Boni, Waktu Tuhan Yang Terbaik
Cerpen: RANGKAYA BADA
Seorang perokok berat. Yang enggan menerima fakta. Bahwa merokok membawa risiko jangka panjang.
Meskipun istrinya telah memperingatkannya berkali-kali tentang bahaya merokok. Ia tetap teguh pada kebiasaannya.
Boni merasa masih kuat dan sehat. Sehingga ia menolak mendengarkan argumen tentang dampak buruk merokok secara lambat laun. Sempat berhenti merokok. Namun, karena pergaulan dan kerja, Boni meneruskan kebiasaan mengisap barang kenikmatan yang sebenarnya telah diperingatkan dengan jelas bahayanya: bisa kanker!
Boni memiliki dua anak. Seorang putra yang telah dewasa dan seorang putri yang lebih muda. Sang putri, yang lebih muda, menunggu hari H untuk menikah. Semuanya bersiap untuk pernikahan yang ditunggu-tunggu.
Namun, seminggu sebelum pernikahan tersebut, Boni mulai mengalami batuk yang berlarut-larut. Bahkan, dahak yang ia keluarkan berisi darah, memicu kekhawatiran.
Keluarganya mencurigai ada sesuatu yang tidak beres dan meminta Boni untuk memeriksakan paru-parunya. Dengan tekad, ia menjalani pemeriksaan tersebut. Hasil citi scan yang ia terima mengejutkannya: kanker ganas telah menyerang paru-parunya.
Saat itulah, perasaan cemas dan ketakutan melanda Boni. Ia merasa sedih bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Bagaimana mungkin ia akan melewatkan pernikahan putrinya yang begitu ia nantikan? Namun, kondisinya yang semakin memburuk membuatnya tidak dapat meninggalkan rumah sakit.
Walaupun ia tidak dapat hadir secara fisik, Boni tetap ingin menyaksikan pernikahan sang putri. Ia mengikuti upacara itu melalui video call dari tempat tidurnya di rumah sakit. Dalam keadaan yang penuh emosi, ia melihat putrinya dengan penuh kebanggaan saat memasuki babak baru dalam hidupnya.
Peristiwa tersebut memunculkan semangat baru dalam diri Boni. Ia merasa harus bertahan agar bisa melihat cucu pertamanya. Ia ingin merasakan kebahagiaan menjadi kakek dan memberikan cinta serta kasih sayang untuk generasi penerus keluarganya.
Setelah beberapa minggu berada di rumah sakit, Boni akhirnya pulang ke kampung halamannya. Alih-alih merasa pasrah, ia mengambil keputusan yang berani. Ia pergi ke hutan dan membangun pondok kecil untuk menjalani hidup yang lebih sehat. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia merasa semakin segar dan bersemangat setiap harinya.
Beberapa bulan berlalu, dan akhirnya kabar bahagia datang. Cucu pertamanya telah lahir ke dunia. Boni merasa bahagia bukan hanya karena kehadiran sang cucu, tetapi juga karena ia merasa badannya semakin segar dan sehat.
Tak percaya dengan perubahan kondisinya, Boni memutuskan untuk memeriksakan paru-parunya kembali. Hasil pemeriksaan mengejutkan: paru-parunya bersih tanpa jejak kanker. Semua orang terkejut dan bersyukur atas kesembuhannya yang tak terduga.
Boni menyadari bahwa ia telah diberi kesempatan kedua untuk menjalani hidup yang lebih baik. Ia bersyukur dan berjanji untuk menghargai setiap detik yang diberikan kepadanya.
Dengan semangat baru, ia bersiap untuk menikmati peran barunya sebagai kakek yang penuh kasih untuk sang cucu, dan juga sebagai contoh yang baik bagi keluarganya tentang betapa berharganya kesehatan dan kehidupan.
Boni terus menikmati hidupnya di pondok kecil di tengah hutan. Setiap pagi, ia bangun dengan semangat dan berolahraga ringan di sekitar lingkungan pondok. Udara segar hutan, jauh dari polusi rokok yang selama ini ia hirup, membuatnya merasa semakin sehat.
Hari itu, di teras pondok, Boni menghirup udara pagi sambil menikmati secangkir teh hangat. Dia merasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan kepadanya untuk menyaksikan kelahiran cucunya dan bertahan melawan kanker. Namun, ada rasa sedih yang masih menghantui pikirannya. Dia merindukan keluarganya yang tidak bersamanya di pondok.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul dalam pikirannya. Ia mengambil ponselnya dan mencari nomor telepon putrinya. Setelah beberapa nada, akhirnya sambungan terhubung.
