Etnis Tionghoa Di Sanggau : Bagian 2 Dari 10 Tulisan
Vihara Sanggau dalam konfigurasi rupa bumi Sanggau ratusan tahun lalu. |
138 tahun yang lalu.
Sebuah Vihara mulai berdiri di Sanggau. Vihara ini memiliki nilai yang mengagumkan dalam sejarah dan bentuk fisiknya. Lukisan atau gambaran visual tentang bentuk bumi tempat Vihara ini berdiri juga dijelaskan.
Baca Kamponk Tionghoa Di Sanggau
Pada saat itu, Vihara ini menghadap tepian Sungai Kapuas, salah satu sungai terbesar di wilayah tersebut. Konfigurasi ini memberikan gambaran tentang hubungan Vihara dengan aliran sungai yang penting dalam kehidupan masyarakat.
Vihara yang berdiri di tepi Sungai Kapuas ini terletak di Jalan Kartini, yang merupakan pusat kota Sanggau. Dengan kata lain, Vihara ini terletak di jantung kota, sehingga memiliki peran penting dalam kehidupan dan budaya kota tersebut. Sebagai bagian dari perkembangan kota, Vihara Tridharma memiliki posisi yang strategis. Seiring waktu, Vihara ini telah mengalami transformasi fisik dan perubahan dalam tata letaknya di tengah perkembangan landskap Sanggau.
Sepanjang Jalan Kartini, Sanggau adalah basis warga Tionghoa yang telah diakui sejak zaman dahulu kala. Kehadiran komunitas Tionghoa di daerah ini telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam membentuk keragaman budaya dan sejarah kota. Melalui generasi-generasi, warga Tionghoa telah memainkan peran penting dalam membangun jalinan sosial, ekonomi, dan budaya di daerah ini.
Jika kita merangkum, narasi ini menggambarkan Vihara Tridharma di Sanggau sebagai tempat suci dengan sejarah panjang selama 138 tahun. Vihara ini awalnya berdiri di tepian Sungai Kapuas, yang memberikan nilai historis dan estetis.
Dengan posisinya di Jalan Kartini, Vihara ini menjadi bagian integral dari keseharian dan perkembangan kota Sanggau. Transformasi Vihara dari masa lampau hingga masa kini mencerminkan perubahan dalam konfigurasi dan tata letak, sejalan dengan perkembangan landskap kota.
Basis komunitas Tionghoa
Sepanjang Jalan Kartini, Sanggau adalah basis Warga Tionghoa yang telah diakui sejak zaman dahulu kala. Kehadiran komunitas Tionghoa di daerah ini telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam membentuk keragaman budaya dan sejarah kota. Melalui generasi-generasi, warga Tionghoa telah memainkan peran penting dalam membangun jalinan sosial, ekonomi, dan budaya di daerah ini.
Sejak zaman dahulu, Jalan Kartini telah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang komunitas Tionghoa di Sanggau. Warisan budaya mereka tercermin dalam arsitektur, kuliner, dan tradisi yang ada di sekitar jalan ini. Bangunan-bangunan bersejarah dengan ciri khas arsitektur Tionghoa masih berdiri tegak, mengingatkan kita akan akar budaya yang kuat dan keberlanjutan warisan ini.
Komunitas Tionghoa di Sanggau juga telah memberi kontribusi yang berharga dalam bidang perdagangan dan ekonomi. Sebagai pusat aktivitas komersial, Jalan Kartini menjadi pusat perniagaan yang penting bagi komunitas ini. Usaha-usaha seperti toko-toko kelontong, restoran, dan berbagai bisnis lainnya menghidupkan kawasan ini dan menciptakan hubungan yang kuat antara komunitas Tionghoa dengan masyarakat lainnya.
Namun, dampak mereka tidak hanya terasa dalam hal ekonomi dan budaya, tetapi juga dalam kerukunan dan harmoni antar-etnis. Komunitas Tionghoa di Sanggau secara aktif terlibat dalam kegiatan sosial dan budaya bersama masyarakat lainnya, memperkaya kehidupan kota ini dengan keragaman yang berharga.
