Gua Niah di Sarawak : Gnōthi Seauton!
|
Dekat bukit Parnassos, Yunani. Ada sebuah kuil. Pada pronaos (depan pintu gerbang) Kuil Apollo di Delphi, itu. Dahulu kala tertulis “gnōthi seauton”.
Apa arti ‘"ahasa dewa”, Yunani, itu? Artinya : kenalilah dirimu sendiri! Frasa ini memiliki makna mendalam dan telah digunakan oleh berbagai pemikir tingkat dewa sepanjang sejarah, termasuk Aeschylus, Socrates, Plato, Sarah Ida Shaw, dan Elanor Dorcas Pond.
Mengenal diri sendiri dalam konteks ini berarti memahami asal-usul kita, terutama dalam hal silsilah, klan, etnisitas, bahasa, budaya, dan situs. Kurangnya pemahaman tentang asal-usul ini dapat menyebabkan hilangnya identitas etnis seseorang.
Sanggau News akan memuat tulisan tentang asal usul manusia penghuni Borneo dengan merujuk pada teori penelitian sejarah dan didukung oleh bukti-bukti seperti keramikologi, inskripsi, mitologi, artefak, dan uji karbon.
SANGGAU NEWS : Gua Niah. Pernahkah Anda mendengarnya? Sebuah situs bersejarah yang terletak di wilayah Miri, Sarawak, memiliki arti yang mendalam dalam sejarah dan budaya Sarawak.
Niah bukan hanya sekadar objek wisata, tetapi juga merupakan saksi bisu perjalanan manusia selama ribuan tahun. Mari kita menjelajahi keajaiban dan kekayaan sejarah yang terkandung dalam Gua Niah.
Gua Niah adalah tempat dimulainya sejarah Sarawak. Setidaknya dalam catatan tertulis, sekitar 40.000 tahun yang lalu.
Pada masa ini, manusia prasejarah yang dikenal sebagai "Manusia Niah" tinggal di wilayah ini. Mereka merupakan bagian dari kelompok Homo sapiens yang berkeliaran di benua Sundaland yang sekarang telah tenggelam di bawah permukaan laut.
Gua-gua Niah terletak di perbukitan Gunung Subis, sekitar 16 km dari Laut China Selatan. Pada periode Pleistosen atas dan Holosen awal, laut belum mencapai wilayah ini.
Sedemikian rupa, sehingga "Manusia Niah" dapat dengan bebas bergerak dari Sumatera atau Malaya ke sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang sekarang menjadi pulau-pulau.
Namun, sekitar 12.000 tahun yang lalu, perubahan iklim menyebabkan beberapa es kutub mencair dan permukaan laut naik, membentuk peta geografis yang lebih mirip dengan yang kita kenal sekarang.
Gua Niah bukan sekadar satu gua, melainkan kompleks gua yang mencakup banyak gua dengan nama-nama seperti 'Gua Terbakar', 'Gua Guano Kelelawar', dan 'Gua Tulang' yang merujuk pada peristiwa yang pernah terjadi di dalamnya atau barang-barang yang ditemukan di sana.
Pada abad ke-19, gua ini tidak diperhatikan dengan baik oleh penjelajah karena sebagian besar rahasia gua ini masih tersembunyi.
Namun, pada tahun 1957, Museum Sarawak mulai menyelidiki Gua Niah dan menemukan banyak temuan yang menakjubkan.
Selain lapisan-lapisan pemukiman manusia prasejarah, mereka menemukan tengkorak "Manusia Niah" di Mulut Barat Gua Besar. Tengkorak ini memiliki afinitas morfologis dengan penduduk Tasmania saat ini, yang tidak ada lagi di wilayah tersebut. Kelompok "Manusia Niah" tampaknya bermigrasi ke selatan sementara suku lain masuk ke Borneo.
Kejutan Penelitian Terbaru
Penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa "Manusia Niah" kemungkinan besar adalah perempuan. Sejak tahun 2014, penyebutan yang benar untuk leluhur terhormat ini adalah "Wanita Niah" atau, dalam rangka politik yang benar, "Orang Niah!" Keberhasilan penelitian ini mengubah pemahaman tentang sejarah awal manusia di wilayah ini.
