Obituari Bertha - Cerita Bersambung (2)
Inikah namanya cinta pada pandang pertama?
Aku serasa dibimbing melafalkan syair lagu lawas yang dipopulerkan kembali
Sheila Majid.
***
Pramugari tinggi semampai itu jongkok. Tangannya lincah memegang
gagang pintu pesawat. Kakinya yang jenjang ia naikkan sedikit. Terlihat sesuatu
di balik belahan sarung kebayanya.
―Jeger, jeger, tup!
Lincah ia menutup pintu pesawat hanya dengan sekali putar.
―Sukses! ucapnya sembari mengosok-gosokkan kedua belah tapak
tangannya. Jemarinya lentik.
Cat kukunya tidak begitu terang warna alami. Aku memperhatikannya. Raungan mesin pesawat yang semakin keras menandai lepas landas. Selama menukik ke udara dan belum stabil, pramugari penutup pintu minta izin duduk di sampingku.
Seperti penumpang lain. Ia kenakan sabuk pengaman
sementara kawannya yang lain memperagakan alat keselamatan. Betapa anggun dan
cantiknya ia mengenakan kebaya polos sarung batik. Ia duduk dekatku. Belahan
sarungnya ia biarkan menganga.
―Mas bro, maaf ya. Mau kuambilkan koran apa? Ingin baca apa?
Aku jadi grogi.
―Ehm… belum mau baca. Te[1]rima kasih.
―Atau baca ini saja?
Ada artikelku lho, katanya.
Ia menyodorkan berkala maskapainya. Ia tunjukkan halaman yang memuat artikelnya. Sebuah feature tentang upacara Naik Dango. Ia terus mengajakku ngobrol. Banyak hal ditanyakannya. Yang tak kusangka ialah,
―Mas bro sudah
married?
Aku tak menjawab. Kuanggap ia hanya melakoni tugas sebagai
duta maskapai yang ramah tamahnya hanya dibuat-buat, bukan keluar dari hati
yang murni.
―Ah, kamu hanya pura-pura ramah saja. Bukankah setiap
pramugari sebagai front liner berhubungan langsung dengan penumpang diwajibkan ramah pada semua
penumpang?
―Memang demikian. Tapi penumpang satu ini istimewa.
―Karena terlambat?
―Bukan! Karena aku suka.
(bersambung - namanya juga cerita bersambung)