Obituari Bertha - Cerita Bersambung (4)
# 2
Misteri Lelaki Pertama
Berambut Perak
ESCORT.
Tahu terminologi itu? Awalnya, aku pun gak ngeh. Andai saja Bertha tak membuka
Johari Windows (JH)-nya.
Nah, istilah apa lagi
itu? Ya, pada galibnya setiap orang punya JH. Kamus yang didapat dalam
psikologi komunikasi untuk menyebut sisi-sisi kehidupan seseorang yang hanya
dia saja yang tahu dan orang lain tidak tahu. Atau sisi kehidupan yang hanya
seorang dan seseorang lain yang tahu.
Baca kisahan sebelumnya Obituari Bertha - Cerita Bersambung (3)
Jujur, setiap orang punya JH. Kadang, dibawa sampai ajal. Dan
sejak bertukar PIN BB dengan pramugari tinggi semampai itu, kami jadi sering
komunikasi.
Mula-mula via BB. Seterusnya, kopdar. Karena banyak kesamaan
di antara kami, aku dan Bertha lekas konek.
Bermula pada suatu hari.
Ketika aku iseng menawarkan untuk menjemputnya di bandara, begitu Bertha
selesai menunaikan tugasnya. Dan anehnya, ia mau. Pertemuan semakin sering
setelah itu. Sampai-sampai terbangun JH di antara kami, yang hanya aku dan dia
yang tahu.
Lewat pertemuan yang intens, aku tahu sisi-sisi Johari Windows
pramugari tinggi semampai itu. Karena Bertha begitu tulus, tak kan kubuka pada
siapa-siapa JH-nya. Sebagian, hanya menepuk air di dulang. Aku janji. Tak akan
membuka pintu tersembunyi Bertha seluruhnya pada siapa pun.
Dalam perjalanan ke apartemen mewah setelah dernyit rem taksi biru
menghindar truk yang berhenti sembarang di bahu jalan tol, aku diam saja.
Kuperhatikan
bunga-bunga yang berjajar rapi warna warni menghiasi sepanjang jalan pergi.
Kupandangi pohon-pohon bungur berdaun rimbun. Ujung-ujungnya mengeluarkan bunga
warna ungu.
Bertha kulihat menatap
ke arah sama. Aku sulit menebak pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
Benar-benar ia tak mudah dibaca. Jinak-jinak merpati. Makin didekati, semakin
pergi. Dalam hati, aku bertanya-tanya: mengapa Bertha di taksi beda dengan
Bertha pramugari?
"Ber!" aku
coba mencairkan suasana.
"Ehm!" ia
hanya melirikku sembari merapikan rambutnya yang lurus hitam sedikt menutupi
wajahnya.
"Benar kan
kataku?"
"Kata? Yang
mana?"
"Ah, masa lupa.
Ketika di udara, selepas kau tutup pintu pesawat, lalu duduk dekatku di seat 01F."
Ia
menggeleng. Bertha sungguh seperti merpati. Aku kian penasaran.
Oranye
dan ungu warna boungenville sepanjang pembatas jalan tol Soetta-Pluit
bergoyang-goyang. Bukan diembus angin, melainkan dibentur asap knalpot
kendaraan.
Bertha
memandang ke warna oranye dan ungu. Aku memandang ke arahnya yang termangu.
Dari posisi duduk samping menyamping, aku dekatkan lebih rapat ke tubuhnya.
Aku
kini di posisi tengah. Kurapatkan badan sampai tak ada jarak dengannya. Ia
menarik tangan kiri lalu merapatkannya dengan tangan sebelah. Dari dekat sekali
aku memperhatikan bulu-bulu halus menghiasi lengannya yang kuning langsat.
Dari
jarak tak ada, jariku menyusup. Kuraih tangan kirinya dengan tangan kiriku. Ia
menatap tajam.
Kudengar
gemuruh napasnya mendesah. Aku saksikan matanya menandai percakapan. Aku
dengar. Kusaksikan dalam diam.
“Kamu
lom tahu siapa aku,” tiba-tiba ia membuka suara.
“Kamu
blasteran Dayak-Itali, lahir pada Hari Velentine.”
“Itu
informasi, bukan kenal!’
Aku
terhenyak. Diam-diam, aku mulai mengagumi gadis tinggi semampai ini. Memang berbeda
antara kenal dan informasi. Aku akui, aku belum mengenalnya.
“Kalau
kamu kenal aku, kamu tak akan sudi berteman denganku!”
“Lho,
kok?”
Aku tak
tahu arah katanya. Oranye dan ungu boungenville tak lagi bergoyang. Memasuki
pintu tol keluar Pluit, jalan padat merayap. Antrean panjang.
Kendaraan-kendaraan tak bergerak, tapi klakson meraung-raung. Orang Jakarta
memang begitu, tak ada yang merasa diri tidak penting. Semua ingin lekas
sampai.
“Tapi
kamu tahu, kan, kamu cuma mengantarku
sampai apartemen?”
Aku
mengangguk.
“Tiap
aku selesai, kau tahu, aku akan pergi lagi!”
Aku
mengangguk. Meski belum mengerti apa yang aku anggukkan.
(bersambung)