Apai Janggut dan Kecerdasan Alam (Bagian 5 dari 10 Tulisan)
Apai Janggut. Alias Bandi anak Ragae.
Siapa tidak mengenal tuai rumah, petinggi suku bangsa Iban dari Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat?
Tidak sekolah. Tapi jangan ditanya kecerdasan naturalnya. Atas kiprah dan capaiannya, Apai dianugerahi Kalpataru dan Equator Prize. Dan diundang ke Amerika untuk menerima penghargaan internasional.
Bagaimana menerangkan kecerdasan apai tuai? Sesungguhnya tacit knowledge, sekolah kehidupan yang mengasah kecerdasannya. Sekolah kehidupan memberi kontribusi 95% pada pengetahuan sebagai bekal hidup seseorang. Sisanya, 5% adalah pengetahuan eksplisit, yang didapat di bangku sekolah dan kuliah.
Dari lata Latin “tacere”, orang ketiga tunggalnya “tacit”.
Per makna kamus berarti: diam, tidak berbicara (Kamus Latin Indonesia, 847).Yang dimaksudkan, sudah barang tentu, bukan diam dalam arti harfiah, kelu, atau tidak berbicara sama sekali.
Pengetahuan tacit adalah pengetahuan yang didapat bukan di bangku sekolah atau kuliah, dari proses belajar-mengajar formal antara guru-murid.
Akan tetapi, pengetahuan tacit yang didapat seorang pembelajar-serius melalui serangkaian: pengalaman, pemikiran, kompetensi, dan komitmen. Diolah sedemikian rupa, melalui proses dialektika layaknya ilmu dan teori, menjadi pengetahuan dan kompetensi yang bersistem dan bermetodologi.
Dapat dikatakan, seorang yang memiliki pengetahuan tacit bahkan telah sampai pada aras menemukan dan membangun teorinya sendiri.
|
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa temui dan saksikan tokoh yang berpengetahuan tacit luar biasa. Katakanlah sebagai misal Adam Malik (1917-1984) yang kita kagumi sebagai sosok otodidak. Menjabat menteri beberapa kali, hingga menjadi wakil Presiden RI (1978-1983).
Juga Mochtar Lubis, seorang pembelajar-sejati dengan pemikiran dan pengalaman luar biasa, seorang antropolog Indonesia yang luar biasa yang mengidentifikasi ciri-ciri orang Indonesia dan diakui sebagai temuan yang belum ada tandingannya. Termasuk dalam tingkatan "dewa", tokoh Indonesia yang berpengetahuan tacit ini adalah Soedjatmoko, Ayip Rosidi, dan Bob Sadino --siapa mereka? Anda bisa menelusurinya sendiri.
Nah, di sanalah Apai Janggut kompeten melelihi siapa pun. Terutama di bidang: budaya, bahasa (jako dalam), sastra, purih (silsilah dan sejarah suku bangsa Iban), ensera (cerita epos), keanekaragaman hayati, kecerdasan natural, kecerdasan kinestetik (ilmu bela diri dan seni perang), kecerdasan inter dan intra-personal, kecerdasan verbal dan linguistik, dan masih banyak lagi.
|
Kecerdasan, kini, bukan hanya soal takaran inelektual (IQ) menurut Simon-Binet. Masih banyak dimensi lain, yang menunjang atau diperlukan, untuk sukses.
Seiring dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka IQ tidak semata-mata dikaitkan dengan tingkat intelektualitas seseorang. Karena itu, kecerdasan lalu mengalami evolusi makna.
Tidak sekolah. Tapi jangan ditanya kecerdasan naturalnya. Atas kiprah dan capaiannya, Apai dianugerahi Khatulistiwa Award. Dan diundang ke Amerika untuk menerima penghargaan internasional.
Jadi, apakah "kecerdasan"?
Menurut teori Howard Gardner yang ditemukan dan dikembangkannya pada 1983, Kecerdasan adalah:
"The ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture."
