalani dan mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan sehari-hari.
Kesederhanaan dan kesalehan hidupnya memberikan inspirasi bagi orang lain. Ia saksi hidup bahwa prestasi dan kepemilikan materi bukanlah tujuan utama dalam hidup.
Jitmen, demikian teman-teman akrab memanggilnya, adalah contoh nyata. Tentang bagaimana seseorang dapat mencapai kesuksesan akademis.
Sembari tetap berpegang pada nilai-nilai spiritual. Dan menghayati nilai dari kesederhanaan.*)