Obituari Bertha - Cerita Bersambung (3)
Dibanding dirinya kalah jauh. Kutaksir, tinggi pramugari itu lebih 10 senti dariku. Bobotnya kurang 3 kg dibanding aku. Sangat ideal. Diam-diam, ada getar aneh merayap perlahan di sekujur tubuhku. Asalnya dari dada. Getar yang baru kurasa ketika pertama bertemu wanita yang bukan muhrimku.
Baca sambungan cerita sebelumnya Obituari Bertha - Cerita Bersambung (2)
Obituari Bertha - Cerita Bersambung (1)
“Ke Pontianak dinas kantor?” ia bertanya.
Aku bingung harus menjawab apa. Tercenung. Benar-benar tak mengira ia bertanya demikian.
“Terbang biasa saja!”
“Ah, masa. Pasti cari bahan untuk menulis. Wawancara narasumber, begitu?”
Aku hanya bisa melongo. Menahan napas. Sepertinya wanita udara ini melebihi paranormal. Tanpa diberi tahu, ia sudah mafhum. Di hadapannya, aku merasa begitu telanjang. Akhirnya aku mengangguk.
Aku melepas pandang keluar jendela. Pesawat terbang menembus awan. Segumpal tampak begitu pekat. Ada rasa seperti naik mobil ketika berada di atas polisi tidur. Ternyata, di udara ada juga polisi tidurnya.
“Kau memandang apa?”
“Memandang apa saja.”
“Kau pasti sedang melihat awan hitam,” katanya. Lagi-lagi aku dibikin kaget. Ia bisa membaca pikiran dan isi hatiku.
Aku memberanikan diri menoleh ke arahnya. Kubaca pin yang melekat tepat pada dada sedikit di atas sebelah gunungnya yang berlekuk indah: BERTHA.
“Kau lihat apa?” tanyanya.
“Aku melihat nama seorang enjel udara,” sahutku sekenanya setengah gugup. Aku bisa mengira-ngira berapa nomor bra yang memungkus dua gunung kembarnya. Sangat ideal! Aku seperti seorang anak yang ketangkap basah mencuri. Aku memang mencuri pandang.
“Ah, masaaa!” ia menyela.
Lagi-lagi aku dibikin kaget. Ia seperti tahu tadi aku memang mengeja namanya, tapi sebenarnya lama terpana menatap gundukan bawah pin namanya. Sungguh indah. Dari balik bajunya aku bisa melihat lekukan-lekukan seperti lorong, lumayan terjal, sepolos pualam, yang pasti membuat betah siapa pun berada di sana.
“Mas bro pengarang, ya?” ia bertanya.
Aku hanya diam.
“Aku demen baca. Nulis sih hanya sekadar hobi. Tapi pernah sekali cerpenku dimuat Horison.”
Mendengar Horison, aku kaget. Lalu duduk tegak. Jika seseorang sudah bisa menembus majalah itu, bukan main-main pikirku. Aku hanya bisa melongo ke arahnya. Wajahya bersemu merah. Ia menunduk. Selekuk pipinya seperti memar.
“Apa ada yang aneh dengan kataku?” ia balik bertanya.
Aku menggeleng.
“Hanya aneh saja, cerpenis kesasar jadi pramugari.”
Ia hanya tertawa.
“Karena itu, aku akrab dengan wajah mas bro. Aku membaca profil pengarang Indonesia di Leksikon Susastra Indonesia. Dan aku yakin, salah satu pengarang muda itu adalah mas bro,” katanya. “Wajah mas bro unik. Pasti kamu.…”
Pesawat membentur awan. Kami bergetar. Namaku batal ia sebut. Aku terpana. Ia tahu rupanya. Wawasannya sungguh luas.
Ia lalu menyodor kepadaku secarik kertas dan sebatang ball point. “Kuminta dibuatkan Obituari.”
“Obituari? Gak salah?” aku bengong.
“Ya, gaklah….”
“Bukannya biografi?”
“Bukan!”
“Obituari? Gak salah?” sekali lagi aku meyakinkannya.
“Ihhh, benarlah mas bro!” katanya seraya mata melotot. “Artinya berita kematian seseorang yang dimuat dalam suatu media, disertai dengan riwayat hidupnya, kan?”
