Rumah Kontrakan - Sebuah Cerpen
ilustrasi: roming kontrakan |
Kulirik Irine, istriku.
Ia tidur pulas. Sementara aku setitik pun belum dihinggapi rasa kantuk. Perlahan aku bangkit.
Kusingkap daun jendela rumah. Membuat sinar rembulan malam itu sempat menjenguk. Terdorong hasrat ingin meniru penyair Tiongkok kuna, kuambil sebatang pena dan carik kertas. Ingin kualihkan kemilau cahya kekuningan bola awan malam itu ke dalam bahasa puisi. Tetapi tidak! Lantaran malam kian merangkak naik. Sedang pikiranku menerawang ke masa sepuluh tahun lalu.
Masri Sareb Putra
Penulis senior, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonsia.
Cintaku yang pertama dan terakhir pada Irine
adalah keindahan sukma termurni. Walau mungkin
cinta pertama itu seakan cuma suatu kebetulan saja.
Karena dibanjiri
surat-surat penggemar seperti dulu. Ah, ini mustahil. Di mana tanggung jawabku
sebagai seorang suami dan ayah? Ini yang memberatkan hatiku.
Tadi siang aku bertemu kenalan lama.
Hampir saja aku lupa siapa dia. Dia adalah Tuan Budiman yang anaknya susah
payah kubantu masukkan ke SMA tempatku mengajar tiga tahun silam. Ternyata
usahaku tidak sia-sia. Anak itu pun diterima. Malahan menjadi bintang pelajar
sehingga dikirim memperdalam pendidikan di Kanada, dengan maksud setelah lulus
akan mengajar kembali di SMA asalnya.
“Ini sekadar ungkapan terima kasih kami
kepada bapak.” Aku masih terngiang kata-kata Tuan Budi sambil menyodorkan
selembar amplop putih berisi uang ketika mengetahui bahwa anaknya berhasil
masuk SMA.
“Aha, Tuan Budiman. Ambil saja kembali.
Kan semestinya orang hidup saling menolong.” Aku menolaknya secara halus.
Agak kecewa juga kulihat Budiman. Itu
terpancar dari raut mukanya. Namun, ia semakin mendesakku untuk sudi
menerimanya. Kutolak dengan cara yang sama. Maka tak urung amplop tadi
dimasukkannya ke dalam saku celanaku.
Nikmati cerpen lainya Rahasia Kamar Pengakuan Dosa
Percakapan tadi terjadi tiga tahun lalu.
Dan kini Tuan Budiman benar-benar hadir di depan mataku.
“Kudengar masa kontrakan rumahmu beberapa
hari lagi akan habis,” katanya.
“E… eh, benar tuan,”sahutku.
“Nah, kebetulan. Sebulan lalu aku membeli
sebuah rumah baru dari hasil penjualan kebunku. Rumah itu terbilang
permanenlah. Saya ingin tahu, apakah Tuan Rony sudi menempati sekalian
memeliharanya? Mau bukan?”
Dihadapkan pada tawaran seperti itu, aku tidak bias segera menjawab.
Dilema rasanya. Apalagi hatiku masih diliputi rasa haru atas kebaikan hati
Budiman, manusia berbudi sesuai dengan namanya.
“Lho… kok diam saja? Aku tidak minta sewa.
Asalkan rumah itu dipelihara, itu sudah lebih dari cukup buat saya.” Tampak
Tuan Budiman tidak sedang basa basi. Ia bersungguh.
“Aku bukannya tidak mau, tuan. Tetapi
mesti menanyakan dulu pada istriku.”
Ketika kabar bahwa Tuan Budiman menawarkan
rumahnya untuk ditempat kusampaikan pada Irine, betapa wajahnya tampak gembira.
Sorot matanya berbinar-binar.
“Oh, Tuhan. Engkau Mahamengerti di antara
yang mengerti,” ucapan syukur meluncur dari bibir Irine.
