Tui, Markus Yohanes (MY)
Tui, M.Y. (kiri) dan Sareb: peserta aktif Seminar Hari Jadi Kota Sanggau 14 Desember 2015 |
Era 1960-an hingga 2000-an. Nama M.Y. Tui amat sangat populer di Sanggau. Ia kepala SMP Negeri Sanggau ketika itu. Yang menandatangani ijazah lulusan SMP hampir se-kabupaten Sanggau.
Baca Sejarah Sanggau
Tapi fokus narasi ini bukan tentang Tui sebagai kepala sekolah dan pemuntuh Obi Lintang. Tapi mengenai salah satu legacy-nya tiada tara yang amat berharga.
Semasa hidupnya, Tui pernah menulis, dan merilis sebuah buku penting. Ihwal orang (Obi) Lintang Pelaman. Yang ditengarai asal muasalnya dari Mamal, suatu daerah yang tidak tertera pada peta, kini dekat dengan Sami, Bonti, terletak di tepi sungai Sekayam.
Dalam manuskrip Obi Lintang Barugo, Tui yang mengalami masa okupasi Jepang mengisahkan pengalaman dan pengetahuannya. Ia menulis, antara lain, hal yang demikian ini:
Saat
pemerintahan dikuasai oleh kolonial Jepang, nasib orang Dayak tidak banyak
mengalami perubahan. Bahkan semakin buruk. Orang Dayak tetap menjadi hamba bagi
penguasa dan raja-raja lokal beserta pengikutnya. Bagi pemerintahan kolonial
Jepang, masyarakat Dayak tidak ada artinya.
Hubungan
rakyat dengan tentara Jepang sangat buruk. Karena rakyat tidak tahan lagi
melihat perlakuan orang Jepang yang kejam, main pukul, sandang pangan
tidak ada. Puncaknya adalah perang melawan kolonial Jepang. Perang yang
cukup sengit ini terjadi di daerah Meliau, Kabupaten Sanggau, yang disebut
perang "Madjang-Desa".
Nama
ini diambil karena nama para panglima perangnya berasal dari Madjang (Dayak
Iban) dan dari suku Desa di Meliau. Para panglimanya adalah Pangsuma, Pang
Linggau, Pang Iyo, Pang Doesi, Pang Rati, Pang Ranggon, Djampi bin Sangga, dan
Panglima Burung. Tujuannya adalah untuk mengusir orang Jepang dari daerah Meliau
dan sekitarnya.
Jadi, bukan hanya Pangsuma. Ada banyak tokoh Dayak terlibat aktif di dalamnya. Salah satu di antaranya adalah Pang Budjang (Panglima Budjang), ayahanda Uskup Agung Pontianak saat ini, Mgr. Agustinus Agus, Pr. *)