“Husssh!” kataku sembari menempel telunjuk di mulut. “Kamu bicara apa? Masih muda jangan omong soal obituari.”
“Gak masalah, kan? Kini sudah bukan tabu. Toh banyak di medsos, terutama Fb, ramalan mengenai akhir kehidupan seseorang termasuk karena apa?”
“Omong apa kamu ini!” aku menyela seraya mengalihkan ke pembicaraan lain. Ketika ia pun beranjak dari kursi lalu kembali menunaikan tugasnya sebagai pramugari. Pesawat siap-siap akan mendarat di lapangan udara Supadio. Tak terasa waktu berlalu sudah sejam lamanya.
“Pokoknya, selama 10 menit ini, sebelum keluar pesawat, aku sudah mendapat inti Obituari itu,” pesannya.
Aku melongo.
Sepeninggalnya menunaikan tugas sebagai pramugari, aku berusaha mencoret-coret permintaannya.
Aneh. Sungguh aneh. Benar juga kata pakar komunikasi, Leslie Rae bahwa menulis pendek jauh lebih sulit daripada menulis panjang.
Aku sulit menulis saat ini, meski menulis pendek sekalipun. Mana otakku buthek begini. Lagi pula, kaget separuh schock bertemu angel udara yang kuanggap aneh bernama Bertha.
Tak banyak yang bisa kutulis untuknya. Hanya beberapa baris saja.
14 Februari. Di Hari Valentine. Sebuah kabar tersiar stasiun TV. Pesawat Love Air jatuh di perairan Selat Karimata setelah sempat hilang kontak.
Bagi seseorang yang belum kawin, berita itu sangat menyetak. Mungkin bukan hanya ia yang gugup. Orang lain juga. Terlebih keluarga dan handai tolan seluruh penumpang serta kru pesawat. Termasuk pacar pramugari cantik tinggi semampai, yang celah sarung kebayanya terbelah sungguh menggoda.
Tak seperempat tercatat di secarik kertas itu Obituari Bertha yang kutulis asal saja. Ketika pesawat pun seperti menghunjam perut bumi Khatulistiwa.
Pramugari
tinggi semampai itu kembali menunaikan tugasnya. Membuka pintu pesawat sambil
berjongkok terlebih dahulu. Kali ini seperti sengaja. Belahan kain sarung
kebayanya menganga terbuka. Menghadap dengan menggoda ke arahku yang mulai mmembangunkan rasa kelaki-lakianku. Kembali sedetik jantungku berhenti
berdetak.
Karena
menempati kursi paling muka, aku duluan turun. Setelah mengambil ranselku di
atas, aku pun turun tangga pesawat.
“Ini
Obituarimu,” kataku sembari menyodorkan kertas yang terlipat.
“Ma
kasih ya, spinner
ganteng,” katanya sembari tangannya menyalamiku.
Aku melongo, tak tahu kata asing di telingaku itu. (Belakangan, setelah akrab
dengannya dan mandi bersama di bathtub
Chrystal Bateau, baru
ia beberkan istilah yang menjadi semacam koding di antara pramugari, pilot, dan
awak persawat. Ternyata, “spinner” istilah untuk penumpang terlambat
naik pesawat yang nyaris ditinggalkan.)
Diselipnya
secarik kertas di genggam tangan yang lentik itu. Aku menuruni tangga dengan
langkah goyah dan dada gemetar. Sudah sampai di ruang kedatangan, baru aku
membukanya. Nomor PIN BB-nya: 221xx680A. Ketika ku-invite, dan dia menerima, kuliihat
sangat dekat dengan PIN BB seorang artis terkenal yang juga sudah dusimpan. Aku
kaget.
***
GERIMIS rinai yang menitis perlahan mengantarku keluar ruang kedatangan bandara Supadio.
Aku mencari
taksi berjalan kaki beberapa langkah, tapi gegabah, ketika memasukkan ransel ke
bagasi taksi, secarik kertas itu jatuh.
Aku
memungutnya. Mengusapnya dengan gemetar. Isi tulisan kertas ini sangat penting.
Kuharus menyimpannya. Siapa tahu awal sebuah keberuntungan? Bukankah banyak hal
ajaib datang dari sesuatu yang tak-disengaja?
(bersambung)