Taman Bukit Cornelis
Tak jauh dari Sanggau. Hanya sekian kilometer saja. Jika berkendaraan roda empat, paling 2 jam perjalanan. Sampai di pertigaan kota Sosok, lurus ke arah Ngabang. Di sana akan ditemui sebuah bukit yang di kota Ngabang semua orang tahu.
Ini bukan tentang Cornelis yang Londo. Sebuah lokus di Jakarta Timur, Jatinegara, yang mengabadikan namanya: Mester Cornelis.
Google map. |
Meniti karier dari bawah sekali. Cornelis pernah menjadi seorang juru antar surat. "Saya ini mulai dari jadi pesuruh di sebuah partai," katanya.
Lama-lama, atas pengalaman dan belajar mandiri, Cornelis masuk SMA Kapuas, Pontianak. Kemudian APDN. Lulus, jadi pegawai rendah di kecamatan. Kariernya makin menanjak. Lalu jadi Camat Menjalin (1989-1995) kemudian Menyuke (1998-1999).
Taman Bukit Cornelis. Ayo kita plesir ke sana. Sawah terhampar hiijau. Ladang menumbuhkan aneka sayuran. Di tanah Landaklah pertama kali digelar upacara syukur, gawai Dayak yang terkenal, Naik Dango.
Nah, dua kecamatan itu wilayah Landak. Sehingga bukit dengan namanya, tidak ujug-ujug. Semakin tidak tiba-tiba begitu saja, tatkala Cornelis mengemban amanah sebagai Bupati Landak (2006-2008).
Cornelis kini anggota DPR RI Dapil I Kalbar, anggota Komisi II. Ia melenggang ke Senayan mengayuh perahu partai PDIP. Suara pendukung yang diraihnya cukup fantastik. Mencatatkan namanya sebagai nomor 2 terbanyak dari 10 senarai besar negeri ini (no.1 Puan Maharani). Cornelis mendulang 285.797 suara pada Pemilu 2019.
Gaya bicara serta kiprahya di Senayan, menarik perhatian orang.
***
Tapi ada yang jauh lebih menarik dari itu. Yakni Taman Bukit Cornelis.
Ayo kita plesir ke sana. Sawah terhampar hiijau. Ladang menumbuhkan aneka sayuran. Di tanah Landaklah pertama kali digelar upacara syukur, gawai Dayak yang terkenal, Naik Dango. Di sana Cornelis mengajar dengan contoh. Ia bersawah. Ia juga berladang. Bahkan, berkebun. Ia nikmati semuanya itu penuh sukacita.
Landak, dahulu dikenal sebagai tanah (land) orang Dayak memang. Tentang sahibul kisahnya, bisa baca di referensi kuno. Misalnya, karya Schadee (1979) Bijrage tot de Kennis van den Godsdienst der Dayaks van Landak en Tayan. Di masa kolonial, para penulis senantiasa mengkembarkan tanah Landak dan Tayan.
M.C. Schadee adalah Controleur bij het Binnenlandch Bestuur (Kontrolir Pamong Praja). Di situ dinarasikan kepercayaan asli suku bangsa, yang menjadi penduduk asli wilayah yang dibelah oleh Sungai Landak itu.
Kini wajah Landak berubah. Ia beranjak dewasa, menjadi kota mandiri. Perkantoran megah, terbilang mewah. Kafe dan restoran ada di mana-mana. Menandai tumbuh-kembangnya ekonomi kreatif di salah satu kabupaten, tak jauh dari pusat ibukota provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Tanahnya subur. Kontur tanahnya naik turun. Ada banyak bukit. Dari arah Pontianak menyusur jalan Sungai Pinyuh, Anda bertemu dengan jajaran bukit Sehak. Berkelok-kelok. Dahulu, banyak orang mabuk kendaraan pabila melintasinya. Kini sudah bagus dan mulus karena tidak banyak dilalui kendaraan berbeban berat. Jalan lebar. Dibikin tidak terlalu menanjak. Banyak warung dan resto di sekitar. Sangat nyaman untuk dilalui, sampai Landak (Ngabang).
Di jantung kota Ngabang, ada sungai membelah. Itu sungai Landak. Beberapa meter dari jembatan, ambil jalan ke kiri, arah Armed. Sekitar 0,5 km, arah kanan, lihat ke atas. Ada jalan. Itulah jalan masuk Taman Bukit Cornelis.
Mengapa dinamai demikian?
Itulah kawasan luas, asri alami, yang menjadi kediaman Cornelis. Ia Gubernur Kalimantan Barat dua periode. Kini anggota DPR RI.