Dengan demikian, sepanjang Jalan Kartini, Sanggau tidak hanya merupakan jejak sejarah komunitas Tionghoa yang telah lama ada, tetapi juga menjadi lambang integrasi budaya dan kontribusi yang tak ternilai dari mereka dalam membangun kota yang beragam dan makmur.
Banteng dikenal sebagai sosok Tionghoa terkaya dan terkenal di Sanggau di masa lampau. Namun, saat ini muncul pertanyaan mengenai keberadaannya dan keturunannya. Sanggau News mengajukan pertanyaan ini kepada warga Tionghoa yang masih tinggal di Jalan Kartini, Sanggau, Kalimantan Barat.
Baca Etnis Tionghoa Di Sanggau : Bagian 1 Dari 10 Tulisan
Menurut Lim San dari perlengkapan Vihara Tridharma, Banteng sudah lama tiada, tetapi keluarganya masih tetap ada di Sanggau.
Fenomena terbentuknya paguyuban Tionghoa dari masa ke masa memiliki tesis menarik dari Daniel S. Lev, seorang sejarawan-akademisi dan pakar Indonesia. Menurutnya, ada dua faktor utama yang mendasari fenomena ini.
Pertama, adanya pembentukan organisasi seperti Sin Ming Hui yang bertujuan membantu orang-orang, tidak hanya dari kalangan Tionghoa, tetapi dari berbagai lapisan masyarakat. Organisasi ini khususnya melindungi orang-orang Tionghoa yang tidak memiliki perlindungan lain.
Kedua, setelah peristiwa Tangerang, organisasi keamanan Pao An Tui didirikan untuk memberikan perlindungan fisik. Latar belakang berdirinya PSMTI dan Inti pun sejalan dengan prinsip ini. Organisasi-organisasi ini memiliki semangat humanisme yang kuat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga Negara Republik Indonesia.
Pada akhir era revolusi, terbentuk Partai Demokrat Tionghoa Indonesia sebagai wadah politik. Para pemimpin Tionghoa saat itu menyadari pentingnya memiliki organisasi untuk bergerak dalam politik. Namun, banyak warga Tionghoa yang enggan terlibat dalam politik, karena mereka memiliki ketidaknyamanan terhadapnya.
Setelah tahun 1950, kondisi menjadi semakin sulit bagi warga Tionghoa. Kewarganegaraan mereka ditolak atau tidak pasti, dan terjadi banyak insiden. Beberapa dari mereka mulai masuk ke berbagai partai politik. Beberapa mendekat pada PNI berkat hubungan yang terjalin sejak abad ke-19 antara priyayi Jawa dan warga Tionghoa.
Terjadi pula pernikahan campur antara berbagai kelompok. Kaum intelektual cenderung bergabung dengan PSI, sementara banyak yang memeluk agama Kristen atau Katolik. Bahkan, ada yang bergabung dengan partai Masyumi, NU, dan lain-lain.
Etnis Tionghoa di Sanggau memiliki peran yang signifikan dalam sejarah sosial masyarakatnya. Dalam pandangan orang Dayak, komunitas Tionghoa dijuluki sebagai "Sobat" atau saudara. Hal ini mencerminkan hubungan yang erat antara dua kelompok etnis ini dalam konteks masyarakat Sanggau.
Seiring waktu, hubungan antara etnis Tionghoa dan Dayak berkembang menjadi simbol kerja sama dan keterikatan dalam kehidupan sehari-hari. Nama "Sobat" mencerminkan sikap inklusif dan saling menghormati antara kedua kelompok, yang dapat menjadi contoh harmoni etnis dalam lingkungan sosial yang beragam.
Dalam kerangka sejarah ini, etnis Tionghoa tidak hanya dikenal sebagai bagian integral dari masyarakat Sanggau, tetapi juga sebagai mitra yang berkontribusi dalam pembangunan dan perkembangan wilayah tersebut.
Melalui hubungan "Sobat" ini, masyarakat Sanggau memperlihatkan bagaimana keragaman etnis dapat menjadi sumber kekayaan budaya dan sosial yang menguntungkan bagi semua pihak.(Bersambung)