kita dituntut untuk menghormati dan menghargai sesama. Karena itu, sudah sangat tepat ketika ada sharing pengalaman kita diminta untuk tidak mengkritik pengalaman orang lain maupun menggurui ketika mensharingkan pengalaman. Karena itulah kita menggunakan kata “saya”, bukan “kita”.
Balae Botomu dan Manusia sebagai Homo Experiens
Oleh: Gregorius Nyaming
Sedang studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.
Kanal Sanggaunews.com tercinta kita ini menyajikan sebuah menu baru, yaitu Balae Botomu. Layaknya sebuah balai pertemuan, kehadirannya menjadi ruang perjumpaan di mana orang bisa saling berbagi cerita, bertukar pendapat dan pikiran serta berbagi pengalaman.
Berbagi pengalaman sudah menjadi jati diri kita sebagai manusia. Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai homo experiens (makhluk yang mengalami). Keberadaan kita sebagai homo experiens membuat masing-masing kita itu unik dan berharga. Unik dan berharga karena setiap kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda.
Dalam realitas keberbedaan ini, kita dituntut untuk menghormati dan menghargai sesama. Karena itu, sudah sangat tepat ketika ada sharing pengalaman kita diminta untuk tidak mengkritik pengalaman orang lain maupun menggurui ketika mensharingkan pengalaman. Karena itulah kita menggunakan kata “saya”, bukan “kita”. Baca Rumah Panjai Orang Iban
Dengan “saya” hendak menunjukkan bahwa pengalaman itu sungguh merupakan “milikku” dan pergumulan diriku dalam memaknai kehidupan ini. Meskipun begitu, kenyataan ini tidaklah kemudian menjadikan kita sebagai pribadi yang tertutup terhadap pengalaman orang lain. Kita harus menjadi pribadi yang rendah hati untuk belajar dari pengalaman orang lain. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?
Dengan berbagi, bisa jadi pengalaman kita bisa menghadirkan pemahaman yang baik dan benar atas hidup. Selain bisa mendatangkan gairah dan semangat baru bagi orang lain. Balae Botomu salah satu ruang, media berbagi itu, di masa kini.
Setiap pengalaman pastilah memiliki maknanya masing-masing. Hanya saja untuk menemukan makna tersebut kadang memerlukan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Ada yang mengibaratkannya seperti kita memasuki lorong-lorong gelap. Mungkin karena itulah tidak sedikit yang memutuskan berhenti di tengah jalan. Terlebih ketika berusaha mencari makna dari pengalaman yang pedih, menyakitkan, mengecewakan, dan seterusnya.
Akan tetapi, sebagai homo experiens sesungguhnya kita diajak untuk berani memasuki lorong-lorong gelap itu. Keberanian menjadi penting untuk dimiliki karena dengan memilikinya kita akan menemukan makna dari setiap pengalaman yang kita jumpai.
Berbicara tentang keberanian untuk memasuki realitas kehidupan, sekalipun itu tidak mengenakkan, filsafat hermeneutik Paul Ricoeur sepertinya bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita.
Hermeneutika sendiri dipahami sebagai seni memahami sebuah teks. Adalah teks-teks kitab suci yang semula menjadi objek utama penafsiran. Namun, di kemudian hari realitas hidup manusia itu sendiri yang banyak digumuli. Sebagai sebuah seni tentu saja hermeneutika menyajikan keindahan dan kekhasannya tersendiri dalam menginterpretasi teks dan perkara-perkara kemanusiaan.
Lantas, bagaimana kemudian memaknai dan merenungkan “perjalanan menyusuri lorong-lorong gelap” dalam terang hermeneutika Paul Ricoeur? Secara ringkas, memahami teks bagi Ricoeur bukan hanya memahami makna yang terkandung di dalam teks itu, melainkan juga lewat teks itu merefleksikan makna hidup kita, karena teks mengacu kepada kehidupan, kepada dunia di luar teks itu (F. Budi Hardiman, Seni Memahami. Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, 2015).
Persoalannya apakah yang menjadi teks bagi kita yang harus kita baca dan maknai? Di sini kita mengenal apa yang disebut dengan konteks, yang memiliki arti yang penting untuk memahami relasi pembaca dan teks. Konteks menunjuk kepada ruang keseharian hidup manusia, pengalaman hidup sehari-hari (Armada Riyanto, Relasionalitas. Filsafat Pondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen, 2018).
Kita ambil contoh. Pengalaman kita berhadapan dengan pandemi Covid-19. Berhadapan dengan pandemi Covid-19, teks yang sedang kita geluti bukanlah ayat-ayat suci atau teks sastra, melainkan realitas hidup itu sendiri. Sebuah realitas yang mengganggu rasa nyaman kita, karena itu jika boleh memilih tentulah kita tak ingin memasukinya. Baca Forum Dayak Kalimantan Barat Jakarta (FDKJ) Bikin Buku Jelang Gawai Dayak Di Jakarta
Akan tetapi, berhadapan dengan realitas atau pengalaman yang tidak mengenakkan itulah Ricoeur justru mengajak kita untuk berani bergumul agar bisa semakin memahami diri dengan lebih baik.
Menu Balae Botomu dengan demikian sungguh dapat menjadi ruang perjumpaan bagi kita sebagai homo experiens. Sekaligus menyadarkan kita bahwa pengalamanku selalu berada bersama dengan pengalaman orang lain. Karena setiap pengalaman mempunyai maknanya masing-masing, maka berada bersama yang lain memanggil kita untuk rela saling berbagi pengalaman. Baca Mgr. Dr. Valentinus Saeng, CP: Uskup Sanggau Asal Sekadau
Dengan berbagi, barangkali pengalaman kita bisa menghadirkan pemahaman yang baik dan benar atas hidup. Atau mungkin bisa mendatangkan gairah dan semangat baru bagi orang lain.*)