“Bang Rony Pardamean,” ujarnya kemudian
kepadaku. “Kita selayaknya bersyukur kepada Tuhan lantaran kita seakan-akan mendapatkan
durian runtuh. Justru ketika rumah kontrakan kita sedang habis masanya. Rumah
Tuan Budiman itu tentu cantik, bukan?” ia bertanya, ingin tahu.
Terbersit sepotong rasa iba dalam hatiku
mendengarnya. Aku rasa jiwaku sedikit tersayat. Justru karena istriku tidak
terlalu menuntut sesuatu yang tidak bisa kuberikan padanya sebagai suami.
Betapa Irine sangat mengerti diriku.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa selama ini tak pernah membahagiakan dirinya
dengan materi. Aku hanya memberinya hadiah dua anak yang lucu dan manis.
Padahal, kalau saja Irine mau mengejar materi ia bisa. Bukankah dulu ia pernah
dilamar Bambang, mahasiswa kedokteran tingkat akhir saat aku mengenalnya?
Dengan Bambang, Irine bisa saja hidup
kaya. Sebagai “nyonya dokter”, ia bisa saja hidup manja. Tetapi tidak. Irine
lebih suka memilih hidup sebagai nyonya sastrawan daripada nyonya dokter. Meski
pilihan sadar itu menuntunnya ke tubir hidup pas-pasan, Senin-Kemis. Namun, itu
semua dilakukannya semi sepenggal cinta. Cinta dan setianya padaku melebihi apa
pun juga. Padahal aku cuma seorang pemuda yang tak punya apa-apa, selain
keterampilan pena. Selain menyandang predikat sebagai mahasiswa jurusan sastra
sebuah universitas negeri.
Hanya itu, selebihnya tidak ada. Irine
begitu antusias aku segera menyelesaikan kuliah dan segera bekerja. Nyatanya,
cita-cita itu hanya menggantung di angkasa, tidak pernah kesampaian. Aku drop
out kuliah karena sibuk mencari tambahan penghasilan mengajar sebuah SMA.
Sambil sesekali menikmati honorarium dari cerpen dan puisi-puisiku dimuat koran
ibukota. Kendati demikian, Irine tidak pernah mengeluh. Ini yang membuat aku
semakin menyintainya. Apalagi ia sekali pun tidak pernah menyatakan
penyesalannya menikah denganku. Ia pasrah menerima hidup apa adanya. Menerima adaku
seperti sekarang.
***
Aku menggigil. Kutatap kaki langit sebelah
barat. Sementara angin menyeruak masuk lewat celah-celah jendela. Malam dingin.
Sedingin hati yang sedang merenungi hidup ini. Dalam kamar juga dingin.
Dedaunan eru didesir angin yang lalu.
Rembulan yang sejak tadi menari-nari di
awan gemawan, berangsur-angsur turun. Dalam larutnya malam, pemandangan kurasa
semakin asri. Pepohonan eru yang membayang tampak anggun menjulang dalam
temaram malam. Menjadikan alam ini sebuah gaib yang bisu. Ataukah memang begitu
alam, tak pernah berkata tentang dusta tentang realita manusia?
“Tidak, Rin, tidaaak!” rintihku. Tapi cuma
cuaca yang mendengar. Aku tidak mengeluarkan suara, rintihan pilu itu hanya
tersekat di kerongkongan saja. Aku takut Irin terjaga tidurnya.
Memang kemarin siang, Tuan Budi usai
menawarkan untuk menempati rumahnya langsung mengajakku untuk melihat. Rumah
itu memang bagus. Luas dan asri. Cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.
“Kurasa, di sini kau akan lebih kondusif menghasilkan
karangan,” kata Tuan Budi padaku. “Tambahaan pula, sarana menulis cukup
menunjang karier kepengaranganmu. Kau lihat, bukan, di sana terhampar sawah
hijau yang bisa jadi inspirasimu?” Tuan Budi meyakinkanku bahwa rumahnya layak
aku tinggali. Aku tak menjawab. Tapi dalam hati aku mengiyakannya.