Saya lalu teringat Du Bus. Siapa dia? Du Bus, lengkapnya Leonard Pierre Joseph Dubus de Gisignies, tokoh yang wajib disebut dalam sejarah misi dan Gereja Katolik Batavia, terutama Borneo. Komisaris Jenderal Hindia Belanda (1826-1830) yang merupakan seorang Katolik yang taat ini juga membangun Fort Du Bus di Pontianak. Du Bus mengeluarkan Peraturan Pemerintah 97 tentang Kebebasan Pelaksanaan agama di Nusantara: Pelaksanaan semua agama mendapat perlindungan Pemerintah.
Di tanak Landak, Cornelis tidak sedang membangun monumen. Ia menulis sejarah. Sekaligus, menyusun sebuah peradaban. Legacy. Sesuatu perbuatan luar-biasa, yang akan diingat dan dikenang berabad kemudian, melintas, memintas berbagai generasi. Jadi, dalam hal peradaban dan artefak, apa bedanya dengan --misalnya-- Borobudur?
"Siapa lagi yang menghargai kita, jika bukan kita? Kawasan ini saya beri nama saya, sebab memang demikian faktanya. Ini bagian dari identitas. Bukan pengakuan. Kita tidak perlu diakui, kita pemilik, yang menjadi ahli warisnya," terang Cornelis.
Dalam, lagi sarat falsafah di balik penamaan lokal itu!
Nama gunung, bukit, sungai, lembah, ngarai, dan jalan-jalan di Kalimantan hari gini mestinya menggunakan nama lokal. Nama orang, klan, suku, atau apa saja yang bernuansa lokal.
Bukan zamannya lagi menamakan suatu tempat, atau benda, dengan nama orang luar. Seakan-akan kita, penduduk asli dan pemilik, adalah orang asing. Itu bagian dari politik juga.
Cornelis tidak sedang membangun monumen. Ia mengukir sejarah. Sekaligus, menyusun sebuah peradaban. Legacy yang akan diingat dan dikenang berabad kemudian, melintas, memintas berbagai generasi.
Cornelis, Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), mulai memperkenalkan dan mencanangkan nama jalan, bandara, dan jembatan dengan nama setempat. Ini tentu tidak mudah. Terlebih lagi, di tengah hegemoni suatu budaya tertentu, yang masih kental sisanya. Biasanya, nama jalan dan topografi tertentu dari impor.
Di Borneo, berapa banyak hal yang demikian. Bangsa kolonial telah melakukannya. Masa iya, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat deretan pegunungan disebut Pegunungan Muller (Müller) dan Pegunungan Schwaner. Untuk menyebut gugusan pegunungan berurutan dari timur laut ke barat daya dan membentuk sekitar dua pertiga dari batas tenggara provinsi. Sebagian besar batas utara dibatasi oleh Pegunungan Kapuas Hulu, yang bertemu dengan Pegunungan Muller di timur laut. Padahal, mereka datang belakangan. Ditengarai, penduduk lokal telah ada sejak zaman purba.
Apa maksudnya ini?
Demikian pula nama botani. Banyak menggunakan nama orang asing. Mereka yang memperkenalkan, yang betul, bukan mereka yang menemukannya. Ini keliru! Harus diluruskan. Simpur, misalnya. Nama umum bagi tetumbuhan anggota marga dillenia, suku dilleniaceae. Marga tanaman yang di Sarawak dan Kalimantan Barat ini dijadikan tujar hidup bagi lada diberi nama mengikuti nama botaniwan bangsa Jerman, Johann Jacob Dillenius (1687—2 April 1747).
Maka Cornelis, Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), mulai memperkenalkan dan mencanangkan nama jalan, bandara, dan jembatan dengan nama setempat. Ia mengajar dengan contoh. Pemimpin yang baik, memotivasi dan menginspirasi. Ia tidak menyuruh, melainkan memulai dan menggerakkan. Sedemikian rupa, sehingga perubahan mulai dari dirinya sendiri.
Jembatan Tayan, Kalbar misalnya. Namanya: Pak Kasih. Begitu caranya memperkenalkan, sekaligus mempromosikan tokoh dan kekhasan lokal!
Siapa Pak Kasih?
Dia salah satu pejuang, pahlawan lokal yang belum banyak diketahui orang. “Jembatan itu saya bangun, di masa menjabat Gubernur Kalbar. Susah payah mencari investornya. Saya dekat dengan Pemerintah Pusat. Jadi, Pusat itu jangan dilawan, tapi dikawan,” terang Cornelis.
“Saya presentasi, meyakinkan investor dengan terjun sendiri ke luar negeri. Sehingga jembatan ini saya dedikasikan untuk bangsa, terutama masyarakat setempat. Bukankah ada pepatah bijak: jangan bangun tembok, bangunlah jembatan!”
“Saya ingin mengubungkan berbagai kepentigan. Menyatukan berbagai perbedaan. Dengan adanya jembatan lintas Kapuas, hubungan dengan Kabupaten Ketapang dan lintas provinsi dengan Kalteng terbuka,” jelas sosok pemimpin yang gemar membaca.*)