Terima kasih bagi jasa Museum Sarawakk untuk meneletiti / uji Karbon Gua Niah. |
Selama berabad-abad, Gua Niah terkenal sebagai gua sarang burung. Sarang burung swiftlet yang dibersihkan dan dimasak dalam sup adalah hidangan istimewa dalam masakan Tionghoa tradisional.
Menurut salah satu legenda Iban yang terkenal, Gua Niah adalah tempat di mana Gunung Subis dulunya adalah rumah panjang, tetapi berubah menjadi batu setelah penghuninya melanggar hukum adat. Kisah ini telah disebarkan secara turun temurun dan menjadi bagian penting dari warisan budaya orang Iban. Menurut kepada teori etno-linguistik, siapa yang mewarisi tanah, adat, budaya suatu lokus; dialah pemangku warisan leluhurnya.
Dalam pengumpulan sarang burung ini, para pemanjat yang berani naik tiang bambu tipis yang rapuh untuk "mengumpulkan" sarang yang berharga. Akses ke Gua Niah sangat sulit dan berbahaya sebelum Departemen Taman Nasional membangun jalan kayu.
Selama musim pemungutan sarang burung, pemungut dan pembeli sarang burung biasanya berkemah di dalam gua terbuka yang dikenal sebagai "gua pedagang."
Beberapa pedagang makanan juga mendapat bisnis yang baik dengan menjual barang-barang penting dengan mata uang unik berupa sarang burung.
Saat ini, untuk melindungi burung swiftlet, para pengusaha cerdik membangun "rumah burung" khusus yang memungkinkan pemungutan sarang burung dengan risiko yang lebih rendah.
Gua Niah juga menyimpan kekayaan seni prasejarah. Gua Berhias adalah situs yang terpisah dari Gua Besar dan menjadi tempat peristirahatan abadi bagi peti mati kuno.
Di gua Niah terdapat relief hematit sepanjang 50 meter yang menggambarkan adegan manusia menari, mungkin berburu, serta gambaran kapal dengan banyak pendayung, mungkin "kapal orang mati" yang membawa jiwa yang meninggal ke dunia bawah. Seni ini menjadi misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan, dan pertanyaan tentang siapa yang membuatnya, kapan, dan untuk tujuan apa, tetap menggantung.
Penemuan alat batu dari Paleolitikum hingga Neolitikum di Gua Niah mengungkapkan keahlian manusia prasejarah dalam pembuatan alat seperti bilah flint, alu, kapak, dan banyak lagi. Selain itu, Gua Niah juga menyimpan contoh keramik kuno yang menunjukkan perkembangan dari wadah-wadah Neolitikum sederhana hingga barang hias yang dihiasi.
Gua Niah mengungkapkan sejumlah besar perhiasan pribadi yang ditemukan di situs pemakaman. Beberapa di antaranya termasuk manik-manik tulang, liontin, pemisah manik, dan jarum yang berasal dari zaman batu awal. Beberapa perhiasan ini juga menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan India dan Tiongkok yang dimulai pada abad ke-8 atau ke-9 Masehi.
Situs pemakaman Gua Niah juga memberikan wawasan tentang produksi tekstil pada masa kuno. Beberapa contoh 'anyaman' seperti tikar dan keranjang telah ditemukan, memberikan gambaran tentang teknik pembuatan tekstil pada masa itu. Tikar pandan yang digunakan untuk melingkupi jenazah telah hancur, tetapi jejak matting tersebut tertanam dalam tanah liat dan dilestarikan selama hampir 2000 tahun.
Legenda dan Tradisi Lokal
Seperti banyak gua di Sarawak, Gua Niah memiliki berbagai legenda rakyat yang terkait dengannya. Salah satu legenda yang paling terkenal adalah kisah tentang bagaimana Gunung Subis dulunya adalah rumah panjang yang berubah menjadi batu setelah penghuninya melanggar hukum adat. Cerita ini menjelaskan keberadaan orang-orang yang tinggal di sekitar gua.
Beberapa tradisi Niah kuno masih diamati hingga saat ini. Pengunjung ke Gua Berhias sering mengambil segenggam air dari mata air di lantai gua untuk mencuci wajah mereka. Beberapa juga memberikan persembahan berupa koin di area tempat dulunya terdapat peti mati "kapal kematian." Selain itu, tradisi melarang berteriak dan membuat suara keras di dalam gua, tidak membawa makanan dengan bau kuat seperti pasta udang belachan, dan bahkan adanya keyakinan bahwa gua "ingin mencicipi darah" sesekali setiap musim.