Segera tampak olehku sebuah rumah cukup
mewah bergaya Spanyol beberapa meter di belakang. Terdorong hasrat ingin tahu
pemiliknya, aku segera bertanya.
“Rumah apik itu siapa punya?” Aku
beranikan bertanya, sekadar mengusir ingin tahu.
“Oh, itu rumah seorang dokter!”
“Wow, keren sekali. Rupanya, kami akan
bertetangga dengan dokter. Suatu kebetulan, jika perlu bantuan medis, tidak
usah jauh-jauh.”
“Ya, dokter itu sangat memasyarakat.”
“Siapa namanya?”
“Dokter Bambang.”
“Hanya itu?”
“Lengkapnya, Bambang Eka Budi Susila.”
“Bambang Eka Budi Susila?” aku seakan tak
memercayai pendengaranku sendiri.
“Ya, seperti yang kau sebutkan.”
Tuan Budiman menceritakan kalau Dokter
Bambang Eka Budi Susila baru saja kembali dari dinas di pedalaman Kalimantan.
Dan rumah yang kini ditempatinya adalah rumah bekas seorang pengusaha ekspor
impor yang kini pindah ke Amerika.
“Rupanya Tuan Rony kenal baik dengan
Bambang Eka Budi Susila?”
Aku seperti tersengat arus listrik.
Rupanya Tuan Budi melihat perubahan air mukaku. Wajah sendu membayangi diriku.
Membuyarkan harapan untuk segera menempati rumah kontrakan baru.
Tidak. Tidak mungkin aku mau bertetangga
dengan dokter bekas mantan pacar Irine. Ia begitu sukses. Sedangkan aku? Aku
gagal total. Bukan saja gagal membahagiakan Irine, tetapi terlebih karena
merasa tidak mampu untuk bersaing secara material dengan Bambang, eh Dokter
Bambang.
Aku membayangkan betapa lebur harga diriku
sebagai lelaki di matanya. Lebih-lebih lagi di mata Irin, istriku. Masih
bisakah ia menerimaku dalam keadaan begini? Lunturkah cintanya? Sementara di
sebelah rumah mata kepalanya melihat kemewahan seseorang yang dulu lamarannya
pernah ia tampik. Bambang bukanlah makaikat, pasti ia sakit hati dan membalas
dendam. Bisa saja hal itu dilakukannya dengan pamer kekayaan. Biar Irin ngiler
dan akhirnya menyesal dengan keputusannya. Atau jika perlu menghancurkan rumah
tangga yang susah payah kubangun.
Bila ingin menghindari keretakan rumah
tangga, berarti aku harus mencari rumah kontrakan baru. Tapi kemungkinan ini
sangat musykil. Tinggal tiga hari lagi sewa rumah kontrakan kami habis. Kami
harus siap-siap angkat kaki. Dapatkah aku mengupayakan sebuah tempat
perteduhan, walau bagai gubuk sekalipun? Tidak! Masalahnya, kenapa aku tak bisa
mencari rumah lain sekiranya rumah yang ditawarkan Tuan Budi ternyata tida
cocok dengan seleraku atau selera istriku?
Tanpa memberikan
kepastian kepada Tuan Budi, aku langsung mengajaknya pulang. Alasanku, penyakit
maagku kambuh lagi.
Setibanya di rumah, Irin riang bukan alang
kepalang ketika kuceritakan. Matanya berbinar penuh pengharapan. Diliputi rasa
ingin tahu, ia langsung bertanya, “Rumahnya memenuhi standar kesehatan kan
bang?”
“Tidak!” jawabku ketus. “Kita tak mungkin
menempatinya.”
“Lho, mengapa? Apakah terlalu buruk?”
“Bukan buruk, malah terlalu bagus. Tapi
aku tak sudi tinggal di situ.”
Kusulut sebatang ji sam soe. Lalu
menghirupnya dalam-dalam. Asapnya mengepul putih, bergulung-gulung. Bagai hidup
ini juga layaknya. Bergulung-gulung, lalu lenyap entah ke mana.
