Kongres Partai Persatuan Daya (PPD) di Sanggau, 1950
Penampakan upacara Pembukaan Kongres Partai Persatuan Daya (PD) di Sanggau, Kalbar, 10-13 Juli 1950. Naskah dan foto memiliki hak cipta. Dok. RB. |
Tiga bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Pemerintah RI mengeluarkan maklumat. Yaitu terkait dengan pembentukan partai-partai politik.
Maklumat yang ditandatangani Wakil
Presiden Mohamad Hatta yang dikeluarkan di Jakarta tertanggal 3 November 1945
tersebut, memuat dua hal pokok.
Pertama, Pemerintah pada prinsipnya
menyambut baik lahirnya partai-partai politik. Hal itu mengingat kehadiran
partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur berbagai aliran paham
yang ada yang menjadi aspirasi masyarakat.
Baca M.Th. Djaman : Namanya Abadi Bagi RSUD Sanggau
Kedua, pemerintah berharap supaya
partai-partai politik itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota
Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Para pendiri Partai Persatuan Daya (PPD) yakin bahwa keanggotaannya yang eksklusif ini dapat menjadi alat perjuangan dalam rangka mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Maklumat pemerintah tersebut telah membuka peluang bagi anggota masyarakat untuk secara bebas mendirikan organisasi politik.
Pada bulan November 1945, tidak kurang dari delapan
organisasi partai politik didirikan di Jakarta, antara lain Partai Persatuan
Daya (PD) yang didirikan pada 3 Oktober 1946 di Putussibau.
Baca Kapuas: Toponim Homonim 2 Sungai Di Borneo, Jangan Keliru!
Partai baru tersebut menghimpun dan bergerak terbatas di kalangan suku bangsa Indonesia Dayak yang mendiami sebagian besar Kalimantan Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 ayat 2 Anggaran Dasar yang berbunyi:
"Anggota biasa ialah orang-orang dari suku bangsa Indonesia Dayak yang sudah berumur 18 tahun atau yang sudah pernah kawin.”
Hanya untuk anggota luar biasa diberikan kepada warganegara Indonesia
yang bukan berasal dari suku Dayak. Itu pun dengan persyaratan “menaruh
perhatian sungguh-sungguh akan perbaikan nasib dan perjuangan suku bangsa
Indonesia Dayak”.
Para pendiri Partai Persatuan Daya (PPD) yakin bahwa
keanggotaannya yang eksklusif ini dapat menjadi alat perjuangan dalam rangka
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan,
Adakah maksud khusus sehingga partai
yang baru didirikan itu menghimpun anggota hanya dari suku bangsa Indonesia
Dayak saja? Apakah dengan demikian tidak akan semakin mempertebal sentimen
rasial, atau kesukuan?
Baca Geretak Gantung Sekayam Dalam Lukisan
Untuk dapat memahami masalah itu,
ada baiknya menyimak apa yang dikemukakan Mahathir bin Mohamad dalam the Malay
Dilemma. Mahathir mengajukan pertanyaan: Apakah orang yang membela politik
rasial itu otomatis rasialis?
“Soekarno kecil” itu pun menjawab,
“Dengan mengajak berbagai ras ke dalam suatu tempat perlindungan, tempat semua
ras menjadi sama dalam segala hal, maka barulah dapat terjadi kesatuan nasional
yang sebenarnya. Dan bilamana kesatuan nasional sudah tercapai, kebutuhan akan
politik ras akan lenyap.”
Di tempat lain, Mahathir menyatakan bahwa beberapa orang nonMelayu melihat penghapusan politik rasial sebagai cara yang menambah posisi ras mereka sendiri.
Begitulah yang terjadi, sedemikian
rupa, sehingga teriakan mereka menentang politik rasial sesungguhnya tidaklah
bercorak sentimen rasialis sebab penghapusan politik dan diskriminasi rasial
akan menguntungkan mereka.
Ungkapan tersebut sebenarnya dilayangkan Mahathir puluhan tahun sesudah Partai Persatuan Daya didirikan. Suasana yang mendorong dicetuskannya pernyataan tersebut tidak jauh berbeda ketika pada 1946 Partai Persatuan Dayak didirikan.
Keadaan suku bangsa
Indonesia Dayak pada saat itu jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan keadaan
ras Melayu di Malaysia pada waktu Mahathir melontarkan gagasannya.
Baca Sanggau Dan Penduduknya Era Pengaruh Hindu-India Pra Abad XIV
Para pencetus dan pendiri PPD bisa jadi terpengaruh, atau paling tidak terinspirasi, oleh berdirinya organisasi kesukuan sebelum kemerdekaan Indonesia, seperti: Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan lain-lain.
Meski organisasi tersebut berdiri atas dasar suku dan
daerah, tujuan yang ingin dicapai satu: berdirinya Negara kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana terpatri dalam
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1908.
Para pendiri PPD --dengan tokoh sentralnya Oevaang Oeray dan Palaunsoeka-- yakin bahwa keanggotaannya yang eksklusif ini dapat menjadi alat perjuangan dalam rangka mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Dengan berhimpun dalam sebuah naungan pohon PPD, akan dapat diperjuangkan hak-hak warga Dayak.
Dengan demikian, akan
semakin kecil jumlah warga Dayak yang terbelakang dan itu merupakan sumbangan
nyata bagi pembangunan nasional. (Rangkaya Bada)