Karet dan Pilunya Lagu Pilo "Krisis Global" : Selamat Tinggal Karet Rakyat (1)
|
Ini kata-kata dari penggalan lagu pop Dayak Bidayuhik menarik itu. Dengan rentak warna musik rakyat setempat, kondan:
motokng gotah mae tontu roga
korija koyuh odu' langetn onya
nyen nasib midop bi ompu' bonua..................
Lagu top hits di kalangan warga Sanggau mencerminkan ketidakpastian dan perubahan yang terjadi dalam industri karet.
Folksong kreatif ini menekankan bahwa masyarakat yang bergantung pada karet sebagai sumber mata pencaharian mereka harus menghadapi tantangan yang semakin tidak terduga dan sulit diperkirakan.
Harga karet yang fluktuatif dan tidak stabil membuat sulit untuk mengandalkannya sebagai sumber pendapatan yang konsisten.
Dalam konteks lagu tersebut, Pilo menggambarkan bagaimana perubahan dalam harga karet telah mengganggu kehidupan masyarakat yang bergantung padanya, dan mereka mungkin terpaksa mencari alternatif lain untuk mencari nafkah. Hal ini mencerminkan realitas yang dihadapi oleh banyak komunitas yang bergantung pada komoditas pertanian atau perkebunan yang harganya dipengaruhi oleh pasar global yang berfluktuasi.
Peran karet dalam sejarah masyarakat Dayak, tidak diragukan dalam sejarah. Banyak pejabat Dayak yang berada di puncak saat ini, dahulu disekolahkan dan dikuliahkan orangtua dengan karet.
Namun, seiring "krisis global Pilo", karet semakin merosot. Dampak penurunan harga karet, dan fluktuasi harga yang memengaruhi mata pencaharian mereka. Perubahan dalam ekonomi karet telah memaksa mereka untuk mencari alternatif dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Era SBY Presiden Republik Indonesia (2004-2014), karet tembus di atas Rp 20.000 per kilogram. Hal ini berdampak positif terutama bagi para petani karet atau rakyat akar rumput, yang merasa makmur dan sejahtera berkat lonjakan harga tersebut.
Dalam sejarah, karet telah memainkan peran penting dalam "menyelamatkan" orang Dayak dari kondisi paceklik.
Karet memiliki sifat ekonomi yang sangat menguntungkan pada masanya, yaitu bisa dipanen pagi hari dan dijual pada siang hari dalam bentuk karet basah.
Hasil dari nyadap karet memungkinkan orang Dayak untuk memperoleh pendapatan yang relatif stabil dan menghindarkan mereka dari keterdesakan makanan dan minuman pada hari itu. Dengan kata lain, karet memberikan jalan keluar ekonomi bagi masyarakat Dayak untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden Republik Indonesia (2004-2014), harga karet mengalami kenaikan yang signifikan. Boleh dikatakan era ini karet mencatatkan diri sebagai rajanya segala komoditas di Indonesia.
Era SBY karet tembus di atas Rp 20.000 per kilogram. Hal ini berdampak positif terutama bagi para petani karet atau rakyat akar rumput, yang merasa makmur dan sejahtera berkat lonjakan harga tersebut.
Peningkatan harga karet selama masa pemerintahan SBY bisa diartikan sebagai hasil dari berbagai faktor ekonomi, termasuk permintaan global yang tinggi untuk karet, khususnya dari sektor otomotif dan industri lainnya.
Peningkatan harga karet juga bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor domestik seperti regulasi pemerintah terkait dengan ekspor dan produksi karet.
Selain itu, ketika SBY sering terlihat berada di kebun karet milik petani dengan gaya menyadap karet, hal ini mungkin memiliki pesan politik di baliknya. Namun, setelah era ini, karet terjun bebas. Tidak menarik lagi sebagai sumber pendapatan utama.
Orang Dayak semakin sedikit terlibat dalam produksi karet. Kini mereka mulai beralih ke tanaman-tanaman lain yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi, seperti sawit, kakao, lada, kopi, dan lain sebagainya. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat Dayak harus mencari alternatif mata pencaharian karena karet tidak lagi memberikan pendapatan yang memadai.
Harga karet cenderung fluktuatif, kadang tinggi dan kadang rendah. Meskipun fluktuasi ini terjadi, harga karet umumnya berkisar antara Rp5.000,00 hingga Rp7.000,00 per kilogram.
Hanya saja, seperti kata Pilo, harga karet tidak sebanding dengan harga beras. Tidak sebanding dengan investasi, tenaga, dan usaha yang dikeluarkan untuk mendapatkannya!
Keluarga yang terlibat dalam produksi karet dapat menghasilkan pendapatan harian yang bervariasi, tergantung pada luas tanaman dan jumlah karet yang mereka panen. Keluarga tersebut dapat menghasilkan antara 5 hingga 20 kilogram karet per hari, yang kemudian dapat dijual dengan harga tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kini karet semakin langka. Banyak yang mulai ditebang. Tumbang bersamaan, digantikan tanaman lain.
Dan lagu Pilo ini mengabadikan masa lampau. (bersambung*)