“Apakah rumah itu dekat dengan kuburan?”
Irine mendesakku sekali lagi. Aku cuma diam seribu bahasa.
“Apa ada setan di sana?” Irine semakin
merengek-rengek.
“Diam!” bentakku padanya. Irine menangis. Aku
menatap keluar dengan pandangan kosong. Hampa. Seingatku, selama sewindu
perkawinan kami, baru kali inilah aku membentak Irine. Padahal masalahnya hanya
sepele. Gara-gara Irine ingin tahu bagaimana rumah baru dan siapa yang bakal
jadi tetangga kami nantinya. Harga diri sebagai laki-laki dan nafsu mau menang
sendiri kutumpahkan padanya. Seharusnya, itu bukan pada tempatnya. Aku bersaing
dengan dokter Bambang, bukan dengan Irin, istriku.
***
Pagi itu aku bangun kesiangan. Tentu saja,
lantaran semalam merenungi hidup ini. Sebenarnya, tak perlu direnungkan. Toh
hidup ini nyata. Tapi tidak. Nyatanya, aku masih diombang-ambingkan perasaan.
Kacau!
Dengan langkah gontai aku pergi mengajar.
Beban demi beban tanggung jawabku sebagai seorang suami dan ayah semakin terasa
di pundak. Bagaimanapun beratnya, toh mesti dipikul.
Begitu tiba di sekolah, kusodorkan tugas
pada ketua kelas. Sebagaimana biasanya, anak-anak membuat karangan fiksi. Tapi
kali ini ada tambahan. Mereka lebih dulu harus mengerjakan soal-soal ujian
tahun kemarin untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sedang aku
ingin tidur di kantor guru. Tentu, sebelum itu, izin pada kepala sekolah dulu.
Begitu pulang dari sekolah dan baru saja
meletakkan tas di meja, Irine menyongsongku.
“Mas Rony, sebaiknya kita pindah hari ini
juga.
“Hari ini?” aku terbelalak. “Tidak
mungkin!”
“Kenapa tidak?” Kini aku tahu, mengapa kau
ngoto tak mau tinggal di rumah Pak Budiman. Bukankah karena kita akan
bertetangga dengan dokter Bambang?”
“Itu yang aku cemaskan!”
“Kau mencemaskan sesuatu yang
bukan-bukan.”
“Aku takut kau tergiur harta kekayaannya!”
“Aku menikah denganmu bukan karena apa
yang kau miliki, tapi karena aku mencintai dirimu.”
“Kukira kau wanita yang gampang berpaling
karena harta.”
“Aku bukan tipe wanita begitu, Ron. Aku
menerimamu apa adanya. Aku sudah cukup bahagia dengan hidup kita. Apalagi
setelah dua buah hati kita lahir, aku merasa sudah mendapat segala-galanya.”
“Maafkan saya berpikir terlalu jauh.”
“Pepatah mengatakan, ‘you can buy a house not a home.’ Kita memang tak sanggup membeli
rumah, namun hidup kita bahagia. Kita merasa krasan dan senang tinggal di rumah
kontrakan.”
Tanpa terasa, sebutir air jatuh dari
pelupuk mata Irine. Ia benar-benar berkata tulus.
“Tapi dari mana kamu tahu info bahwa
tetangga sebelah dokter Bambang?”
“Tadi pagi aku ditemani istri Tuan Budi ke sana waktu kau sedang mengajar.”
“Bertemu dokter
Bambang di sana?”
”Ya.”
“Dan kau menyesal?”
“Ya. Aku menyesal baru sekarang ini mengenalkannya padamu.”
Kurengkuh bahu
Irine lebih dekat denganku. Kukecup keningnya. Lalu turun ke bibirnya yang
tipis. Bau wangi rambutnya masih seperti dulu saat pertama ia kucumbu.
Irine membalas
dekapanku dengan merapatkan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca. Ia masih
seperti dulu. Sang dewi yang tak pernah lekang kemolekannya dalam temaramnya
malam.