Gua Niah adalah tempat yang memukau dengan warisan sejarah dan alaminya yang tak ternilai. Seiring dengan penelitian yang terus berlanjut, tempat ini masih menyimpan banyak misteri yang menunggu untuk dipecahkan dan kisah-kisah yang belum terungkap sepenuhnya tentang perjalanan manusia di masa lalu. Sebagai salah satu situs bersejarah terpenting di Sarawak, Gua Niah akan terus mempesona pengunjung dari seluruh dunia yang datang untuk mengeksplorasi dan menghormati warisan yang luar biasa ini.
Gua Niah dalam Kehidupan Orang Iban
Penduduk yang saat ini menghuni Gua Niah dan daerah sekitarnya adalah orang Iban, salah satu kelompok etnis yang mendiami wilayah Sarawak.
Etnis Iban, juga dikenal sebagai Dayak Iban, memiliki sejarah dan budaya yang kaya, dan mereka telah lama mengakui Gua Niah sebagai bagian integral dari identitas dan warisan mereka.
Orang Iban adalah kelompok etnis Dayak yang berasal dari Kalimantan (sebagian besar dari wilayah Indonesia) dan bermigrasi ke wilayah Sarawak, Malaysia, pada abad ke-16 hingga abad ke-18. Mereka adalah kelompok etnis terbesar di Sarawak dan dikenal dengan budaya yang kaya, termasuk adat istiadat, seni, musik, dan tarian tradisional mereka.
Pentingnya Gua Niah dalam sejarah dan budaya orang Iban terletak pada hubungannya dengan legenda dan cerita rakyat mereka. Sebagian besar gua di Sarawak memiliki cerita rakyat yang melekat pada mereka, dan Gua Niah bukan pengecualian.
Menurut salah satu legenda Iban yang terkenal, Gua Niah adalah tempat di mana Gunung Subis dulunya adalah rumah panjang, tetapi berubah menjadi batu setelah penghuninya melanggar hukum adat. Kisah ini telah disebarkan secara turun temurun dan menjadi bagian penting dari warisan budaya orang Iban.
Bahasa Iban adalah bahasa utama yang digunakan oleh orang Iban. Ini adalah bahasa Austronesia yang memiliki akar yang dalam dalam budaya mereka. Bahasa ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga pengikat identitas dan warisan budaya orang Iban.
Sat ini, orang Iban yang tinggal di sekitar Gua Niah dan wilayah sekitarnya tetap mempertahankan tradisi budaya mereka, termasuk bahasa Iban, dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka sering menggunakan bahasa Iban untuk berkomunikasi dalam keluarga, dengan sesama orang Iban, dan dalam berbagai upacara adat.
Bahasa ini adalah bagian vital dari warisan budaya orang Iban dan merupakan sarana untuk mentransmisikan cerita rakyat, lagu, dan pengetahuan tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Selama berabad-abad, Gua Niah juga telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari orang Iban yang tinggal di sekitarnya. Mereka telah menggunakan gua ini sebagai tempat perlindungan dari cuaca buruk atau sebagai tempat berteduh ketika diperlukan. Tradisi menghormati dan merawat gua ini juga terus berlanjut, karena Gua Niah masih memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam bagi orang Iban.
Gua Niah juga memiliki nilai penting dalam upacara adat orang Iban. Beberapa upacara seperti perayaan Gawai Dayak, yang merupakan festival panen dan perayaan musim semi orang Iban, mungkin melibatkan kunjungan ke Gua Niah atau lokasi lain yang dianggap sakral dalam tradisi mereka.
Gua Niah bukan hanya merupakan warisan arkeologis dan sejarah yang penting, tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas dan budaya orang Iban yang tinggal di sekitarnya.
Melalui bahasa, tradisi, dan cerita rakyat mereka, orang Iban terus menjaga hubungan khusus mereka dengan Gua Niah, menjadikannya salah satu situs bersejarah yang penuh makna di Sarawak. (Rangkaya Bada)