Budaya Borneo
Albertus Niagara
Bali dan Borneo dilihat dari aspek budaya sebetulnya belum
terlihat perbedaan yang signifikan.
Bali bisa diibaratkan buku yang terbuka, disana ada kisah
Mahabrata, Ramayana, dan Bagavadgita, yang dituliskan dalam lukisan lukisan,
patung patung dan tentu saja buku-buku penelitian. Dan itu kemudian dibuat
menjadi patung-patung lukisan-lukisan.
Sementara Borneo masih termasuk wilayah yang belum dikenal (Terra
Incognita) dan manusianya pun belum dikenal (Homo Incognita).
Kalau melihat Bali, sebetulnya kita juga memiliki keindahan itu.
Tetapi yang menarik di sana adalah apa yang berbau budaya dan kearifan lokal
telah menjadi tersurat. Sedangkan Borneo tersirat atau masih melekat dalam
tradisi-tradisi lisan.
Belum ditulis, diwawancarai, orang tua belum kita datangi. Dan masih melekat di hutan gunung batu dan sebagainya. Itulah tacit knowledge. Panggilan tugas pecinta dan pegiat literasi menjadikannya explicit knowlwdge, berupa tulisan dan dokumen.
Budaya yang terkait dengan hal tersebut membutuhkan upaya
melestarikan, mempertahankan dan membentuk tatanan budaya. Ini akan naik
pangkat menjadi sebuah peradaban yang bisa dijual. Salah satunya, untuk aspek
pariwisata.
Elemen-elemen kebudayaan masih tersimpan dan tersirat dalam tradisi-tradisi lisan dan terekam pada unsur alam Borneo, seperti di gunung, hutan, tanah, sungai, batu dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, tugas berat
masih menanti dan masih banyak tantangan yang dihadapi terkait dengan Borneo,
baik pulaunya yang dikenal sebagai Pulau yang tidak berpusat maupun manusianya.
Upaya semacam itu sudah
mulai diupayakan sebagai contoh, dengan diselenggarakan kongres internasional
budaya Dayak. Dalam acara tersebut juga dilibatkan kalangan akademisi dari
beberapa perguruan tinggi yang Borneo. Kemudian membangun jaringan lebih luas
dengan Borneo study network (Jaringan Seborneo) termasuk Dayak yang di luar
negeri.
Sekali untuk mewujudkan
Borneo maju dibutuhkan sinergi seluruh pihak.
Albertus adalah seorang
peneliti Dayak yang telah lama meneliti Dayak di Borneo bersama LitBang
Provinsi Kalimantan Barat, Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak, LIPI
Jakarta, Institute Dayakologi Pontianak, dan NARMAC Institute.*)