Ekspedisi Melintas Kapuas Mahakam Dr. Anton Nieuwenhuis: Buruk-buruk Papan Jati
Buruk-buruk papan jati. Inilah tamsil yang pas disematkan bagi buku, atau hasil riset para penulis asing terkait topik Dsayak di masa lalu. Seperti karya Dr. Anton Nieuwenhuis ini.
Tahun 1894, Dr. Anton Nieuwenhuis beserta timnya memulai sebuah perjalanan ilmiah ke pulau Kalimantan yang dahulu dikenal sebagai Borneo. Pada era pegaruh Hindu-India, nama pulau terbesar ke-3 dunia ini diberi nama "Varuna-dvipa" sebab dikelilingi sungai. Sedemikian rupa, sehingga Borneo juga dikenal sebagai "pulau seribu sungai".
Pulau yang luasnya 743.330 km² ini tercatat sebagai yang ketiga terbesar di dunia ini telah lama dikelilingi oleh berbagai rahasia yang belum terpecahkan, dengan hutan lebat yang menutupinya dan dihuni oleh suku Dayak yang dikenal dengan tradisi pengayauan.
Namun, pandangan skeptis Dr. Nieuwenhuis, seorang dokter asal Belanda, menolak untuk langsung menerima cerita-cerita tersebut begitu saja. Melalui pendanaan dari Perhimpunan untuk Memajukan Penelitian di Daerah-daerah Koloni Belanda, ia memutuskan untuk menginvestigasi cerita-cerita ini secara langsung.
Dalam tiga perjalanan penelitian yang menegangkan, timnya menjelajahi wilayah Borneo Tengah, mengikuti aliran Sungai Kapuas hingga ke hulu, serta melacak Sungai Mahakam hingga ke Samarinda.
Dr. Nieuwenhuis tidak hanya terbatas pada pengamatan pribadi, melainkan juga mengumpulkan sejumlah ilmuwan lain untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas dan objektif. Hasil dari penelitiannya mencakup pemetaan yang lebih akurat serta koleksi beragam flora yang khas, yang kemudian diabadikan di Kebun Raya Bogor.
Lebih dari sekadar seorang dokter, Dr. Nieuwenhuis juga memiliki kepakaran dalam etnografi dan antropologi. Penelitiannya terhadap suku Dayak melampaui aspek fisik dan juga merambah pada aspek budaya serta gaya hidup mereka. Salah satu kontribusinya adalah pembuatan peta yang menggambarkan lokasi tempat tinggal berbagai suku Dayak di Borneo, yang menjadi dasar bagi ahli etnologi dalam mengkategorikan suku-suku tersebut.
Warisannya masih terasa hingga saat ini, lebih dari seratus tahun kemudian. Pegunungan di antara Sungai Baleh di Sarawak dan Kapuas Hulu diberi nama Pegunungan Nieuwenhuis sebagai penghargaan atas dedikasinya. Karyanya yang berjudul Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama di Jakarta pada tahun 1994.
Buku tebal berisi 266 halaman ini masih menjadi rujukan utama dalam memahami kehidupan serta budaya suku Dayak. Di tengah perubahan budaya yang terjadi di Kalimantan, buku ini berperan sebagai panduan dalam menggali akar budaya suku Dayak dan mengaplikasikannya dalam upaya pembangunan yang lebih inklusif.
Karya ini, yang dihasilkan oleh seorang peneliti dan penulis asing, tetap tidak luput dari kritik, terutama yang datang dari Ding Ngo, seorang intelektual Dayak. Kritiknya, terutama terfokus pada penggambaran mendalam mengenai Kayan, yang ia gambarkan sebagai "buruk buruk papan jati." Lebih rinci, Ding Ngo menyatakan bahwa meskipun karya ini memiliki keunggulan dalam genre-nya, namun tetap memiliki keterbatasan dan kelemahan.
Namun, bila dilihat dalam konteks yang lebih luas, kritik ini sejatinya mengandung saran yang membangun. Sebagai bagian dari komunitas Dayak, peran peneliti dan penulis Dayak menjadi lebih vital. Mereka memiliki tanggung jawab penting untuk memperkaya dan menyempurnakan narasi ini.
Dengan menggabungkan pemahaman mendalam akan budaya dan konteks suku Dayak, para peneliti dan penulis Dayak dapat memberikan dimensi yang lebih dalam dan akurat mengenai aspek Kayan serta elemen-elemen lain yang ada dalam karya ini.
Dengan menerima kritik sebagai peluang untuk berkembang, komunitas Dayak memiliki kesempatan untuk mengembangkan narasi mereka sendiri. Melalui penelitian yang lebih mendalam, pengumpulan data yang akurat, serta penulisan yang didasarkan pada perspektif internal, komunitas Dayak memiliki potensi untuk membangun versi cerita yang lebih otentik dan mewakili.
Oleh karena itu, tugas untuk melengkapi dan memperbaiki karya ini bukanlah hanya sekadar tanggung jawab, melainkan juga kesempatan untuk membentuk identitas serta warisan budaya yang kuat.*)