Artinya: Kecerdasan adalah kemampuan seseorang mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban.
Karena itu, tes IQ menurut Gardner, tidak dapat mengukur tingkatan atau nilai dari kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu. Gardner memperkenalkan tujuh (kemudian menambahkan satu menjadi delapan) macam kecerdasan. Satu di antaranya Naturalist intelligence (nature smart).
Profesor ilmu pendidikan Harvard University itu selanjutnya menyarankan ditambahkannya beberapa dimensi kecerdasan lagi, yakni naturalist, spiritual, dan existential. Sebab, menurutnya, setiap orang memunyai kecerdasan itu, meski dalam takaran yang berbeda-beda.
Dr. St. Masiun, salah seorang penggiat lingkungan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) menyatakan bahwa nilai ekonomis hutan jauh lebih besar dibandingkan jika dieksploitasi.
Kata Rektor Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) Sekadau itu, “Apai Janggut mewarisi pengetahuan-diam itu. Itu sebabnya, orang tua berjenggot dari Sungai Utik mati-matian mempertahankan keaslian dan ekosistem hutan di wilayahnya.”
Di bawah pijar lampu listrik. Malam itu pada sebuah bilik. Kami masih duduk bersila. Air enau yang difermentasi jadi tuak membuat cerita mengalir seperti tetes-tetes nira. Sembari menghirup dari cawan masing-masing, Apai Janggut berkisah.
“Kami enda ngereja utai ti salah (kita mewarisi hikmat dari orang tua). Menjaga menoa, dengan segenap isinya. Tidak ada emas hidup, yang ada air hidup,” kata pria Iban dengan tato bunga terong tertera di bahu itu.
Apai Janggut on air bersama Masri Puyang Deraman dan Yohanes Rumpan di RRI Pro-2 Sintang.
Selain dilahirkan memiliki kecerdasan natural, Apai Janggut mengasah diri di bidang lingkungan. Meski tinggal nun jauh di hulu sungai Kapuas, perbatasan dengan Malaysia (Badau), ia tidak asing dengan Jakarta. Saya pernah berjumpa dengannya, sebagai aktivis Aman Kalbar, di sebuah hotel berbintang di Jakarta.
Perjuangan Apai Jangut dan masyarakat adat Sungai Utik mempertahankan hutan sangat luar biasa, terutama adanya kepemimpinan yang kuat dari Apai dan komitmen masyarakat untuk turut menjaga hutan.
Ini merupakan hal yang unik, karena seringkali masyarakat adat terpecah. Yang terjadi adalah bahkan kepala desa atau kepala adat menjual lahan ke perusahaan karena kebutuhan ekonomi. Inilah yang menjadidasar Yani Saloh mengusulkan Apai Janggut masuk nominasi penerima Equator Prize 2019.
“Saya memasukkan Sungai Utik ke Equator dan Kalpataru lebih kepada personal interest, karena melihat perjuangan mereka dan komitment menjaga hutan yang luar biasa,” terang Saloh. Yani Saloh yang membuat Submission The Equator Prize 2019 dan kemudian mendampingi Apai Janggut menerimanya di Amerika.
Penghargaan Equator Prize dari PBB adalah ujud pengakuan Pengakuan Nilai Budaya Dayak Iban Sungai Utik yang dipelopori oleh Apai Janggut. Sebagai tuai rumah (kepala di lingkungan sekitar Sungai Utik), masyarakat setempat berhasil menjaga wilayah dari ancaman perambahan dan ekspansi industri.
Konsepnya ihwal hutan lestari sederhana, tapi sarat makna. Hal itu tersurat dalam tulisan di latar yang bukan sekadar menghiasi lukisan dirinya:
Kami tidak minta lebih dan tidak mau kurang
selama di hutan masih ditemukan buruan dan obat
di lubuk masih ada ikan
dan di huma masih berpadi
itulah lestari
(Apai Janggut)