"Hallo, Mang. Onih agah?" suara putrinya terdengar hangat di seberang sana. (Mang bahasa Jangkang berarti: ayah)
"Hai, sayang," jawab Boni dengan suara sumringah. "Apa kabar?"
"Aku baik, Mang. Bagaimana kabar Ayah?" tanya putrinya khawatir.
Boni tersenyum mendengar kepedulian putrinya. "Ayah baik-baik saja, Nak. Ayah merasa lebih sehat di sini."
"Omang, apakah sendirian?"
"Tidak, Nak. Di sini ada beberapa teman yang baik. Mereka membantu Ayah menjalani hari-hari di hutan."
Putrinya terdiam sejenak, "Maafkan aku, Mang. Aku ingin Ayah kembali bersama kami. Aku merindukan Ayah."
Boni merasa haru. Dia merindukan putrinya dan keluarganya juga. Namun, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa hidup tanpa merokok dan menghabiskan waktu berkualitas bersama cucunya. "Aku juga merindukan kalian, Nak. Tapi Ayah ingin membuktikan sesuatu padamu."
"Apa itu, Mang?"
"Ayah ingin membuktikan bahwa dia bisa menjadi kakek yang baik untuk cucumu. Ayah tidak ingin merokok lagi dan ingin menikmati setiap momen bersama cucu."
Putrinya terdiam. Kemudian berkata dengan suara haru, "Aku percaya pada Omang. Aku tahu kamu pasti bisa melakukannya. Tapi, tolong kamu jangan menyendiri di sana. Kamu harus selalu menjaga kesehatanmu."
Boni tersenyum mendengar dukungan putrinya, "Terima kasih, Nak. Ayah akan tetap menjaga kesehatan dan akan selalu mendukungmu dari sini."
Percakapan tersebut membuat Boni semakin kuat untuk melawan godaan rokok. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan kembali merokok. Hanya demi cucu kesayangannya dan keluarganya.
Hari-hari berlalu. Dan kehidupan di pondok semakin membahagiakan. Boni menemukan kedamaian yang ia cari selama ini. Ia menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan di hutan, bercocok tanam di kebun kecilnya, dan menyusun cerita-cerita untuk cucunya.
Setiap kali cucunya berkunjung. Senyum mengembang lebar terukir di wajah Boni. Ia merasa begitu bahagia bisa mendekap cucu kesayangannya. Mengajarinya tentang alam, dan menceritakan petualangan di hutan. Cucunya pun menyukai setiap cerita yang diceritakan oleh kakeknya.
Sementara itu, kabar tentang perubahan hidup Boni menyebar ke telinga keluarga dan teman-temannya. Mereka merasa kagum dengan tekadnya untuk berhenti merokok dan menjalani hidup yang lebih sehat. Beberapa teman lamanya bahkan datang berkunjung ke pondok untuk melihat sendiri perubahan yang dialami oleh Boni.
Suatu sore, ketika Boni duduk di teras pondok, ia mendengar suara langkah kaki di balik semak-semak. Dia memanggil, "Siapa di sana?"
Tiba-tiba, seorang pria muncul dari balik semak-semak. Wajahnya terlihat familiar bagi Boni. "Boni, apakah benar itu kau?"
Boni tercengang melihat pria itu. "Langkui? Apa kabar, teman lama?"
Langkui adalah sahabat Boni semasa kecil, yang juga adalah seorang perokok berat. Mereka berdua dulu sering merokok bersama. Tapi, setelah lama tidak bertemu, Boni terkejut melihat Langkui yang tampak sehat dan bersemangat.
"Kabar baik, Boni. Aku mendengar kabarmu dari teman-teman lama kita," ujar Langkui sambil tersenyum.
Boni bingung, "Apa yang kau maksud kabar dari teman-teman kita?"
Langkui mengangguk, "Mereka bilang kau sudah berhenti merokok dan hidup di pondok ini."
Di kebun ladanya sepagi yang agak mendung itu. Tiba-tiba saja, Boni merasa tidak enak badan. Usai batuk, ia merasa ketika akan dimuntahkan, ada yang rasanya sedikit asin. Setelah keluar, warnanya merah. Pertanda apakah ini gerangan yang dikirimkan Tuhan?
