Apai Janggut: Pendekar Lingkungan Dari Sungai Utik (Bagian 2 Dari 10 Tulisan)
Apai Janggut. Kredit foto: Mongabay |
Rumah panjang, yang dalam bahasa Iban disebut "rumah panjai" kini telah langka di Kalimantan. Bangunan ini dahulu kala, era Orde Baru, secara massal dimusnahkan.
Alasanya terasa dibuat-buat. Yakni rawan kebakaran, tinggal di rumah panjang scara komunal rawan penyebaran penyakit menular, kurang sanitasi, dan rawan dengan norma dan moral.
Sungguh itu pandangan yang keliru dari luar! Faktanya, selama ratusan tahun, bahkan ribuah tahun, orang Dayak tinggal di rumah panjang, mereka tetap guyub. Malah kuat sebagai satu komunitas. David Jenkins dari Far Eastern Economic Review (1978) pernah membongkar motif di balik pemusnahan secara massa rumah panjang orang Dayak ini.
Laporan Jenkins menunjukkan bahwa di balik pemusnahan rumah panjang terkandung motif politik: ada kekhawatiran berlebihan akan kekuatan Dayak yang terpusat. Mereka akan mudah melakukan mobilisasi sosial. Sulit dikontrol oleh Negara.
Baca Apai Janggut: Pendekar Lingkungan Dari Sungai Utik (Bagian I Dari 10 Tulisan)
Maka era 1970-an kepada sistem pemerintahan adat terutama di Kalimantan diperkelankan pemerintahan desa. Sistem pemerintahan Dayak yang mengenal "tuai rumah" sejak ratusan tahun ketika era Gemuring Gading dan Keling Kumang, ditiadakan.
Namun, Sungai Utik salah satu yang bergeming. Rumah panjang di sini bukan saja eksis, melainkan hidup. Berbeda dengan rumah panjang Ensaid, di Sintang. Yang meski sama-sama dihuni orang Iban, sumang panjang Ensaid sebatas "rumah budaya" bukan rumah hidup.
Di sinilah Apai Janggut pantas dicatat. Dikenang sebagai pendekar yang melestarikan Dayak secara berkanjang dan berkelanjutan. Untuk itu pula, Apai direkrut aktif oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) seagai role model, contoh hidup, serta mentor yang bukan saja menginspirasi, memotivasi; melainkan juga mengajar dengan contoh.
Apai Janggut memimpin upacara adat ala Iban di Sekadau. |
Kini, rumah panjang di Kalimantan dapat dihitung jumlahnya dengan jari. Salah satunya, rumah panjang Sungai Utik. Letaknya di pinggir sungai Embaloh.
Seperti terjadi pada zaman baheula, rumah
bulai, rumah rakyat, yang memang dibangun di tepi sungai untuk memudahkan
berbagai kepentingan. Selain transportasi, sungai pada waktu itu multifungsi.
Antara lain, untuk mandi, cuci, sekaligus kakus. Namun, dirancang sedemikian
rupa, agar masing-masing fungsi berjalan alami.
Perjuangan Apai Janggut dan masyarakat adat Sungai Utik mempertahankan hutan sangat luar biasa, terutama adanya kepemimpinan yang kuat dari Apai dan komitmen masyarakat untuk turut menjaga hutan.
Di usia lebih dari 80 tahun tahun, Bandi gagah perkasa. Sisa-sisa ganteng dan
keperkasaan, masih tergores di wajah dan sekujur tubuhnya yang seperti tak
kenal rapuh.
Ia bertato dengan
motif bunga terong, yang dalam tradisi Iban menyimbolkan kepemimpinan.
Keturunan Keling Kumang generasi 8 ini pun lancar berkisah ihwal sejarah masa lalu, sebuah imperium kaum Ibanik yang diperintah oleh Keling Kumang yang dikenal dengan “Buah Main”.
Ditengarai bahwa kerajaan Buah Main terbentang dari Sekadau, Ketungau,
Mungguk Bejuah, Hutan Berangan Semitau Tua, hingga ke Batak Lupar, kemudian Sri
Aman.
Dalam talkshow di RRI Pro1 Sintang, Bandi membeberkan bahwa kaum Ibanik di bawah Keling Kumang hidup rukun dan makmur. Hal itu, tak lain, karena suri teladan yang diberikan pemimpinnya.
Selain itu, prinsip “Betungkat ke adat basa, bepegai ke pengatur
perkara” yang berarti: menjunjung tinggi hukum adat, berpegang pada pengatur
perkara (tetua adat), dipegang teguh dan dilaksanakan saksama.
“Semangat Keling
Kumang harus dipelihara dan dijunjung tinggi. Salah satunya, menjunjung hukum
adat dan taat pada tetua,” tegas Bandi. Selain tuai rumah, ia juga dikenal
sebagai aktivis dalam hal pelestarian hutan. Tak pandang usianya sudah lewat
delapan dasawarsa, dengan jenggot panjang yang kian putih, ia terus berusaha
menjaga adat dan tradisi.
Perjuangan Apai Janggut dan masyarakat adat Sungai Utik mempertahankan hutan sangat luar biasa, terutama adanya kepemimpinan yang kuat dari Apai dan komitmen masyarakat untuk turut menjaga hutan.
Ini merupakan hal yang unik, karena seringkali
masyarakat adat terpecah. Yang terjadi adalah bahkan kepala desa atau kepala
adat menjual lahan ke perusahaan karena kebutuhan ekonomi. Inilah yang menjadi
dasar Yani Saloh mengusulkan Apai Janggut masuk nominasi penerima Equator Prize
2019.
“Saya memasukkan Sungai Utik ke Equator dan Kalpataru lebih kepada personal interest, karena melihat perjuangan mereka dan komitmen menjaga hutan yang luar biasa,” terang Saloh.
Untuk Pembaca ketahui bahwa Yani Saloh yang membuat Submission The Equator Prize 2019 yang kemudian
mendampingi Apai Janggut menerimanya di Amerika. Seperti Anda dapat saksikan pada video anugerah
Kunjungi Pidato Apai Janggut Bandi anak Ragai terima Gulbenkian Prize for Humanity di Lisbon Portugal
Penghargaan Equator
Prize dari PBB adalah ujud pengakuan Pengakuan Nilai Budaya Dayak Iban Sungai
Utik yang dipelopori oleh Apai Janggut. Sebagai tuai rumah (kepala di
lingkungan sekitar Sungai Utik), masyarakat setempat berhasil menjaga wilayah
dari ancaman perambahan dan ekspansi industri.
Konsepnya ihwal hutan
lestari sederhana, tapi sarat makna. Hal itu tersurat dalam tulisan di latar
yang bukan sekadar menghiasi lukisan dirinya:
Kami tidak minta lebih dan tidak mau kurang
selama di hutan masih ditemukan buruan dan obat
di lubuk masih ada ikan
dan di huma masih berpadi
itulah lestari (Apai Janggut)
(bersambung)