Rumah Panjai Orang Iban
Dr. Wilson Anak Ayub
Di Kalimantan Barat. Beberapa rumah panyae (panjai - lafas orang Iban), masih tegak hingga hari ini. Misalnya, di Sanggau ada Kopar, di Saham ada pula. Namun, di Sintang dan Kapuas Hulu, rumah panjang itu bukan hanya tegak, melainkan: masih dihuni hingga detik ini. Contoh: Rumah panyae Ensaid dan Sungai Utik.
Dan kedua-duan rumah panjang itu dihuni mensia Iban.(HIngga di sini, kita jeda dulu membaca. Hormat. Tabik. Salute bagi suku bangsa Iban yang masih meneruskan adat dan tradisi).
Rumah Panjai kitai dirik empu, Dayak Iban bukan sekedar ungkapan, kisah legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret tentang “cara hidup Dayak Iban” (jalai idup atau way of life). Menurut Poltak Johansen, way of life itu berfungsi untuk membentuk pola perilaku dari masyarakat itu sendiri.[1]
Sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Rumah Panjai menjadi titik sentral kehidupan Suku Bangsa Dayak yang “membentuk kehidupan atau pola perilaku Suku Dayak Iban. Karena itu, Suku Dayak Iban dan memandang rumah panjai sebagai sarana penting untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, dalam membina dan mempertahankan warisan budaya serta adat-istiadat yang merupakan merupakan nilai-nilai luhur yang ditaati dan dihormati secara turun temurun.
Rumah Panjai telah membentuk dan mempersatukan Suku Dayak Iban dalam komunitas, dan berperanan penting dalam pelaksanaan upacara adat.[2] Karena itu, sistem nilai budaya atau hidup (way of life) yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjai, memiliki orientasi pada makna hidup manusia (reti nyawa/idup mensia); makna pekerjaan (reti kerja-gawa); karya dan amal perbuatan (reti pementas/pemaik idup); persepsi mengenai waktu (pemenauk nggau ari); hubungan manusia dengan alam sekitar (reti ngitu rimba-babas, aik-pemanik; nggau beumai bekebun, dll.); soal hubungan dengan sesama (kekamuh-begulai nggau pangan dirik).
Jadi, dapat direduksi bahwa Rumah Panjai memberikan makna khusus bagi masyarakat Suku Dayak Iban. Rumah Panjai adalah pusat kehidupan dan peradaban yang hidup dan dinamis dari Suku Dayak Iban secara menyeluruh dari proses idup bereti dan bereti idup sepanjang masa.
Rumah Panjai Kitai Iban, alai kitai idup memang sebuah “real estate” (sungguh-sungguh rumah), jauh dari kesan sebagai sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini. Rumah Panjai, cukuplah dilukiskan sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya. Namun, dibalik kesederhanaan itu, Rumah Panjai menyimpan banyak makna (jalai idup) dan sarat akan nilai-nilai kehidupan (etika dan moral) yang unggul. Pantas kalau Rumah Panjai telah menjadi simbol yang kokoh dari kehidupan komunal masyarakat Dayak Iban.
Dengan mendiami (nugau dan idup) di Rumah Panjai dan menjalani segala proses kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak Iban menunjukkan bahwa mereka juga memiliki naluri untuk selalu hidup bersama (berimbai) dan berdampingan (bekedamping) dengan warga masyarakat lainnya (suku bukai, urang bukai ti bukai Iban). Mensia (manusia) Suku Iban mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha keras untuk mempertahankan tradisi Rumah Panjai.
Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama (kesetaraan) dalam lingkungan masyarakatnya.
Rumah Panjai selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat
segala kegiatan tradisional edukasi bagi warga Suku Dayak Iban. Di masa lampau pemerintah telah berandil besar
“memecah jantung kedayakan ini”, dengan mengubahnya dengan meyakinkan untuk
beralih ke rumah tunggal. Terkait dengan tempat
tinggal Suku Dayak di rumah tunggal, Alcorn Janis berpendapat bahwa:
pemerintah telah memaksa orang-orang Dayak untuk tinggal di rumah-rumah keluarga tunggal sebagai bagian dari usahanya untuk memodernisasikan Dayak. Pemerintah Indonesia mempunyai proyek memindahkan orang-orang Dayak yang mengembara maupun terasing ketempat tinggal yang bersifat permanen. Meskipun dalam banyak hal terlihat khas, rumah panjang suku Dayak tidak selamanya berbeda secara kualitatif dari penataan rumah di antara kelompok-kelompok suku non-Dayak di Kalimantan, dan di antara kelompok-kelompok etnis lainnya di Indonesia.[3]
Padahal, apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional dalam bentuk: (1) oral traditional (cerita tradisional); (2) local wisdom and indigenous knowledge (kearifan lokal dan pengetahuan lokal) yang bersifat non-formal.
Rumah Panjai juga menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak Iban untuk membina keakraban satu sama lain. Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain. Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap.
Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara
lisan kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan Rumah Panjai, setiap warga
selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan
petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu. Kesempatan seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar Rumah Panjai (temuai dari luar Dayak Iban dan temuai dari kelompok Rumah Panjai yang lain.
[1]Poltak Johansen, “Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan”,
makalah disampaikan pada Kongres Internasional Kebudayaan Dayak I,
Bengkayang, 2-6 Desember 2017. Poltak
Johansen adalah Peneliti pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat,
di Pontianak.
[2]S. Jacobus E. Frans Layang dan Concordius Kanyan.
Kebudayaan Dayak (Aktualisasi dan Transformasi): “Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak”, (Pontianak:
Institut Dayakologi, Cetakan 2, 2005), hlmn.167.
[3]Alcorn Janis. B, Reliensi Ekologis Pelajaran dari Masyarakat
Adat Dayak (Sebuah Pengantar), Dalam, Nico Andasputra (Ed), Pelajaran dari
Masyarakat Dayak, Gerakan Sosial dan Reliensi Ekologis di Kalbar, Pontianak:
WWF-The Biodiversity Support Program (BSP) Washington DC, USA bekerjasama
dengan IDRD, 2001.