Boni tersenyum bangga, "Ya, aku memang sudah berhenti merokok, dan hidup di sini memberikan aku kedamaian yang selama ini aku cari."
Langkui mengangguk mengerti, "Aku senang mendengarnya. Aku datang kesini karena aku ingin berhenti merokok juga, Boni."
Boni terkejut mendengar pengakuan itu, "Benarkah, Langkui? Aku yakin kau pasti bisa!"
Langkui mengambil sebatang rokok dari kantongnya. Lalu menghancurkannya dengan tangan.
"Ini yang terakhir kali aku merokok, Boni. Aku ingin hidup sehat seperti kau."
Boni tersenyum bahagia melihat perubahan positif yang dialami oleh Langkui, teman lamanya. Mereka berdua duduk di teras pondok. Bercerita tentang perjalanan hidup masing-masing. Berkomitmen untuk saling mendukung dalam upaya mereka untuk hidup sehat dan bahagia.
***
PAGI itu.
Matahari yang biasanya bersinar cerah di timur tidak muncul seperti biasa. Boni, seorang pria yang kuat dan gigih, telah berada di kebun ladanya. Ia telah bekerja dengan penuh semangat dan dedikasi, merawat tanaman-tanamannya dengan penuh cinta.
Kebun lada dan pondok Boni melepas dahaga ketika penat bekerja. |
Tiba-tiba saja, Boni merasa tidak enak badan. Usai batuk, ia merasa ketika akan dimuntahkan, ada yang rasanya sedikit asin. Setelah keluar, warnanya merah. Pertanda apakah ini gerangan yang dikirimkan Tuhan?
Namun, Boni tidak membiarkan pikiran negatif menguasainya. Ia menyembunyikan kekhawatiran itu dalam hatinya, seperti seorang pahlawan yang menyimpan beban berat sendiri. Ia tahu bahwa suatu saat nanti, ia harus berhadapan dengan kenyataan yang tak terhindarkan.
Suatu hari, saat sang ayah yang sudah berusia 87 tahun dipanggil oleh Tuhan, Boni merasa kehilangan yang mendalam. Rasa schock melandanya.
Kepergian sang ayah telah menggoncang jiwanya tanpa ampun. Boni merasa begitu lemah, hingga akhirnya ia harus dirawat di rumah sakit. Setelah pemeriksaan oleh dokter, terungkap bahwa ia menderita TBC.
Sementara Boni berjuang untuk pulih di rumah sakit, putrinya telah menentukan tanggal pernikahannya. Meskipun ia sangat ingin hadir dalam momen istimewa putrinya, ia harus mengalahkan penyakit yang menggerogotinya.
Dengan hati berat, Boni berkata pada keluarganya, "Kalian lanjut saja dengan pernikahan. Biarkan saya berjuang di sini, di rumah sakit." Suara Boni tercekat. Makin dalam rasanya menarik setiap napas. Namun, tak mau ditampakkan bahwa sebenarnya ia tersengal.
Boni meminta abangnya untuk mewakilinya sebagai ayah bagi sang putri yang tampil begitu anggun pada hari pernikahannya.
Di gereja, saat Misa pernikahan berlangsung. Air mata keharuan mengalir di mata semua yang hadir. Saat mereka menyaksikan Violeta, putrinya, berjanji setia dalam pernikahannya, tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Empat bulan menjalani perawatan yang melelahkan, kondisi fisik Boni semakin merosot. Akhirnya, ia dibawa ke rumah sakit Kuching, Sarawak. Meskipun para dokter telah berusaha sekuat tenaga, mereka akhirnya mengangkat tangan, tak mampu lagi menyelamatkannya. Boni dipulangkan ke rumah.
Tanpa ingin merepotkan istri, anak-anak, saudara, atau handai taulan, Boni memutuskan untuk menghadapi akhir hidupnya dengan tenang. Di subuh yang cerah, pada tanggal 17 Agustus, Boni mengembuskan napas terakhirnya.
Selamat jalan, Boni! Kau adalah sosok yang baik hati dan penuh pengorbanan. Tuhan memanggilmu lebih awal. Karena waktu Tuhan adalah yang terbaik.*)
Karawaci, Tangerang 1 September 2023
Ditulis untuk mengenang adindaku tercinta: Bonifasius Lijun. Based on true story.